Pemerintah DKI Jakarta terbentur aturan untuk menindak lahan-lahan kosong milik perusahaan swasta di luar jalan protokol Ibu Kota. Padahal, banyak lahan di luar jalan protokol telantar dan jadi permukiman kumuh.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terbentur aturan saat ingin menindak lahan-lahan kosong milik perusahaan swasta di luar jalan protokol Ibu Kota. Padahal, banyak lahan di luar jalan protokol Jakarta telantar lama dan menjadi permukiman kumuh.
Kepala Dinas Cipta Karya, Pertanahan, dan Tata Ruang DKI Jakarta Heru Hermawanto mengatakan, Pemprov DKI Jakarta kerap tak berdaya menangani lahan-lahan kosong milik perusahaan swasta. Pemerintah malah bisa dikenai sanksi pidana jika mengutak-atik lahan itu.
”Karena masuk pekarangan orang tanpa izin, kan. Itu bisa dipidana. Kami mau bantu masyarakat, tetapi masyarakat tak mau. Pemerintah jadi tidak berdaya dan serba salah. Dan itu malah bisa menjadi masalah hukum,Penataan Lahan Kosong Terkendala Aturan ujar Heru di Jakarta, Selasa (3/9/2019).
Pernyataan itu terkait keberadaan permukiman liar di Kampung Bengek, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Kampung Bengek menjadi perhatian Pemprov DKI Jakarta setelah sejumlah media memberitakan kekumuhan kampung ini. Sampah terserak di mana-mana, bahkan sejumlah rumah panggung dibangun di atas sampah.
Sebelumnya, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta sejak Sabtu (31/8/2019) mengangkut sampah yang tersebar di lahan permukiman liar Kampung Bengek. Namun, pekerjaan itu dihentikan pada Senin (2/9/2019) atas permintaan PT Pelabuhan Indonesia II (IPC) sebagai pemilik lahan.
Menurut Heru, sebenarnya ada ketentuan mengenai tanah telantar. Namun, dalam praktik, tidak mudah melaksanakan karena masyarakat telah menghuni lahan tersebut selama bertahun-tahun.
”Masalahnya, masyarakatnya sudah dikasih tempat sewa, tetapi saat disuruh minggir, dia enggak mau. Itu masalahnya selalu. Masyarakat kalau semakin difaslitasi, memang ada beberapa yang perlu difasilitasi. Tetapi, kalau kayak gini (permukiman kumuh) difasilitasi, ya enggak pas. Malah membahayakan semuanya,” tutur Heru.
Masalahnya, masyarakatnya sudah dikasih tempat sewa, tetapi saat disuruh minggir, dia enggak mau. Itu masalahnya selalu.
Oleh karena itu, lanjut Heru, yang paling utama dipegang adalah pengenaan pajak progresif terhadap tanah yang ditelantarkan. Hal itu diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 41 Tahun 2019 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan Kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atas Obyek Pajak Bangunan Berupa Rumah untuk Tahun Pajak 2019.
Dalam pergub itu, pemerintah berhak mengenakan PBB sebesar dua kali lipat atau 200 persen untuk lahan kosong. Sementara PBB akan dipotong 50 persen jika lahan kosong itu dijadikan ruang terbuka hijau. Dengan begitu, semakin tanah ditelantarkan, pajak yang dikenakan akan semakin tinggi.
Namun, pergub itu hanya berlaku untuk lahan kosong di area jalan protokol, yakni Jalan MH Thamrin, Jenderal Sudirman, HR Rasuna Said, Jenderal Gatot Subroto, dan MT Haryono.
”Ini problem tanah telantar. Jadi, memang gampang-gampang susah mengaturnya,” kata Heru.
Heru menduga, sejumlah lahan milik swasta bisa telantar karena keterbatasan modal. Apalagi, sebagai badan usaha, perusahaan itu harus bisa memastikan pembangunan di kawasan itu mampu memberikan keuntungan yang besar bagi perusahaan.
”Kalau enggak cukup modal, ya, enggak berani bangun. Akhirnya terbengkalai. Collapse nanti, bisa pailit,” ujarnya.
Sejumlah lahan milik swasta bisa telantar karena keterbatasan modal. Kalau enggak cukup modal, ya, enggak berani bangun. Akhirnya terbengkalai. Kolaps nanti, bisa pailit.
Perkuat aturan
Secara terpisah, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan akan mengubah aturan sehingga bisa memaksa semua pihak melakukan hal sesuai yang tertulis dalam aturan tersebut.
”Banyak aturan kita itu lebih seperti anjuran. Tidak menaklukkan. Jadi, kalau ada orang yang melanggar, tidak ada disinsentif,” ujar Anies di Balai Kota Jakarta.
Banyak aturan kita itu lebih seperti anjuran. Tidak menaklukkan. Jadi, kalau ada orang yang melanggar, tidak ada disinsentif. (Anies Baswedan)
Terkait Kampung Bengek, Anies akan mengecek terlebih dahulu aturan mana yang bisa diubah sehingga bisa memaksa semua pihak melakukan hal sesuai yang tertulis dalam aturan, baik itu menyangkut pihak swasta maupun warga. Dengan begitu, Pemprov DKI berwenang memberikan sanksi kepada mereka yang melanggar aturan.
”Saya nanti akan review (aturannya) lagi. Jika melakukan pelanggaran, akan ada sanksi yang kuat sehingga orang akan melakukan kegiatan dengan disiplin, termasuk soal (permukiman kumuh di lahan swasta) ini,” tutur Anies.