Medsos Desa Meretas Batas
Sejak 1,5 tahun lalu, warga Desa Gelaranyar, Kecamatan Pegelaran, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, penuh semangat mengolah potensi desanya. Lewat promosi di media sosial, mereka coba berdaya membangun Indonesia dari desa.
Sejak 1,5 tahun lalu, warga Desa Gelaranyar, Kecamatan Pegelaran, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, penuh semangat mengolah potensi desanya. Lewat promosi di media sosial, mereka coba berdaya membangun Indonesia dari desa.
Kabut tipis menyelimuti Desa Gelaranyar, Sabtu (17/8/2019) pukul 06.00. Udara dingin sisa semalam masih terasa menembus kulit. Namun, roda ekonomi desa yang terselip di tengah perbukitan itu sudah berputar.
Dengan cekatan, tangan Opan (45) memanjat bambu yang diikat pada pohon aren setinggi 25 meter. Jari ibu kakinya berpijak pada lubang di setiap pangkal ruas bambu itu.
Lodong (wadah bambu) berisi sadapan nira diturunkan dan diganti dengan wadah baru. Pagi itu, dia membawa pulang 40 liter nira hasil sadapan dari dua pohon. “Untuk musim kemarau, hasil sadapan lumayan banyak. Jika diolah menjadi gula aren, hasilnya sekitar 5 kilogram. Itu belum ditambah hasil panen sore hari,” ujarnya.
Opan mengikat lodong sepanjang 1,5 m itu di pinggangnya. Dia melangkah pulang sambil memperhatikan beberapa pohon aren yang siap disadap tahun depan. Tiba di dapur rumahnya, Opan langsung menuangkan nira ke wajan yang diletakkan di atas tungku. Nira dimasak sekitar empat jam menggunakan kayu bakar.
Uyun (40), istri Opan, membantu mengaduk nira. Selama memasak, buih harus segera dibuang karena dapat menurunkan kualitas gula aren.
“Kalau tidak dibuang, gula cepat mengeras dan warnanya hitam. Jadi, selama memasak, harus terus diawasi,” ujar Uyun.
Uyun mengatakan, dalam sehari, keluarganya memproduksi 8 kg gula aren. Gula dikumpulkan selama sepekan sebelum dijual ke Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Mugilancar, Desa Gelaranyar. BUMDes membeli gula petani seharga Rp 11.000 per kg dalam bentuk batangan. Sementara, jika diolah menjadi serbuk, atau sering disebut gula semut aren, dihargai Rp 14.000 per kg.
Dalam sepekan, Opan dan Uyun menghasilkan 56 kg gula aren. Jadi, mereka memperoleh Rp 616.000 hingga Rp 784.000 per pekan atau Rp 2,46 juta sampai Rp 3,13 juta per bulan.
Baca Juga : Merdeka Desa Ada Dalam Genggaman
Sebelum merasakan manisnya mengolah gula aren, Opan dan keluarganya sempat mencecap pahitnya terjebak dalam “permainan” tengkulak. Karena tak punya pasar lain kecuali menjual ke tengkulak, gula aren hanya dihargai Rp 7.000 – Rp 8.000 per kg.
Harga rendah membuat Opan tak bersemangat menyadap aren. Saat itu dia hanya memproduksi 5 kg per hari. Alhasil, dia hanya mendapatkan Rp 245.000 – Rp 280.000 per pekan atau Rp 980.000 – Rp 1,1 juta per bulan. Hal ini “memaksa” Uyun bekerja menjadi pekerja migran di Arab Saudi pada 2003 – 2006 untuk menambah penghasilan keluarga.
Saat itu, Uyun diupah 600 riyal Saudi per bulan. Jika dikonversi ke rupiah dengan kurs saat itu sekitar Rp 1,2 juta per bulan. “Setelah dipikir-pikir, lebih enak cari uang di desa. Apalagi, sejak adanya BUMDes, gula aren petani dibeli dengan harga tinggi. Ini sangat membantu perekonomian warga,” ucapnya.
Setelah dipikir-pikir, lebih enak cari uang di desa. Apalagi, sejak adanya BUMDes, gula aren petani dibeli dengan harga tinggi. Ini sangat membantu perekonomian warga
Uyun adalah satu dari sekitar 45 warga yang mendapat pelatihan mengolah gula semut aren dari Kementerian Ketenagakerjaan pada 2017. Inovasi olahan itu memberikan nilai tambah sehingga dapat dijual dengan harga lebih tinggi.
Manfaatkan medsos
Terletak di selatan Cianjur, Desa Gelaranyar, terkungkung sulitnya akses. Jalan menuju desa itu sempit dan berlubang. Saat musim hujan, jalan berlumpur sehingga semakin sulit dilalui. Jarak ke jalan raya sekitar 6 kilometer.
Desa Gelaranyar berjarak sekitar 63 km dari pusat Pemerintahan Kabupaten Cianjur dan 93 kilometer dari pusat Pemerintahan Provinsi Jabar. Selain jadi kawasan pekerja migran, kecamatan ini dikenal rawan longsor. Namun, lewat internet, meski dengan jaringan seadanya, potensi desa itu kini dipromosikan lebih luas. Imbasnya, pengusaha dari luar daerah, Bandung, Bekasi, dan Sumedang, berlomba mencari hasil karya warga setempat.
