Masyarakat Papua pada dasarnya ingin didengar. Sesudah menumpahkan emosi, biasanya masyarakat mau diajak bicara dari hati ke hati. Itu yang harus dipahami.
Oleh
Iwan Santosa
·4 menit baca
Meski kendali keamanan di Papua berada di tangan Polri, seiring dengan rencana strategis membangun kekuatan militer untuk mencapai minimum essential forces hingga 2029, TNI turut membangun kekuatan di wilayah perbatasan, termasuk di Papua dan Papua Barat.
Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dalam satu kesempatan menceritakan, pembentukan satuan-satuan baru TNI dan sarana pendukung akan meningkatkan ekonomi setempat dan juga membuka kesempatan bagi putra daerah untuk mengabdi sebagai prajurit TNI.
Dalam komunikasi dengan Panglima TNI, yang sepekan ini berada di Papua, terungkap bahwa dalam dua tahun terakhir sudah dibentuk berbagai satuan dan pengembangan organisasi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan pertahanan di wilayah perbatasan.
Semisal pembentukan Komando Operasi TNI AU III yang berpusat di Biak. Di masa perebutan Irian Barat, selain ada kapal induk HNMS Karel Doorman, Belanda juga mengoperasikan pangkalan udara utama di Biak dan pangkalan pendukung di Sorong, Jayapura (dulu Hollandia), Merauke, Fakfak, dan lain-lain. Pengembangan tersebut akan diikuti penempatan skuadron udara yang berpangkalan di Papua dan Papua Barat.
Pangkalan udara di Biak tersebut semasa Perang Dunia II juga diperebutkan dengan sengit oleh Angkatan Darat Amerika Serikat dari tangan Angkatan Darat Jepang pada pertengahan tahun 1944. Pertempuran ini menimbulkan korban tewas lebih dari 5.000 jiwa di pihak Jepang dan lebih dari 500 prajurit di pihak Amerika Serikat.
Panglima TNI juga membentuk Armada TNI AL III selain terdapat Pangkalan Utama TNI (Lantamal) di Jayapura, Merauke, dan Sorong. Dalam pertemuan dengan para tokoh Papua pada acara Joy Sailing di Jayapura, Jumat (6/9/2019), Panglima TNI mengajak Kepala Polri dan para tokoh kepala daerah Papua untuk berlayar dengan KRI 354 Oswald Siahaan di perairan Jayapura.
”Kita melihat indahnya Papua dari lautan,” kata Panglima TNI di hadapan undangan.
Panglima TNI menjelaskan adanya perhatian pemerintah terhadap pembangunan halaman depan Indonesia, termasuk di wilayah Papua dan Papua Barat. Sementara di ujung barat Papua, yakni Kota Sorong, dibentuk Brigade Infanteri Raider, bagian dari pembentukan Divisi III Kostrad yang bermarkas di Sulawesi Selatan.
Kekuatan Korps Marinir TNI AL juga dimekarkan menjadi Pasukan Marinir 3 yang wilayah tugasnya berpusat di wilayah timur Indonesia, termasuk Papua dan Papua Barat. Panglima TNI memerintahkan agar para komandan satuan TNI di Papua dan Papua Barat terus membangun dialog dengan tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, tokoh wanita (para mama), pemerintah daerah, dan akademisi Papua.
Lebih lanjut, Hadi Tjahjanto mengingatkan jajarannya untuk menjaga sinergi dengan Polri mengingat kendali keamanan berada di tangan polisi. Upaya dialog dan pendekatan sosial, ekonomi, dan budaya terhadap kelompok separatis di Papua terus dilakukan. Penggunaan kekuatan militer dengan senjata adalah pilihan terakhir dalam menghadapi kelompok separatis.
Sesepuh TNI, Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, dalam wawancara dengan situs berita watyutink.com mengingatkan pentingnya antisipasi dini intelijen dan pendekatan kepada masyarakat Papua. ”Zaman Acub Zainal sebagai Pangdam dan kemudian gubernur di Papua berhasil meredam berbagai kelompok separatis dan banyak yang kembali ke NKRI,” Sayidiman mengingatkan.
Akademisi LIPI dari Jaringan Damai Papua (JDP), Adriana Elisabeth, mengingatkan perlunya melakukan pendekatan dengan sudut pandang Papua dan membangun perdamaian dengan mendengarkan keinginan masyarakat sejak awal.
”Persoalan yang terjadi puluhan tahun tidak pernah diselesaikan. Sering kali kita juga menggunakan pendekatan atau sudut pandang Jakarta. Masyarakat tidak ditanya apa yang diinginkan oleh masyarakat Papua sendiri,” kata Adriana.
Secara terpisah, Laksamana Muda (Purn) Freddy Numberi yang ditemui di Jakarta, Jumat (6/9/2019), mengingatkan pentingnya mendengar kemauan masyarakat Papua.
”Saat menjadi Gubernur Papua, saya sering menghadapi unjuk rasa. Masyarakat Papua itu pada dasarnya ingin didengar. Sesudah menumpahkan emosi, biasanya masyarakat mau diajak bicara dari hati ke hati. Itu yang harus dipahami,” tutur Freddy yang juga pernah menjadi duta besar di Italia.
Freddy mengingatkan pentingnya melindungi hak-hak masyarakat asli Papua seperti dilakukan di Fiji, Tonga, dan Samoa Amerika. Identitas Melanesia dan peran gereja sangat penting untuk diperhatikan dalam membangun Papua dan Papua Barat. Gagasan itu sudah diusung dalam Otonomi Khusus Papua, tetapi terhenti karena hingga kini tidak ada peraturan pelaksananya.