Mengawal Dana Otsus di Papua
Tren perkembangan dana Otonomi Khusus yang disalurkan untuk masyarakat Papua dan Papua Barat belum berbanding lurus dengan peningkatan kesehatan dan pendidikan yang menjadi fokus sasaran.
Dana Otonomi Khusus (Otsus) merupakan dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah. Di Indonesia, terdapat tiga provinsi yang menikmati aliran dana ini, yakni Aceh, Papua, dan Papua Barat. Walaupun sama-sama menerima dana Otsus, tujuan penggunaan dana ini di Aceh maupun Papua dan Papua Barat berbeda.
Di Provinsi Aceh, dana Otsus digunakan untuk berbagai hal, antara lain pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, dan pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Di Provinsi Papua dan Papua Barat, penggunaan dana Otsus difokuskan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Sedangkan, untuk kegiatan pembangunan infrastruktur di Papua dan Papua Barat, terdapat dana tambahan untuk infrastruktur yang nilainya ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR.
Dengan demikian, terdapat dua penerimaan bagi Provinsi Papua dan Papua Barat dari pusat, yakni dana Otsus dan dana transfer infrastruktur (DTI).
Pada tahun 2019, Pemerintah mengalokasikan anggaran Otsus sebesar 20,98 triliun rupiah. Jumlah tersebut dibagi dua sama besar untuk Provinsi Aceh sebesar 8,36 triliun rupiah dan wilayah Papua sebesar 8,36 triliun rupiah. Di wilayah Papua, jumlah tersebut dibagi dua dengan pembagian 5,85 triliun rupiah untuk Provinsi Papua dan 2,51 triliun rupiah untuk Provinsi Papua Barat.
Selain itu, pada 2019 wilayah Papua juga mendapatkan dana tambahan infrastruktur sebesar 4,27 triliun rupiah dengan pembagian 2,82 triliun rupiah untuk Provinsi Papua dan 1,44 triliun rupiah untuk Provinsi Papua Barat. Bagaimana manfaat dana Otsus bagi pendidikan dan kesehatan di Papua dan Papua Barat?
Kesehatan
Dalam satu dekade terakhir, Otsus dan DTI yang diterima provinsi Papua mencapai jumlah yang sangat besar, yaitu lebih dari Rp 70 triliun. Nilai yang besar juga diterima provinsi Papua Barat, sebab ada dana bagi hasil migas, yaitu total sekitar Rp 30 triliun.
Selain itu, berdasarkan data Kementerian Keuangan RI, rata-rata kenaikan dana Otsus dari tahun 2014 hingga 2019 mencapai 5,45 persen atau senilai 18,66 triliun rupiah. Khusus untuk bidang kesehatan di Provinsi Papua, alokasi anggaran mencapai 900 miliar rupiah. Dengan tren peningkatan dana Otsus tiap tahunnya, diharapakan kualitas kesehatan dan pendidikan di Papua dan Papua Barat semakin membaik.
Di Provinsi Papua dan Papua Barat, penggunaan dana Otonomi Khusus difokuskan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan.
Di bidang kesehatan, besarnya dana Otsus tidak serta-merta menghasilkan peningkatan kualitas kesehatan di Papua. Dalam sepuluh tahun terakhir, masih tercatat berbagai kasus wabah penyakit di Provinsi Papua maupun Papua Barat.
Harian Kompas mencatat setidaknya ada empat kejadian kasus gizi buruk di tanah Papua. Pertama, angka kematian bayi karena kurang gizi yang mencapai 50 persen terjadi di Kimaam, Merauke, Papua pada September 2011. Dua tahun kemudian, tepatnya April 2013, sebanyak 13 bayi dan balita, serta empat anak bergizi buruk ditemukan di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat.
Berselang dua tahun, sebanyak 11 warga meninggal karena gangguan pernapasan dan gizi buruk di Kabupaten Puncak dan Lanny Jaya, Papua pada Juli 2015. Terakhir, kejadian luar biasa (KLB) wabah campak dan kekurangan gizi pada balita menimpa Asmat, Papua sejak pertengahan 2017. Sekitar 670 anak terkena campak dan sekitar 80 anak meninggal. Wabah tersebut terjadi hingga Maret 2018.
