Beberapa hal jadi pertimbangan konsumen untuk beralih ke kendaraan listrik, terutama soal harga, perawatan, dan daya tahan kendaraan serta kesiapan infrastruktur. Para pelaku industri berharap insentif dari pemerintah.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beberapa hal menjadi pertimbangan konsumen untuk beralih ke kendaraan listrik, terutama soal harga, perawatan, dan daya tahan kendaraan serta kesiapan infrastruktur. Para pelaku industri berharap insentif dari pemerintah.
Faktor keekonomian menjadi pertimbangan utama masyarakat untuk beralih ke kendaraan listrik, antara lain terkait harga kendaraan, biaya perawatan, dan daya tahan kendaraan. Hal lain yang disampaikan responden adalah soal kesiapan infrastruktur, kemudahan layanan, serta penanganan limbah baterai.
Hasil survei yang disampaikan perwakilan agen pemegang merek dalam diskusi yang digelar Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, akhir Agustus 2019, juga menyoroti beberapa faktor itu.
General Manajer Toyota Astra Motor Fransiscus Soerjopranoto menyatakan, hasil penelitian Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), selisih harga antara kendaraan konvensional (mesin pembakaran dalam) dan kendaraan listrik sekitar 13.000 dollar AS. Jika harganya sama, calon konsumen berpikir membeli kendaraan listrik yang ramah lingkungan.
Jawaban warganet melalui sejumlah akun media sosial harian Kompas hampir sama. Mereka menyoroti soal harga kendaraan, kesiapan stasiun pengisian daya, biaya perawatan, dan insentif pajak. Kesiapan listrik yang ramah lingkungan dan penanganan limbah baterai juga jadi sorotan.
Apabila harga kendaraan listrik disamakan dengan harga kendaraan konvensional seperti yang ada di jalanan Indonesia saat ini, menurut dia, calon konsumen akan berpikir untuk membeli kendaraan listrik yang ramah lingkungan tersebut.
Direktur Marketing Bluebird Group Amelia Nasution mengatakan, berdasarkan pengalaman Bluebird mengoperasikan mobil listrik untuk taksi, mobil rata-rata mengonsumsi energi 26 kWh per 100 kilometer. Biaya operasionalnya 35 persen lebih efisien dibandingkan dengan mobil berbahan bakar minyak (BBM). ”Tetapi, harga mobil listrik enam kali lipat (lebih mahal) dibandingkan dengan harga mobil BBM untuk angkutan taksi,” kata Amelia.
Terkait operasi taksi dengan mobil listrik, kesan positif disampaikan pengemudi dan penumpang, antara lain sopir tak perlu antre di stasiun pengisian bahan bakar umum, mobil terasa nyaman, serta tidak ada polusi udara ataupun suara. Namun, ada hal lain yang juga disampaikan, yakni stasiun pengisian masih terbatas, populasi kendaraan masih sedikit, dan takut kehabisan baterai di tengah jalan.
Bersiap
Setelah Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan terbit 8 Agustus 2019, pemerintah dan pelaku industri otomotif mengintensifkan kesiapan.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, seusai rapat koordinasi tentang kendaraan listrik di Jakarta, Selasa (3/9/2019), menyatakan, rapat antara lain membahas stasiun pengisian kendaraan listrik berikut teknologi dan standar komponennya.
Menurut Airlangga, selain PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), pengusaha swasta dapat dilibatkan dalam penyediaan stasiun pengisian. Investasi fasilitas pengisian cepat (fast charger) bervariasi antara Rp 800 juta dan Rp 1,5 miliar.
Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan mengatakan, Indonesia akan menutup ekspor nikel. Harapannya, industri yang memiliki teknologi di industri-industri tersebut mau merelokasi pabrik ke Indonesia. ”Akibat kebijakan ini, investasi untuk baterai lithium dan daur ulangnya akan masuk,” ujarnya. (CAS/MHD)