Menemukan Indonesia di ”Negeri Singa”
Bagi pendatang atau turis asal Indonesia yang melancong sehari dua hari, tentu bukan masalah jika tidak menyantap makanan khas Indonesia untuk sesaat. Namun, bagaimana dengan orang Indonesia yang mesti tinggal di ”Negeri
Perjalanan pada Rabu (7/8/2019) niatnya adalah untuk mengenal lebih dalam aspek multireligi di negara-kota Singapura. Tak disangka, perjalanan itu malah menuntun ke penemuan lain, Indonesia di Singapura.
Apa wujudnya? Apalagi kalau bukan rumah makan dengan penganan khas Indonesia, juga toko kue yang menjual jajan pasar.
Pagi itu, Kompas bersama 15 jurnalis penerima Asian Journalism Fellowship (AJF) 2019, program yang diselenggarakan Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, bekerja sama dengan Temasek Foundation, berkesempatan menyusuri sejumlah ruas jalan dan kawasan lokasi sejumlah bangunan tempat ibadah yang berada secara berdekatan di Singapura.
Dengan letak geografis yang begitu dekat dengan Indonesia, bagi sebagian orang Indonesia mudah saja pergi ke Singapura. Namun, untuk mengenal lebih dalam apa yang ada di sana, itu yang harus diusahakan.
Bagi sebagian turis atau pengunjung yang datang ke negara berluas 700-an kilometer persegi itu, berbelanja dan berfoto-foto di lokasi-lokasi wisata ikonik sudah tentu lebih menyenangkan. Mereka tinggal datang ke pusat perbelanjaan yang memang menyediakan aneka merek dan barang dagangan menarik, lalu membelanjakan uang. Apalagi kalau sedang musim diskon. Tantangannya hanyalah bagaimana membelanjakan uang yang dipunyai. Mudah dan tidak perlu berpanas-panas.
Lain halnya dengan turis atau pengunjung yang memiliki ketertarikan pada wisata khusus. Maka, perjalanan seperti tur religi yang dilakukan Kompas dan rombongan menjadi salah satunya.
Dimulai dari Jalan Victoria dengan bangunan katedral tua dan bekas sekolah, tur dimulai. Lalu, sekira 5 menit berjalan kaki, kita akan menemukan Jalan Bencoolen atau Bencoolen Street di peta Singapura dengan sebuah masjid ada di satu sisi jalannya. Masjid tua yang didirikan pada 1845 itu sampai saat ini masih menjadi pusat kegiatan warga Muslim di ”Negeri Singa”.
Di antara kedua jalan itu ada Jalan Waterloo yang merupakan kawasan sejumlah rumah peribadatan berada. Mulai dari gereja, rumah ibadah bagi warga Yahudi, hingga wihara.
Yang tak boleh dilupakan tentunya adalah kawasan Bugis dengan Arab Street-nya yang kondang itu. Masjid Sultan dengan kubah keemasan menjadi penanda kita sudah menginjakkan kaki di Kampung Glam di kawasan Bugis.
Di sanalah aroma Indonesia langsung tercium begitu kaki melangkah di trotoar Jalan Arab. Apalagi kalau bukan masakan khas Tanah Minang.
Tepat di mulut gang menuju Masjid Sultan, mata ini sudah melirik saja ke rumah makan bernama Rumah Makan Minang yang dicetak dengan tinta merah lengkap dengan logo atap rumah khas Minangkabau. Di banyak ulasan disebutkan rumah makan itu disebut juga Rumah Makan Jalan Kandahar karena terletak di Jalan Kandahar.
Restoran yang menyajikan menu-menu khas tanah Minang itu menjadi magnet bagi para pengunjung masjid dan kawasan Kampung Glam. Cuaca panas Singapura lengkap dengan kelembaban yang tinggi tidak menyurutkan minat pelanggan untuk memadati meja dan kursi yang tersedia di teras yang dibangun di sekeliling lantai 1 bangunan berlantai dua itu, juga di dalam bangunan.
Saat melihat rumah makan itu terbayang makan siang dengan nasi putih hangat, rendang, perkedel, olahan ayam, juga ikan. Akhirnya bayangan itu menjadi kenyataan juga ketika menu-menu tersebut muncul di atas meja. Cara penyajiannya pun sama persis dengan rumah makan padang di Indonesia. Piring-piring kecil berisi aneka olahan lauk dan sayur tampil mengiringi piring-piring nasi.