Kepala Desa Gelaranyar, Jenal (36), mengatakan, kehadiran internet mempermudah pemasaran hasil pertanian dan perkebunan desa. “Dengan internet, jangkauan pasar semakin luas. Sejumlah petani tidak lagi bergantung pada tengkulak. Ekonomi desa pun ikut terdongkrak,” ujarnya.
Jenal menuturkan, pemberdayaan mengolah potensi desa itu juga mengubah paradigma warga dalam mencari pekerjaan. Dampaknya, jumlah TKI dari desa itu berkurang dalam dua tahun terakhir. “Tahun 2017, masih ada sekitar 150 TKI dari desa ini. Namun, saat ini jumlahnya kurang dari 50 orang,” ucapnya.
Baca Juga : Dadeng Sutaryadi Inovator Kemajuan Desa
Selain gula aren, BUMDes Mugilancar juga memasarkan produk lainnya, seperti, lengkuas bubuk, kunyit bubuk, serta minyak sereh wangi. Produk-produk itu ditawarkan lewat media sosial Facebook, Twitter, dan Instagram. Keaktifan menggunakan medsos itu diganjar prestasi Juara 2 Piala Humas Jabar 2019 kategori Pengelolaan Medsos Tingkat Desa.
Direktur BUMDes Mugilancar Dadeng Sutaryadi Irawan (33) mengatakan, sejauh ini, minat warga terbilang baik meski belum ideal. Menurut dia, Desa Gelaranyar menghasilkan sekitar 2,5 ton gula aren per minggu. Namun, baru 1 ton per minggu yang dipasarkan oleh BUMDes. Hasil penjualan itu memberikan pemasukan sekitar Rp 10 juta per bulan.
Menurut Dadeng, kondisi itu dipicu praktek ijon yang masih berlangsung. Akibatnya, petani tak punya banyak pilihan ketika tengkulak menetapkan harga rendah. Ke depan, Dadeng optimistis peran tengkulak akan semakin tergerus jika pemberdayaan warga terus ditingkatkan. “Permintaan pasar sangat tinggi. Tidak jarang, kami menolak pesanan karena kekurangan pasokan dari petani,” ujarnya.
Permintaan pasar sangat tinggi. Tidak jarang, kami menolak pesanan karena kekurangan pasokan dari petani
Sinyal internet yang jadi jembatan dengan dunia, juga butuh perbaikan. Tak semua tempat disinggahi koneksi internet. Hal itu membuat pemeriksaan stok atau penerimaan pesanan kerap terlambat dilakukan.
"Salah satu tempat yang sinyalnya kuat adalah tanah lapang dekat rumah. Di sana jadi kantor dadakan mempromosikan produk warga di medsos," kata Dadeng.
Sebarkan cinta
Ke depan, internet tak hanya akan digunakan mencari rupiah. Warga Gelaranyar juga hendak menyebar cinta pada dunia melalui medsos. Lewat gerakan 1.000 koin, warga mengumpulkan dana sosial untuk membantu keluarga miskin.
Gerakan ini dijalankan Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Desa. Setiap pekan, tim mengumpulkan koin Rp 500 dari sekitar 1.000 rumah tangga. Jadi, dana yang terkumpul Rp 500.000 per minggu atau Rp 2 juta per bulan.
Setiap bulan, dana tersebut digunakan untuk membantu keluarga miskin. Penerima bantuan ditentukan melalui musyawarah warga tingkat dusun.
“Uang yang dikumpulkan dari warga memang dalam nominal kecil. Namun, manfaatnya sangat membantu warga miskin yang belum terjangkau bantuan sosial dari pemerintah,” ujar Jenal.
Gerakan 1.000 koin dimulai sejak awal 2018. Hingga Agustus 2019, sudah 18 keluarga miskin yang menerima bantuan itu. Bentuknya beragam, seperti bantuan perbaikan rumah, modal usaha, dan ternak. Untuk menjamin transparansi, aktivitas program ini diunggah ke Instagram, twitter, dan facebook.
Salah satu penerima manfaat gerakan 1.000 koin itu adalah Ukin (56). Dia menerima bantuan domba betina pada Maret 2018. Ukin tinggal sebatang kara. Rumahnya berukuran sekitar 3 meter x 7 meter dengan dinding tepas. Sehari-hari, dia berkebun serai, singkong, dan lengkuas di lahan garapan seluas 140 meter persegi. Namun, hasilnya tak menentu, terutama saat musim kemarau seperti saat ini.
Sejak menerima bantuan domba, kepala Ukin tak lagi pusing memikirkan kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan, dia bisa menabung dari hasil penjualan dombanya. Dombanya beranak lima ekor setelah dikawinkan dengan domba jantan milik tetangga. Dua anak domba dijual ke tetangga dengan harga Rp 1,5 juta.
“Tiga ekor lainnya tetap diternakkan. Semoga menghasilkan banyak anak sehingga bisa dijual lagi,” ujarnya.
Bagi warga Gelaranyar kemudahan teknologi dengan cepat meninggalkan keterbatasan. Namun, kendala itu masih saja ada. Butuh perhatian negara bila ingin melihat mereka desa tetap berdaya.