Seharusnya Dul Tak Perlu Pulang
Lenguhan dan desahan napas dari dalam kamarnya masih terdengar. Membuat Dul terus melakukan apa yang harus dilakukannya. Hingga tak ada lagi bensin yang keluar dari kabel yang terpotong tak sempurna. Hingga tak ada lagi
Seandainya Dul tahu apa yang akan ditemuinya malam itu, mungkin dia akan menunda kepulangannya hingga esok pagi, atau minggu depan, atau tak usah pulang saja sekalian.
Perasaannya memang sudah tak enak sejak pagi. Entah kenapa. Seperti segala sesuatu di sekitarnya tidak berada pada tempatnya atau tidak berjalan seperti seharusnya, atau tidak terjadi sesuai keinginannya. Dul nyaris uring-uringan sepanjang hari, hingga memutuskan mungkin itulah saatnya dia pulang pada Marni. Mungkin, rindunya sudah terlampau menumpuk.
”Memangnya sudah berapa lama kau tak pulang, Dul?” tanya Paijo saat mereka baru saja memindahkan sepiring penuh nasi rames ke dalam perut. Paijo termasuk teman dekat Dul, hingga dia bisa tahu, hari itu Dul sedang senewen berat.
”Lima bulan, Jo, lima bulan!”
”Halah, baru juga segitu, Dul. Hawong aku aja cuma pulang tiap Lebaran, kok.”
Dul hanya menanggapi ejekan Paijo dengan senyuman. Dalam hati dia balas mengejek, mungkin istri Paijo tidak terlampau ngangenin seperti istrinya.
”Enggak tahan kepengen itu, Dul?” tanya Paijo selanjutnya seraya mengedipkan sebelah mata.
Dul hanya tergelak mengelak. Mengerti apa yang dimaksudkan Paijo, sekaligus enggan mengakui bahwa ”itu” memang salah satu alasannya ingin segera pulang pada Marni. Dibiarkannya saja Paijo yang terbahak mengartikan kebisuan Dul sebagai pertanda iya. Di kepala Dul kini sesak oleh imaji rumah dan Marni yang setia menunggunya.
Biasanya setiap akhir bulan Dul pulang. Perjalanan dari tempatnya bekerja ke rumah memang tidak terlampau jauh, hanya sekitar enam jam dengan bus, bisa lebih cepat jika Dul naik kereta (meskipun pilihan ini jarang sekali Dul lakukan karena jauh lebih mahal). Tapi pada kepulangannya yang terakhir, ada sebuah permintaan Marni yang membuatnya ingin menghemat uang hingga terpaksa tak pulang hingga berbulan-bulan.
”Mas, kapan kita punya sepeda motor lagi, Mas?” rajuk Marni malam itu.
Dul tahu, permintaan Marni yang satu itu telah dilontarkan mungkin sudah untuk yang ketiga ratus enam puluh sembilan kalinya dalam pernikahan mereka yang belum sampai dua tahun. Dul juga tahu, Marni tidak akan bosan meminta kecuali motor impiannya itu sudah bisa termiliki. Maka Dul hanya memeluk Marni lebih erat, seraya membisikkan kalimat janji yang dia sendiri tak tahu kapan bisa ditepati, ”Iya, nanti Mas beli sepeda motor lagi, Sayang.”
Perihal kenapa Marni memimpikan sebuah motor sesungguhnya Dul tahu betul alasannya. Dulu Dul memang sudah memiliki motor, bukan motor keluaran terbaru dan paling mahal, tapi karena dirawat dengan baik (terima kasih pada profesinya yang adalah montir kawakan seantero kampung), motor itu masih terlihat sangat bagus. Dul bahkan sangat paham, motor itu seperti jimat keberuntungan baginya, karena dari sekian bujang di kampung, Marni merelakan dirinya untuk dinikahi Dul.
