Pelemahan KPK Berjalan Mulus, Proses Persetujuan Hanya Makan Waktu 5 Menit
Setelah revisi UU KPK disetujui menjadi RUU usul DPR dalam Rapat Paripurna DPR, hari ini, kabarnya Baleg DPR akan mulai membahasnya pada Sabtu (7/9/2019) dan targetnya RUU KPK sudah disahkan pada Selasa (10/9/2019).
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG/AGNES THEODORA/Insan Alfajri
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Niat DPR merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi berjalan mulus. Rapat Paripurna DPR menyetujui usulan revisi dari Badan Legislasi DPR menjadi rancangan undang-undang usul DPR dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (5/9/2019). Bahkan, pembahasan rancangan undang-undang itu bakal dikebut sehingga targetnya bisa disahkan pekan depan.
Rapat Paripurna DPR dengan agenda meminta pendapat fraksi-fraksi terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) usul Badan Legislasi (Baleg) DPR tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan persetujuan fraksi agar RUU usul Baleg disahkan menjadi RUU usul DPR berjalan singkat dan mulus.
Proses persetujuan hanya makan waktu lima menit. Tidak ada pula suara interupsi anggota DPR yang menolak revisi selama proses berlangsung. Pendapat setiap fraksi yang biasanya dibacakan kali ini cukup diserahkan secara tertulis kepada pimpinan DPR.
Setelah itu, Wakil Ketua DPR dari Fraksi PDI-P Utut Adianto langsung menanyakan persetujuan 281 anggota DPR yang hadir. Mereka pun bersemangat menjawab kompak, menyetujui revisi UU KPK menjadi RUU usul inisiatif DPR.
Menurut anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, DPR menargetkan revisi UU KPK akan disahkan sebelum masa jabatan DPR periode 2014-2019 berakhir.
Bahkan, berdasarkan informasi yang diperoleh Kompas, Baleg DPR akan mulai melakukan pembahasan pada Sabtu, 7 September, dan targetnya RUU KPK akan disahkan pada Selasa, 10 September.
Saat dikonfirmasi terkait hal tersebut, anggota Baleg DPR dari Fraksi Golkar, Firman Subagyo, mengaku tak mengetahui rencana itu.
”Saya belum tahu apakah akan disahkan pada Selasa nanti. Kita lihat saja nanti mekanisme apa yang akan berlaku,” katanya.
Firman menegaskan, tidak boleh ada pihak yang mendikte DPR dalam proses revisi UU KPK, baik dari masyarakat sipil maupun dari lembaga KPK. Ia menekankan, semua fraksi di DPR telah setuju akan adanya revisi tersebut.
”RUU KPK ini merupakan inisiatif dan wewenang DPR. Oleh sebab itu, tidak boleh ada yang mendikte DPR, apalagi dari kelompok yang mengatasnamakan rakyat,” ucapnya.
Poin revisi
Arsul menjelaskan, berdasarkan laporan Baleg DPR, poin-poin yang akan direvisi dari UU KPK sama dengan saat revisi UU tersebut muncul sebelumnya.
"Yaitu rencana pembentukan Dewan Pengawas KPK yang akan mengawasi kinerja KPK. Kemudian, KPK dalan menjalankan tugasnya dapat melakukan penyadapan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas KPK," ujarnya.
Terkait Dewan Pengawas KPK, bentuknya nanti berupa lembaga nonstruktural yang anggotanya berjumlah lima orang. Tiga diantaranya akan dipilih oleh DPR sedangkan dua lagi oleh Presiden. Mereka yang masuk di Dewan Pengawas KPK itu disebut Arsul, harus orang-orang yang independen.
Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo terkejut mendengar rencana revisi UU KPK kembali digulirkan DPR. Terlebih lagi, di antara poin revisi itu, muncul kembali pengaturan agar KPK dapat menghentikan perkara, pembentukan Dewan Pengawas KPK, hingga penyadapan yang perlu izin Dewan Pengawas.
”Kalau yang direvisi ini, jelas akan melemahkan KPK. Saat ini yang diperlukan KPK bukan revisi terhadap UU KPK. Namun, yang jauh lebih penting untuk direvisi ialah Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi,” ujar Agus.
Berdasarkan catatan Kompas, keinginan untuk merevisi UU KPK dengan materi antara lain menghadirkan Dewan Pengawas KPK dan penyadapan KPK harus didahului izin dari Dewan Pengawas muncul sejak 2016. Setiap kali niat itu muncul, publik selalu menolaknya karena melihat poin-poin revisi akan melemahkan KPK.
Soal penyadapan yang harus didahului izin dari Dewan Pengawas, misalnya. Prosedur izin ini membuka peluang rencana penyadapan dibocorkan. Padahal, selama ini penyadapan menjadi salah satu senjata KPK membongkar korupsi.
Peneliti ICW, Donal Fariz, pun melihat materi revisi UU KPK yang diinisiasi DPR berpotensi melemahkan, bahkan melumpuhkan KPK.
Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo menjadi kunci agar pelemahan KPK tidak menjadi kenyataan. ”Presiden punya otoritas secara konstitusional untuk tidak menyetujui pembahasan revisi UU tersebut. Kalau Presiden tidak mau, tidak bisa DPR memaksakan pembahasan dan tidak mungkin pula RUU itu disahkan,” ucapnya.