Umat Kristen Protestan, yang berasal dari berbagai suku di Nusantara, secara khusus berdoa untuk kedamaian di tanah Papua. Doa lintas suku dan doa khusus untuk Papua itu bertemakan ”Aku Papua Aku Indonesia”.
Oleh
Tri Agung Kristanto
·4 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Umat Kristen Protestan, yang berasal dari berbagai suku di Nusantara, secara khusus berdoa untuk kedamaian di tanah Papua. Doa lintas suku, doa khusus untuk Papua bertemakan ”Aku Papua Aku Indonesia” itu, dalam siaran pers yang diterima Kompas, Sabtu (31/8/2019) malam, diprakarsai oleh Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Wilayah Jawa Barat dan berlangsung di Gereja GPIB (Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat) Bethel, Bandung, Jawa Barat, Jumat (30/8/2019) malam.
Doa lintas suku itu dilakukan secara berantai, diwakili para pendeta dan warga gereja lainnya, antara lain Pendeta Nontje Tendean yang berdoa dengan bahasa Minahasa, Manado (Sulawesi Utara); Pendeta Fenius Gulo yang berdoa dengan bahasa Nias (Sumatera Utara), dan Alan Siahuta yang berdoa dengan bahasa Ambon, Maluku, yang mewakili jemaat dari suku Ambon. Doa dilanjutkan Orlias Sohilait yang berdoa dengan bahasa Papua (perwakilan jemaat dari suku Papua), Ados Simanjuntak yang berdoa dengan bahasa Batak (perwakilan jemaat dari suku Batak), Sumut; dan Pendeta Bambang Pratomo yang berdoa dengan bahasa Jawa.
Selain itu, ada Lidya Febrianti yang berdoa dengan bahasa Sunda (perwakilan jemaat dari suku Sunda), Jabar; Glora Saruhadji berdoa dengan bahasa Karo (perwakilan jemaat dari suku Karo), Sumut; dan ditutup oleh Pendeta Simamora yang berdoa dengan bahasa Indonesia.
Doa berantai lintas suku itu mencerminkan Indonesia berbeda-beda, tetapi tetap satu. Papua ada di dalam kebersamaan dan persatuan Indonesia itu.
Dalam doa berantai tersebut, mereka ingin agar Papua dapat kembali damai. Mereka juga mendoakan bagi masyarakat Papua yang berada di luar Papua untuk tetap baik dan tidak terpengaruh ataupun terprovokasi berbagai macam informasi yang dapat memecah belah bangsa. Hingga Sabtu malam, warga Papua yang berada di Jabar, khususnya di Bandung, tetap berada dalam suasana damai. Tak ada aksi dari warga Papua di Bandung ataupun dari warga yang lain, selain aksi membangun kebersamaan dan perdamaian sebagai satu bangsa.
Perwakilan Papua, yang diwakili Alan Saihuta, mahasiswa yang menimba ilmu di Bandung, mengatakan, ”Berkatilah mereka yang berada di Papua dan Papua Barat. Tuhan akan menjaga mereka dan mencukupi mereka. Saat ini yang mereka rasakan ketakutan. Kami rindu mereka tersenyum. Kami ingin melihat mereka menari dan bernyanyi. Kami ingin tanah Papua menjadi tanah yang diberkati. Kami di sini ingin mendoakan semua mereka yang ada di sana. Bentuklah mereka kembali dengan kasih-Mu agar saling mengasihi.”
Harus hadir
Sekretaris Umum PGI Wilayah Jabar Pendeta Paulus Wijono mengatakan, gereja harus hadir dan konkret dalam situasi yang tidak mudah, seperti apa yang dirasakan warga Papua saat ini. Gereja harus menjadi rumah bersama tanpa melihat golongan dan etnis, termasuk Papua.
Paulus menambahkan, doa untuk Papua merupakan salah satu bentuk kepedulian gereja dalam menyikapi kondisi yang terjadi di masyarakat Papua saat ini. ”Papua adalah kita warga gereja. Orang Papua adalah kita. Kita mau berdoa saat ini untuk Papua,” ucap Paulus.
Ia menyebutkan pula, berbagai informasi di media sosial membuat warga Indonesia, termasuk warga Papua, harus bijak. Dengan demikian, kita tidak terprovokasi oleh macam-macam berita bohong, hoaks, dan provokasi dari siapa pun.
Rohaniawan mahasiswa Universitas Kristen Maranatha Bandung, Pendeta Hariman Patianakota, mengingatkan, apa yang dirasakan warga Papua juga dirasakan warga di Jawa. ”Kita satu dalam kemanusiaan. Berbeda-beda, tetapi satu. Jika Papua menangis, kita menangis. Jika Papua sakit, kita merasa sakit. Kita ingin Papua damai dan Indonesia damai,” ujarnya.
Paulus menuturkan lagi, ”Kita rindu masyarakat Papua menari dan menyanyi lagi. Kita melihat ada harapan yang indah di Papua dan Indonesia. Air mata Papua adalah air mata kita. Papua adalah kita. Papua adalah Indonesia.”
Dalam doa untuk Papua yang diselenggarakan PGI Wilayah Jabar, di gedung gereja yang dibangun pada 1920 itu, dilakukan prosesi penyalaan lilin oleh semua jemaat yang hadir. Mereka satu per satu menyalakan lilin sebagai wujud solidaritas, kemanusiaan, dan persaudaraan sesama warga negara Indonesia.
Acara itu dihadiri pula oleh 25 orang asli Papua (OAP) yang berdomisili di Bandung. Pada akhir acara, warga asli Papua itu pun larut dalam kebersamaan dengan umat yang berasal dari berbagai suku di Tanah Air. Di Papua saat ini terdapat tak kurang dari 255 suku.