Menikahi seorang kembang semacam Marni memang butuh pengorbanan, Dul paham betul itu. Dan dia rela seikhlas-ikhlasnya menjual motor si jimat keberuntungannya itu, untuk membangunkan rumah sederhana di kampung mereka, demi perempuan yang telah menjadi istrinya itu. Satu-satunya penyesalan Dul adalah dia terlambat tahu, bahwa bagi Marni, memeluk pinggangnya di boncengan motor rupanya serupa surga yang bisa dirasakannya di dunia. Maka saat itu tak bisa lagi dia lakukan, perempuan itu pun menjadi rungsing.
Itulah kenapa Dul terpaksa menerima pekerjaan di kota sebelah meskipun harus meninggalkan Marni sendiri. Meskipun sama-sama montir, gaji di kota jauh lebih besar daripada di kampungnya. Mungkin karena di kota orang-orang memang lebih kaya, atau orang-orang yang bisa memperbaiki mesin semacam Dul terlampau sedikit atau entahlah apa alasannya. Satu hal yang pasti, penghasilannya di kota bisa tiga-empat kali lipat lebih banyak! Dul tak bisa mengelak.
Sayangnya, Marni tak mau ikut dirinya merantau ke kota. Sejak dulu Marni tak suka hiruk-pikuk kota, kemacetan jalan raya, dan seterusnya yang menempel pada sebuah kota. Marni terlalu mencintai kampungnya yang tenang dan nyaman, juga rumah kecil mereka di ujung kampung yang sunyi menyendiri.
”Kalau aku ikut ke kota, biayanya lebih mahal, Mas. Kalau cuma sendiri Mas bisa sewa kamar bersama-sama teman lain, iya, toh?” Dul hanya bisa sepakat karena memang dia pun sependapat. Meskipun saat itu dia tetap merajuk meminta Marni ikut, sementara Marni pun geming ingin tetap tinggal.
Walau bagaimanapun, Dul memang harus mengalah untuk memenangkan hati Marni. Cinta harus selalu diperjuangkan, Dul tahu betul itu. Dul juga paham, bagi Marni pun, menanti suami di rumah sendirian sekian hari adalah perjuangan tak mudah bagi perempuan.
Satu hal yang membuat Dul mensyukuri keputusannya meninggalkan Marni ke kota adalah percintaan mereka yang selalu hebat setiap kali dia pulang, seolah kerinduan dan jarak telah membuat mereka menjadi dua pribadi yang sama-sama haus untuk saling menyentuh, atau saling mencumbu, atau saling-saling yang lainnya. Dan satu hal ini, tak bisa Dul bagi, kepada Paijo sekalipun.
Entah rindunya yang terlalu menggebu, Dul menghiraukan nasihat Paijo untuk berangkat selepas subuh esok pagi.
”Jumat malam begini macet sudah semacam simulasi neraka, Dul.” Dul hanya mengangguk-angguk mendengar kalimat teman sekerja yang sekaligus juga teman satu kamar sewanya itu.
”Tiap hari juga macet, Jo,” ujar Dul datar. Memang demikianlah adanya. Pulang malam itu juga atau besok pagi, terkadang macet, ya, tetaplah macet, tak peduli waktu, bukan?
Paijo hanya geleng-gelengkan kepala sambil menarik sarungnya. Tak lama dengkurnya mulai terdengar, giliran Dul yang geleng-geleng kepala melihatnya. Sebenarnya dia pun mengantuk, tetapi dia ingin mengejutkan Marni dengan kepulangannya hari ini.
Sengaja, dia tak memberi tahu istrinya itu kalau dia akan pulang. Dul juga merahasiakan sejumlah uang yang bisa mereka gunakan sebagai uang muka untuk menyicil sepeda motor impian Marni, tersimpan aman di tasnya. Dul tahu, untuk berbulan-bulan ke depan, dia harus tetap menghemat untuk bisa membayar cicilannya. Tapi membayangkan Marni yang berseri-seri bisa mengendarai sepeda motor keliling kampung membuat Dul rela berhemat hingga bertahun-tahun.
Seandainya Dul tahu, dia tak perlu terimpit berdesak di bus yang sesesak neraka. Dul juga tak perlu lelah berjalan kaki pada malam buta yang gelapnya terlampau keparat.
