Tawa dan Tangis di Gothenburg
Penyerang tim LKG-SKF Indonesia terserang tifus sebelum berangkat ke ajang Piala Gothia 2019 di Swedia. Tubuhnya lesu. Masuk pesawat, ia ingin langsung istirahat dengan cara merebahkan diri di lantai lorong.
Melakukan perjalanan keluar negeri, terlebih dalam misi membela negara, merupakan kesempatan langka dan sangat prestise di mata banyak orang. Itulah yang dialami 18 pemain anggota skuad tim LKG-SKF Indonesia yang membela Indonesia untuk kategori Boys 15 Piala Gothia 2019, di Gothenburg, Swedia selama 14-20 Juli.
Saat itulah, tawa dan tangis pesepak bola muda belia Indonesia terukir. Sukacita terpancar kala mereka melakukan perjalanan menuju Eropa. Ini karena sebagian anggota skuad baru kali ini pergi ke luar negeri. Bahkan, baru pertama kali mencicipi naik pesawat terbang. Tangis haru terurai kala mereka harus menyudahi perjuangan di babak 64 besar setelah kalah 1-4 dari tim tuan rumah, Stangebro United 2, Kamis (18/7/2019).
Tim memulai perjalanan ke Eropa, Jumat (12/7/2019). Meski harus menanti sejak pukul 13.00 dan baru bertolak dari Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 21.00, keceriaan tak sedikit pun hilang dari wajah anak-anak tersebut. Inilah aura semangat yang terpancar sebelum mulai berlaga di Piala Gothia 2019, piala dunianya pesepak bola muda.
Saat memasuki pesawat, kehebohan mulai terjadi. Maklum, sebagian anak-anak memang belum pernah naik pesawat. Pertanyaan dan tingkah aneh pun muncul secara alamiah.
Penyerang asal Bekasi, Jawa Barat, Raka Cahyana Rizky (15), misalnya. Selama ini, rute terjauh yang pernah ia tempuh adalah ke wilayah Jawa Timur guna bertanding sepak bola. Perjalanan pun ia tempuh dengan bus.
Maka, bagi Raka, perjalanan ke Gothenburg ini adalah yang terjauh yang pernah ia jalani. Untuk pertama kalinya pula, ia menjajal naik ”si burung besi”.
Masuk ke dalam pesawat, Raka bagai bayi yang ingin mengenal banyak hal baru. Semua yang ia lihat menjadi bahan pertanyaannya.
Tak heran, Raka begitu antusias ketika mengikuti perjalanan tersebut. Wajahnya ceria. Senyum kecil kerap muncul menghiasi wajahnya. Masuk ke dalam pesawat, Raka bagai bayi yang ingin mengenal banyak hal baru. Semua yang ia lihat menjadi bahan pertanyaannya.
Mulai dari sabuk pengaman, majalah, remote control, monitor, hingga tombol lampu dan pengatur pendingin udara di bagian atas. Semua ditanyakan fungsi dan kegunaannya. ”Kalau headset ini apa boleh dibawa pulang?” tanyanya lugu ketika melihat pelantang telinga untuk menikmati hiburan di monitor.
Kelucuan-kelucuan di dalam pesawat
Selain sebagian tidak pernah naik pesawat dan ke luar negeri, mayoritas anak-anak itu juga tidak menguasai bahasa Inggris walaupun sekadar untuk percakapan dasar. Yang mereka miliki hanya kepercayaan diri yang tinggi.
Hal ini memicu sejumlah kejadian lucu di dalam pesawat. Penyerang Muhammad Faiz Maulana (15), contohnya. Saat pramugari menawarkan menu makan malam berupa ayam, daging sapi, atau pasta, ia justru nemilih jus jeruk.
”Hello. What do you want? Chicken, beef, or pasta?” kata pramugari tersebut. ”Oh, yes, yes, orange juice,” jawab Faiz.
Sontak jawaban itu membuat sang pramugari tertawa. Faiz yang kebingungan ikut tertawa. Beberapa teman dan penumpang di sekitarnya juga tertawa. Setelah ditanya ulang pelan-pelan oleh pramugari itu, Faiz akhirnya memahami pertanyaan dan memilih pasta.
Lain lagi dengan penyerang Muhammad Ridho Julian (15). Sebelum keberangkatan, Ridho terserang sakit tifus. Hal itu membuat tubuhnya kurang bugar ketika berangkat. Wajahnya tampak lesu dan tubuhnya lemas.
Di atas pesawat, Ridho langsung ingin beristirahat. Dengan percaya diri, dia merebahkan diri di lantai lorong di samping kursinya. Sontak, aksinya ditanggapi cepat oleh pramugari yang langsung memintanya bangun dan kembali ke kursi.
Di atas pesawat, Ridho langsung ingin beristirahat. Dengan percaya diri, dia merebahkan diri di lantai lorong di samping kursinya.
”Kalau di kereta, kan, bisa yah tidur di lantai. Kan, enak, badan bisa diluruskan. Kalau di kursi, tidurnya pegal,” tutur Ridho menceritakan alasannya tidur di lantai setelah pesawat melakukan transit di Bandara Istanbul Baru, Turki, Sabtu (13/7/2019).
