Olahraga mengajarkan karakter, mengajarkan bermain sesuai aturan, mengajarkan untuk mengetahui apa rasanya menang dan kalah, mengajarkan tentang kehidupan. - Billie Jean King -
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
Dunia tenis profesional adalah dunia dengan persaingan yang sangat keras. Setiap pekan, sejak awal hingga akhir tahun, petenis bersaing hingga 30-an turnamen di belasan negara demi gelar juara dan posisi terbaik dalam peringkat dunia. Namun, ada nilai yang selalu melekat pada diri mereka sebagai insan olahraga: sportivitas.
Nilai itulah yang terlihat pada pertemuan dua petenis muda, Naomi Osaka (21) dan Cori ”Coco” Gauff (15), pada babak ketiga Grand Slam AS Terbuka di Stadion Arthur Ashe, Flushing Meadows, New York, Sabtu (31/8/2019) malam waktu setempat atau Minggu pagi waktu Indonesia. Itu menjadi laga yang dinanti penggemar tenis karena mempertemukan petenis nomor satu dunia, Osaka, dengan bintang muda calon penerusnya.
Osaka tampil sempurna pada laga itu. Penampilan terbaik sejak menjuarai Australia Terbuka, Januari, mengantarkannya pada kemenangan, 6-3, 6-0, dan akan berjumpa Belinda Bencic (Swiss) pada babak keempat.
Penampilan solid sang juara bertahan terlupakan oleh momen emosional setelah pertandingan. Sesaat setelah memberi salam kepada penonton yang menyambut kemenangannya, Osaka menghampiri Gauff yang berbenah untuk segera meninggalkan lapangan. Dia mengajaknya diwawancara bersama.
”Apakah kamu mau diwawancara bersama saya? Orang-orang ini ada di sini karenamu,” ujar Osaka seperti dikutip laman resmi AS Terbuka.
”Apakah kamu yakin? Saya akan menangis,” jawab Gauff.
”Tidak, kamu bermain sangat bagus. Percayalah,” ujar Osaka menyemangati.
”Tidak, saya akan menangis,” respons Gauff.
”Saya pikir ini akan lebih baik daripada kamu pergi ke kamar mandi dan menangis di sana. Kamu harus memberi kesempatan kepada penonton untuk tahu bagaimana perasaanmu,” ujar Osaka jujur, tetapi hangat.
Maka, berbeda dari biasanya, mantan petenis AS, Mary Joe Fernandez, mewawancarai sang pemenang dan lawannya. Gauff bercerita bagaimana Osaka meyakinkannya untuk menyampaikan persaannya kepada penonton. Awalnya, dia menolak karena tak ingin menangis di hadapan orang lain.
”Dia sangat baik kepada saya,” ujar petenis berusia 15 tahun itu sambil terisak.
Momen itu pun menjadi momen emosional tak hanya bagi Gauff, juga bagi keluarganya, Osaka, dan 23.000 penonton yang memenuhi Arthur Ashe, stadion terbesar di Pusat Tenis Nasional Billie Jean King. Osaka menahan tangis ketika memuji dukungan tim dan orangtua Gauff kepada putrinya itu.
Dalam konferensi pers, ketika momen itu menjadi bahasan utama, Osaka bercerita tentang rasa harunya. ”Saat berjalan di lorong menuju lapangan, saya hampir menangis ketika melihat Coco memeluk ayahnya. Saya berlatih di tempat yang sama dengan Coco. Dia selalu bersama ayahnya, ayah saya tak sepeduli itu kepada saya, ha-ha-ha. Itulah mengapa saya sangat emosional,” tutur Osaka.
Dia telah menunjukkan bahwa dia adalah atlet sejati.
Osaka dan Gauff berlatih di tempat yang sama, di Akademi Tenis Polo, Florida, walau tak berlatih bersama. Mereka juga tinggal di area yang sama, Boca, Delray. Meski jarang bertemu saat latihan, ayah mereka berteman baik. Mereka terinspirasi Richard Williams, ayah Serena dan Venus Williams, yang mendukung putrinya menjadi petenis.
Atlet sejati
Gauff menghargai sportivitas yang ditunjukkan Osaka. ”Dia telah menunjukkan bahwa dia adalah atlet sejati. Bagi saya, atlet adalah seseorang yang di lapangan memperlakukanmu seperti musuh terberat, tetapi di luar lapangan mereka bisa menjadi teman baik. Itu yang dilakukan Osaka malam ini,” tutur Gauff.
Telah menjadi bagian dari hidup atlet, sportivitas juga diperlihatkan petenis Kanada, Bianca Andreescu, ketika tampil di final WTA Premier Toronto, 5-11 Agustus. Andreescu menghibur Serena yang menangis. Dia tak bisa menyelesaikan pertandingan karena cedera punggung. Tangis Serena berubah menjadi senyum. ”Perkataannya membuat perasaan saya membaik,” kata Serena di laman resmi WTA.
Sportivitas menjadi bagian dari etika dalam filosofi olahraga.
Dua petenis yang terkenal karena menjadi rival utama, tetapi saling menghomati, bahkan berteman, adalah Roger Federer dan Rafael Nadal. Kekecewaan mendalam membuat Federer menangis di hadapan penonton saat upacara pembagian hadiah. Nadal mengalahkannya dalam final Australia Terbuka 2009.
Di atas podium, Nadal memeluk sahabatnya itu. Saat berbisik di telinga Federer, juga ketika memberi sambutan, Nadal tetap memujinya. ”Saya minta maaf karena kamu mengalami ini. Saya mengerti bagaimana perasaanmu, tetapi kamu harus ingat bahwa kamu tetaplah petenis terbaik di dunia,” kata Nadal.
Sportivitas menjadi bagian dari etika dalam filosofi olahraga. Sportivitas menekankan pada perilaku atlet dalam hubungannya dengan peraturan pertandingan, atlet lain, penonton, komunitas penggemar, dan masalah doping. Nilai-nilai ini selalu dijunjung oleh atlet-atlet sejati dalam setiap aspek kehidupan, termasuk saat bersaing dengan rival berat mereka.