Pemerintah dan swasta berperan besar untuk melecut kembali semangat para pelaku usaha agar bisa bangkit dan menjadi pelaku usaha tangguh.
Oleh
IQBAL BASYARI/AMBROSIUS HARTO/ RUNIK SRI ASTUTI
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Dalam memulai usaha, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah kerap mendapat cibiran, cacian, dan kritik dari pelanggan. Pemerintah dan swasta berperan besar untuk melecut kembali semangat para pelaku usaha agar bisa bangkit dan menjadi pelaku usaha tangguh.
Hal tersebut mengemuka saat Bincang Kompas bertema ”Keberpihakan Swasta dalam Mengokohkan Posisi UMKM di Jatim” kerja sama dengan PT HM Sampoerna Tbk, di Surabaya, Kamis (5/9/2019). Hadir sebagai pembicara Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Jatim Mochammad Yasin, Stakeholder Relation & CSR Facility Manager PT HM Sampoerna Tbk Indra Refipal Sembiring, pakar statistik Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kresnayana Yahya, serta pelaku usaha Sri Rahayu dan Aminah.
Aminah mengatakan, setiap memulai usaha, dirinya sering kali menemui tantangan yang tidak diperkirakan. Tantangan yang biasanya datang dari konsumen harus diselesaikan agar usaha yang dijalankan bisa terus berlanjut.
Saya kemudian memiliki ide untuk membuat pecel semanggi instan yang bisa dibawa ke luar kota. Orang-orang yang rindu makanan khas Surabaya kini tidak perlu datang ke Surabaya, mereka bisa menikmatinya di mana pun berada. (Aminah)
Dia mencontohkan, saat mulai membuat produk pecel semanggi instan dengan merek Selendang Semanggi, dia dihadapkan pada permintaan konsumen dari luar kota. Produk pecel semanggi miliknya tidak bisa dibawa ke luar kota untuk dijadikan oleh-oleh. Pecel semanggi saat itu hanya bisa dinikmati dengan datang langsung ke Surabaya.
”Saya kemudian memiliki ide untuk membuat pecel semanggi instan yang bisa dibawa ke luar kota. Orang-orang yang rindu makanan khas Surabaya kini tidak perlu datang ke Surabaya, mereka bisa menikmatinya di mana pun berada,” kata Aminah.
Pemilik usaha tas Gendhis Collection di Pasuruan, Sri Rahayu, mengatakan, dia mengikuti program pelatihan dari Pusat Pelatihan Kewirausahaan (PPK) Sampoerna untuk mengembangkan usahanya. Saat itu, dia baru saja pindah dari Sidoarjo menuju Pasuruan pada 2009 karena melihat peluang pasar yang lebih besar di kota tersebut.
”Di PPK Sampoerna, saya mendapatkan pelatihan dan jaringan yang lebih luas untuk memasarkan produk. Berbagai pameran yang saya ikuti ternyata bisa menambah jumlah reseller yang tertarik menjual produk-produk saya,” ucapnya.
Bergandengan tangan
Indra mengatakan, swasta, dalam hal ini Sampoerna, yang tahun ini memasuki usia 106 tahun, bergandengan tangan dengan pemerintah untuk mengakselerasi perekonomian melalui pemberdayaan UMKM. Untuk itu, perusahaan meluncurkan Sampoerna untuk Indonesia dengan dua program, yakni Sampoerna Enterpreneurship Training Center (SETC) dan Sampoerna Retail Community (SRC).
SETC merupakan program pelatihan kewirausahaan pada kompleks terpadu dan lengkap seluas 27 hektar di Pasuruan. Sejak 2007, SETC telah memfasilitasi pelatihan bagi 46.000 usaha kecil menengah (UKM) dari 79 kabupaten/kota di 20 provinsi. Dalam pelatihan, SETC juga mengaplikasikan 90 hasil riset terapan pertanian terpadu yang dikembangkan oleh UKM dalam berbagai produk.
”Satu yang penting dalam pelatihan yang singkat atau lebih lama ialah membangkitkan kepercayaan diri wirausaha untuk bersemangat, tangguh, pantang menyerah,” kata Indra.