Anak-anak memang begitu ceria selama di perjalanan. Mereka sangat menikmati perjalanan meskipun sebenarnya sangat melelahkan. Betapa tidak, perjalanan dari Jakarta ke Turki memakan waktu sekitar 13 jam.
Lalu, dari Turki ke Gothenburg sekitar 3 jam. Selama di pesawat, hiburan yang tersedia hanya sejumlah film, saluran televisi, dan musik yang tersaji lewat monitor yang ada di depan kursi. Selebihnya, jika bosan, penumpang berdiri dan memutari lorong pesawat untuk menghilanglan pegal akibat duduk berjam-jam.
Berbeda dengan orang dewasa, anak-anal itu malah tampak tak sedikit pun merasa bosan dan capek. ”Ini pengalaman pertama saya naik pesawat. Makanya, saya kurangin tidur supaya bisa merasakan bagaimana rasa dan suasana di dalam pesawat,” ujar Raka.
Sesampainya di Gothenburg, Sabtu sekitar pukul 10.00, anak-anak itu juga tidak langsung tidur. Mereka justru asyik bermain di sekitar asrama tempat menginap. Bahkan, sekitar pukul 12.00, mereka langsung menjajal latihan di Lapangan Heden, Gothenburg, yang berjarak 2-3 kilometer dari asrama.
Mereka benar-benar antusias untuk membela tim ”Merah Putih” di Piala Gothia kali ini. Api semangat mengalahkan semua rasa jenuh dan lelah yang muncul selama perjalanan.
Duka di pengujung hari
Lazimnya perjalanan hidup, di antara tawa pasti pernah terselip duka. Tangis para pesepak bola berbakat Indonesia itu pecah ketika mereka harus menerima kenyataan tersingkir dari Piala Gothia 2019 di babak 64 besar.
Pada babak itu, mereka takluk 1-4 dari tim tuan rumah, Stangebro United 2. Kekalahan itu benar-benar tidak bisa diterima para pemain. Mereka terus menangis seusai wasit meniup peluit tanda laga usai hingga mereka keluar lapangan.
”Kami tadi harusnya bisa menang. Kami main lebih dominan. Tapi, ada temen-temen yang tidak total berjuang. Jadi, kami kecolongan dan kalah,” kata seorang pemain sambil menangis haru menyesali kekalahan tersebut.
Duka anak-anak itu membuat iba hati penonton, baik dari kalangan warga Indonesia yang tinggal di Gothenburg maupun warga asing yang turut menyaksikan. Tak pelak, seusai laga mereka dikerumuni warga yang ingin menyemangati.
”Kalian masih muda. Karier kalian masih panjang. Jadikan ini pengalaman. Terus berlatih dengan giat supaya nanti kami bisa lihat lagi kalian main sebagai pemain profesional yang main di klub Eropa,” tutur Adolf Teintang (80).
Baca juga: Melayang di Ketinggian Kosta Rika dan Menginap di Hotel ”Pretty Woman”
Adolf adalah warga keturunan Minahasa, Sulawesi Utara, yang sudah menetap di Gothenburg sejak 1965 dan menjadi warga negara Swedia pada 1970-an.
Meski kalah, anak-anak ini tetap menjadi idola para pesepak bola putri. Itu setidaknya terlihat saat mereka langsung dikerumuni para pesepak bola putri yang ingin berfoto bareng.
”Pemain Indonesia bagus-bagus. Mereka punya skill oke. Saya nonton mereka waktu menang 8-0 atas Nockebyhovs IF (Swedia). Setelah itu, saya penasaran dan ingin nonton mereka lagi. Hari ini, mereka hanya tidak beruntung, tetapi mereka tetap bagus,” ujar penyerang tim putri U-15 asal Swedia, Lindsdals IF Ronya Halleen (15), seusai berfoto bareng dengan tim Indonesia.
Namun, tidak mudah untuk mengobati hati anak-anak yang sedang terluka itu. Mereka memang mencoba tersenyum ketika banyak orang menyemangati. Namun, setelah itu, mereka kembali meratapi kekalahan.
Baca juga: Mencicipi ”Jalan Kampung” di Empat Negara Bagian Amerika
Ketika balik ke asrama, mereka pun memilih mengurung diri di dalam kamar. Mereka tidak bersemangat untuk beraktivitas. Ketika diajak untuk jalan-jalan melihat Gothenburg, beberapa memilih menyendiri di kamar.
Paling tidak, butuh 1-2 hari untuk mengobati kekecewaan mendalam mereka. Anak-anak ini kemudian diajak jalan-jalan kembali dan berpesta barbekyu di taman kota Gothenburg, Jumat (19/7/2019).
Sehari kemudian, mereka diberi uang saku oleh LKG serta SKF Indonesia dan diajak berbelanja cenderamata di pusat kota Gothenburg. Cara itu lumayan ampuh untuk membuat mereka melupakan kekalahan.
Setelah itu, tim manajer dan pelatih mulai memberikan masukan agar mereka tidak menganggap kekalahan tersebut sebagai akhir dari segalanya. Kekalahan justru merupakan awal perjalanan karier mereka yang masih panjang.
Mereka pun diingatkan bahwa dalam hidup pasti ada tawa dan tangis. Tinggal bagaimana kita setelah tangis harus tetap tertawa lagi karena bibit pesepak bola andal tidak menyerah hanya dari satu kekalahan.