Bagi pendatang atau turis asal Indonesia yang melancong sehari dua hari, tentu bukan masalah jika tidak menyantap makanan khas Indonesia untuk sesaat. Namun, bagaimana dengan orang Indonesia yang mesti tinggal di ”Negeri Singa” untuk beberapa lama?
Maka, menu-menu Minang itu memang menjadi pelipur lara yang ampuh.
”Kalau kita bilang, makanannya ’nendang’. Saya puas sekali akhirnya bisa makan makanan Indonesia setelah hampir tiga minggu tidak menikmati makanan Indonesia,” kata Jafar Bua, salah satu penerima AJF 2019 asal Palu, Sulawesi Tengah, seusai menikmati nasi putih dan daging rendang.
Kalau kita bilang, makanannya ”nendang”. Saya puas sekali akhirnya bisa makan makanan Indonesia setelah hampir tiga minggu tidak menikmati makanan Indonesia.
Selain Rumah Makan Minang Kandahar, ada lagi rumah makan Minang yang lain dan sangat dikenal para pelancong, yaitu Rumah Makan Hjh Maimunah. ”Di sana saya suka rendangnya,” ucap Haizer, mahasiswa magister Universitas Nasional Singapura (NUS) yang memimpin jalan-jalan siang itu.
Terletak di Jalan Pisang, di salah satu ruas jalan yang mengarah ke Masjid Sultan, rumah makan yang saat ini dikelola generasi kedua ini juga menyajikan menu-menu khas Minang.
”Kami mulai buka pukul 07.30 setiap hari. Paling ramai saat makan siang. Semua kursi penuh,” kata Wari Wulandari, salah satu karyawan rumah makan yang berasal dari Indramayu, Jawa Barat.
Menu-menu khas andalan macam ayam bakar saus manis pedas, aneka ikan bakar, rendang, tahu telur, hingga sayur pucuk daun ubi tersedia. Bukan hanya pelancong asal Indonesia saja yang senang, para pelancong asal Malaysia juga banyak ditemui di rumah makan itu dan lahap menikmati makanan.
Baca juga: Menikmati Kerindangan Negeri Singa
Masih di kawasan Bugis, pelancong asal Indonesia pun tak perlu pusing jika rindu dengan kuliner Tanah Air. Menu sambal penyet yang membuat peluh bercucuran seusai makan mudah ditemukan di sana.
Cita rasa Indonesia lainnya yang mudah ditemukan adalah jajan pasar. Kalau di Indonesia jajan pasar biasanya diatur bertumpuk tinggi di kotak-kotak plastik atau tampah dan baru dikemas dengan kotak pembungkus, di negara kota ini jajan pasar tampil cantik dengan dibungkus wadah plastik transparan dengan potongan-potongan ukuran sedang.
Satu toko kue yang paling terkenal di seantero Singapura dengan jajanan pasar ini bernama Bengawan Solo. Toko ini didirikan seorang imigran asal Indonesia, Anastasia Tjendri, pada 1979.
Dengan tampilan cantik nan rapi, alhasil harga yang dibanderol membuat kita mesti berhati-hati memilih dan berhitung dengan jenis ataupun jumlah jajan pasar yang dibeli.
”Bengawan Solo ada di mana-mana tempat, ya,” ujar Zakaria Zainal, salah satu staf AJF.
Di pusat-pusat perbelanjaan besar di Singapura, toko kue ini bisa ditemukan. Kangen klepon? Ada. Rindu lemper isi udang? Tersedia. Ingin sekali makan bika Ambon? Ada. Atau, ingin makan getuk singkong dan kue lapis di Singapura? Pergilah ke toko itu dan mereka menjualnya.
”Yang khas dari Bengawan Solo adalah cake pandan atau kue pandan, ya. Amat terkenal,” kata Zak.
Dalam berbagai artikel yang termuat di surat kabar Singapura, Straits Times, jajan pasar atau yang lebih dikenal sebagai kueh di Singapura dan Malaysia produksi toko milik Anastasia Tjendri itu sangat digemari turis-turis asal Hong Kong, Taiwan, serta warga Singapura sendiri.
Usaha yang dimulai sejak 1979 itu kini tersebar di 40 titik di Singapura. Begitu banyaknya toko kueh itu, belum lagi rumah makan yang menjajakan menu khas Indonesia, rasanya akan mudah saja untuk menemukan Indonesia di ”Negeri Singa”. Tidak perlu galau di negeri orang.