Kepercayaan diri tak mudah untuk diajarkan atau dilatih tetapi bisa menjadi bahan dalam pelatihan saat berbagi pengalaman. Para pelaku UKM mungkin masih memerlukan pendampingan sampai kemudian siap untuk bertarung kembali dalam perbisnisan.
Kami terus mendorong agar kedua program bisa disinergikan. (Indra Refipal)
Adapun SRC berwujud pelatihan keterampilan bisnis bagi peretail atau pedagang tradisional yang notabene pelaku usaha mikro. Sejak diluncurkan pada 2008, program yang awalnya diikuti 57 orang ini sudah menjangkau lebih dari 105.000 pedagang tradisional.
”Kami terus mendorong agar kedua program bisa disinergikan,” ujar Indra. Maksudnya, pelatihan dalam SRC bertujuan mengembangkan skala usaha agar tidak melulu menjadi mikro.
UMKM desa
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Jatim Mochammad Yasin yang mewakili Wakil Gubernur Jatim mengatakan, ada perbedaan mendasar dalam karakter UMKM di desa dan kota. UMKM desa masih memerlukan pendampingan dan dorongan untuk berkembang dan berdaya.
Yasin memaparkan, di Jatim ada 7.721 desa. Namun, belum semua punya badan usaha milik desa atau BUMDes yang menaungi usaha gurem atau UMK di desa. Dari jumlah tadi, baru terdapat 5.432 BUMDes. ”Masih ada 88 desa berkategori sangat tertinggal sementara yang mandiri baru 69 desa,” ujarnya.
Untuk desa mandiri bisa digambarkan memiliki BUMDes dengan skala bisnis yang kuat dengan dukungan belasan hingga puluhan UMK. Misalnya, BUMDes pengelola obyek wisata alam desa mendapatkan pemasukan hingga lebih dari Rp 1 miliar per tahun di mana turut menggerakkan perekonomian UMK-UMK di sekitarnya sebagai produsen pangan olahan dan cendera mata.
”Kami mendorong pegiat BUMDes dapat mengikuti berbagai pelatihan kewirausahaan untuk kemudian memacu pemberdayaan usaha di desanya,” kata Yasin. Pemberdayaan UMKM di desa memerlukan upaya luar biasa dan ”virus-virus” positif dari luar untuk mendorong inovasi produk, pemasaran, dan pergerakan ekonominya.
Masih menurut Yasin, karakter wirausaha pejuang yang pantang menyerah amat penting ditularkan dan menjadi semangat penggerak UMKM di desa. Jika di kota daya juang UMKM bisa tumbuh karena persaingan, tetapi di desa memerlukan intervensi melalui berbagi pengalaman, pelatihan, pendampingan, dan pemberian contoh.
Posisi swasta besar
Kresnayana menilai, peran swasta dalam mengokohkan posisi UMKM sangat besar. Peran ini perlu diperkuat sehingga tidak hanya pada pembinaan atau pendampingan melainkan diperluas pada bidang pemasaran dan pencitraan (branding) produk.
Untuk menguatkan kontribusinya dalam mengembangkan pelaku UMKM di Jatim, swasta tidak harus bekerja sendiri. Mereka bisa berkolaborasi dengan pemerintah daerah dan pemerintah provinsi, bahkan dengan pihak swasta lain. Caranya dengan membentuk asosiasi untuk program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR).
Pendiri lembaga konsultan bisnis Enciety (Enciety Business Consul) ini menambahkan pelaku UMKM biasanya hanya memiliki kemampuan produksi barang. Kebanyakan mereka belum memiliki ketrampilan untuk melakukan transformasi bisnis contohnya membuat strategi perencanaan dan distribusi.
Contoh lain kemampuan manajemen sumber daya manusia. Pelaku UMKM bingung ketika usahanya berkembang dan harus mempekerjakan sejumlah karyawan. Beragam persoalan yang menyangkut karyawan, seperti keluarga mereka, memerlukan penanganan yang tidak mudah.
Kresnayana mengatakan, UMKM memiliki kontribusi besar dalam pembangunan ekonomi regional di Jatim. Selain membuka peluang usaha dan menciptakan lapangan kerja, UMKM juga berpeluang meningkatkan nilai produk domestik regional bruto (PDRB) Jatim.