Tahun 2020, pembangunan sumber daya manusia di desa menjadi salah satu prioritas pembangunan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Tahun 2020, pembangunan sumber daya manusia di desa menjadi salah satu prioritas pembangunan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Pembangunan SDM merupakan bagian dari upaya mempertahankan dan menguatkan modal sosial masyarakat, yang sejatinya merupakan sumber kekuatan utama desa.
Hal itu menjadi salah satu paparan dalam diskusi Forum Sinau Desa bertema ”Konsep Ideal Pemberdayaan Masyarakat Desa”, Kamis (5/9/2019). Diskusi itu hasil kerja sama forum masyarakat desa dengan harian Kompas Biro Malang.
Hadir sebagai pembicara Dr Ivanovich Agusta, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemendesa, dan Muhammad Nur Uddin, tenaga ahli utama penasihat Menteri Desa PDTT. Diskusi dihadiri puluhan orang yang terdiri dari masyarakat umum, pendamping desa, perangkat desa, dan penggiat desa.
”Tahun depan, Kemendesa memiliki lima prioritas, yaitu membangun konektivitas, menguatkan pascapanen, membangun SDM, desa wisata, dan desa digital,” kata Ivanovich.
Membangun konektivitas (desa), menurut dia, untuk mengurangi ongkos produksi produk desa. Adapun penguatan pascapanen untuk memberikan nilai lebih pada produk desa.
”Pembangunan SDM, menurut rencana, menggunakan platform pemerintah, yaitu akademi desa. Siapa pun bisa masuk ke sana dan akan diuji dengan menunjukkan apa yang telah dilakukan dan dinilai. Lalu, akan ada sertifikat yang diakui,” katanya.
Model pembangunan SDM berbasis platform tersebut, menurut Ivanovich, lebih tepat. Pasalnya, untuk memaksa masyarakat desa bersekolah, tidaklah mungkin. Pembangunan SDM tersebut, menurut Ivanovich, adalah bagian dari strategi pemberdayaan masyarakat desa. Dengan memberdayakan masyarakat, maka masyarakat bisa menentukan sendiri bentuk pembangunan yang terbaik untuk mereka.
Interaksi sosial
Strategi pemberdayaan yang cocok di Indonesia, menurut Ivanovich, adalah yang dimulai dari interaksi atau hubungan sosial. ”Kajian kualitatif di 33 provinsi mendapati bahwa ternyata yang maju di desa terlebih dahulu adalah kehidupan sosialnya (gotong royong, kerja sama), baru ekonomi. Maka, mungkin strategi pemberdayaan yang cocok di Indonesia adalah dari interaksi atau hubungan sosial, baru ke sektor ekonomi,” katanya.
Jumlah desa yang punya tempat pertemuan atau public sphere pun meningkat.
Contoh membaiknya modal sosial di desa, menurut Ivanovich, tampak dari meningkatnya gotong royong di desa. ”Dahulu, dikhawatirkan program padat karya tunai (PKT) menjadikan orang tidak mau bergotong royong,” ujarnya.
Namun, Ivanovich melanjutkan, ternyata, sensus Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa jumlah desa bergotong royong dari 94 persen pada 2014, meningkat menjadi 96 persen pada tahun 2018. ”Jumlah desa yang punya tempat pertemuan atau public sphere pun meningkat,” katanya.
Peningkatan interaksi sosial masyarakat desa ini rupanya berkebalikan dengan capaian ekonominya. Ivanovich mencatat, pendapatan asli desa (PADes) justru terus menurun dari waktu ke waktu. Sebelum 1984, nilai PADes adalah 80 persen dari APBDesa. Tahun 2014, nilai PADes menurun menjadi sekitar 20 persen dari PADes. ”Begitu dana desa diberikan, saat ini PADes rata-rata nasional tinggal 3 persen,” kata Ivanovich.
PADes terus turun, salah satunya, menurut Ivanovich, karena pemerintah desa tidak boleh lagi mengeluarkan leges (semacam retribusi administrasi). Hal itu menyebabkan sumber pendapatan desa yang tersisa hanya aset desa dan pendapatan dari badan usaha milik desa (BUMDes).
”Persoalannya, tahun lalu, APBDes yang dikeluarkan untuk BUMDes se-Indonesia sebesar Rp 1,3 triliun. Namun, jumlah PADes yang didapat dari BUMDes se-Indonesia cuma Rp 300 juta,” katanya. Jumlah BUMDes di Indonesia saat ini 45.850 dan jumlah BUMDes aktif hingga Maret 2019 sebanyak 36.000.
Sementara itu, Muhammad Nur Uddin menyampaikan, pemberdayaan masyarakat salah satunya bisa dilihat dari pendampingan. Menurut dia, kerja pendampingan desa bukanlah melakukan hal-hal mudah dan tampak di depan mata. Namun, sebaliknya, mengerjakan hal yang tidak kelihatan, misalnya menggarap modal sosial desa.
Bayangan saya, pendamping akan lebih mendorong peningkatan kualitas pembangunan desa, dimulai dari kualitas perencanaan yang baik.
”Pendamping atau pemberdaya seharusnya tidak melulu mengerjakan ekonomi, tetapi juga harus paham ’kebudayaan’ yang tidak tampak. Modal sosial, seperti kepercayaan antarmasyarakat, perlu dilestarikan. Bayangan saya, pendamping akan lebih mendorong peningkatan kualitas pembangunan desa, dimulai dari kualitas perencanaan yang baik. Hal itu dimulai dari musyawarah desa,” katanya.
Sementara terkait lima tahun pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Kemendesa mencatat sejumlah fakta menarik di lapangan. Salah satunya adalah keberanian desa melaksanakan wewenangnya, bahkan ”melanggar” aturan pusat, mulai meningkat.
Misalnya, empat program prioritas Kemendesa, di antaranya program Prukades (program unggulan kawasan perdesaan) dan pembangunan sarana olahraga, masih minim direalisasikan. Sejak 2016, APBDes yang digunakan oleh desa untuk empat program prioritas tersebut ternyata tidak pernah lebih dari 30 persen (28 persennya adalah pengeluaran untuk BUMDes). Bahkan, anggaran untuk Prukades adalah nol.
Temuan menarik lainnya, menurut Ivanovich, adalah program padat karya tunai (PKT). Pemerintah mensyaratkan, dana desa 30 persen digunakan untuk PKT. Artinya, seharusnya dana desa untuk program itu secara keseluruhan Rp 18 triliun.
Namun, tahun lalu, untuk padat karya tunai, realisasinya mencapai Rp 34 triliun. Dari jumlah itu, untuk keperluan honor Rp 10 triliun dengan jumlah orang bekerja 9 juta orang. ”Ini artinya, kalau menguntungkan orang desa, dan ini rasional, maka masyarakat desa pun bisa melanggar aturan pusat,” kata Ivanovich.