Tapi yang sudah terjadi telanjur terjadi. Dul hanya bisa terkejut saat didengarnya desahan laknat suara lelaki bersahut lenguhan istrinya di kamar yang seharusnya hanya miliknya. Di pinggir rumah, dilihatnya sebuah sepeda motor—yang berjenis persis sama dengan yang diinginkan Marni—terparkir diam seolah menertawakan Dul yang terlampau muntab.
Dul tak bisa apa-apa. Tangannya hanya terkepal, rahangnya hanya mengeras menahan gusar. Ditatapnya penuh murka si sepeda motor yang terparkir angkuh itu. Detik berikutnya, Dul mengeluarkan tas perkakas kesayangan yang selalu berada di ranselnya. Mirip kumpulan pisau milik para chef, obeng-tang-kunci dan teman-temannya itu adalah sahabat terbaik Dul yang selalu dibawanya kemana pun dia pergi. Khususnya malam ini, mereka benar-benar sahabat terbaik Dul.
Susah-payah bekerja tanpa suara, dipotongnya kabel penghubung tangki motor, bensin yang mengalir ditampungnya dengan botol air mineral yang sudah lama kosong. Dalam diam, dia berjalan mengitari rumah seraya mengguyur dindingnya dengan bensin. Ditariknya pot-pot besar berisi kuping gajah dan berbagai tanaman untuk mengganjal pintu depan. Dicabutnya bambu tiang jemuran susah payah, lantas menggunakannya sebagai pengganjal pintu belakang dan jendela-jendela.
Lenguhan dan desahan napas dari dalam kamarnya masih terdengar. Membuat Dul terus melakukan apa yang harus dilakukannya. Hingga tak ada lagi bensin yang keluar dari kabel yang terpotong tak sempurna. Hingga tak ada lagi jalan keluar bagi mereka yang berada di dalam.
Dul tak bisa apa-apa, sungguh. Sekali lagi didengarnya suara Marni yang baru saja menjerit nikmat. Awalnya Dul penasaran ingin tahu siapa lelaki pemilik sepeda motor yang telah membuat Marni-nya sedemikian laknat. Tapi sungguh, itu tak ada artinya lagi.
Dul sudah berhenti merokok sejak lama untuk alasan yang dia sendiri sudah lupa, tapi pemantik api di ranselnya masih ada, lengkap dengan sekotak rokok yang tak pernah lagi disentuhnya. Malam itu, Dul kembali menyelipkan batang kecil putih di antara kedua bibirnya. Ujungnya yang memerah setelah terbakar api entah kenapa membuatnya tersenyum lebar. Tak lama dilemparkannya kemeja tipis miliknya yang telah dia bakar ujungnya pada dinding yang telah juga dia sebarkan rumput kering.
Api menjalar perlahan dibantu angin kemarau yang kering. Hanya berkaus singlet Dul jongkok di depan kamar sambal menikmati rokok. Kamar Marni (yang dulu adalah juga kamarnya) kini senyap, hanya sayup suara napas teratur dari dua orang manusia yang mungkin saja kini tengah saling memeluk telanjang. Dul tersenyum, membayangkan dua orang itu akan terbakar bahkan sebelum mereka tiba di neraka.
Seandainya Dul tahu, seharusnya tadi dia tak usah pulang, seharusnya dulu dia tak perlu menikahi Marni, seharusnya dia … Ah, sudahlah. Dul hanya memandangi saja rumah di depannya yang kini tengah terbakar hebat, lengkap dengan dua calon mayat gosong di dalamnya yang sebentar lagi akan melolong minta tolong.
Mungkin, seharusnya Dul tak perlu pulang.
______________
Rinrin Indrianie, punya nama pena Orin. Ia menempuh pendidikan di Sastra Jepang. Telah Menerbitkan antologi kumpulan cerpen bertajuk Little Stories (2014), Yesterday in Bandung (novel kolaborasi, 2016), dan novel Pulang, Mereka yang Pergi Pasti Kembali (2018).