Selain masih adanya wabah penyakit dan kasus kekurangan gizi di Papua, situasi kesehatan di Papua dan Papua Barat dapat dilihat dari sisi ketersediaan sarana kesehatan. Hingga tahun 2018, hanya sekitar 25 persen desa/kelurahan yang memiliki rumah sakit umum. Layanan rumah sakit bersalin juga hanya dimiliki oleh 17 persen desa/kelurahan. Jumlah sarana kesehatan terbanyak adalah puskesmas.
Persentase sarana kesehatan di Papua dan Papua Barat akan semakin terlihat kurang mencukupi ketika melihat jumlah di lapangan. Rata-rata jumlah rumah sakit di kedua provinsi tersebut hanya berjumlah 29 bangunan, sedangkan rata-rata nasional mencapai 71 bangunan pada tahun 2018.
Sementara, ketersediaan puskesmas yang merupakan unit layanan kesehatan terkecil, hanya 299 bangunan di kedua provinsi tersebut, lebih kecil dari rata-rata nasional yang berjumlah 319 bangunan.
Pendidikan
Alokasi dana yang besar juga diberikan di bidang pendidikan. Dana pendidikan di provinsi Papua pada tahun 2013 mencapai lebih dari 300 miliar rupiah. Nilai tersebut kemudian naik tajam hingga 1 triliun rupiah pada 2015. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 2017, pendanaan di bidang pendidikan sudah mencapai lebih dari 1,6 triliun rupiah.
Dengan dana yang besar, peningkatan program dan kualitas pendidikan di wilayah Papua belum berjalan optimal. Lama sekolah rata-rata di Provinsi Papua berada pada angka 6,52 tahun sedangkan di Provinsi Papua Barat mencapai 7,27 tahun. Sementara lama sekolah secara nasional mencapai 8,17 tahun. Hal itu menunjukkan program wajib belajar 12 tahun yang belum berjalan optimal.
Keterbatasan fasilitas pendidikan juga didapati di Papua dan Papua Barat. Berdasarkan data BPS tahun 2018, rata-rata bangunan Sekolah Dasar di kedua provinsi tersebut sebanyak 1.152 bangunan, jauh sedikit dari rata-rata nasional yang mencapai 2.160 bangunan. Kondisi serupa terjadi untuk jenjang pendidikan selanjutnya hingga perguruan tinggi.
Dari sisi lain, angka putus sekolah paling banyak berada di 15 kabupaten di Pegunungan Tengah Papua, seperti Lanny Jaya, Tolikara, Yalimo, Jayawijaya, Puncak, dan Puncak Jaya (Kompas, 21 November 2018).
Dengan angka lama sekolah yang rendah dan angka putus sekolah yang tinggi, tingkat buta aksara di Papua dan Papua Barat masih tinggi. Data Badan Pusat Statistik tahun 2018 menyebutkan bahwa persentase buta aksara mencapai angka 13,80 persen.
Dari dua provinsi tersebut, persentase tertinggi berada di Papua, sebesar 24,48 persen atau sekitar 600.000 warga yang belum dapat membaca dan menulis. Sementara angka buta aksara nasional hanya 5,27 persen untuk kategori usia 15+, 15-44, dan 45+ tahun.
Pembangunan Manusia
Bidang pendidikan dan kesehatan, yang merupakan fokus alokasi dana Otsus di Papua dan Papua Barat, masuk dalam dimensi pembentuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam laporan tahunan Badan Pusat Statistik maupun publikasi-publikasi lainnya, tercatat bahwa IPM di Papua dan Papua Barat terus meningkat.
Tercatat, rata-rata IPM Provinsi Papua sebesar 54,45 pada tahun 2010, kemudian terus meningkat hingga mencapai 60,06 pada tahun 2018. Kondisi serupa terjadi di Papua Barat dengan IPM tahun 2010 sebesar 59,6, kemudian naik hingga 63,74 pada tahun 2018.
Meskipun terjadi peningkatan, nilai IPM dari kedua provinsi tersebut ternyata masih berada di bawah rata-rata nasional. Di tingkat nasional, rata-rata nilai IPM berada pada angka 66,14 pada tahun 2010 dan mencapai 70,92 pada tahun 2018. Oleh sebab itu, perlu mencari rumusan terbaik untuk membangun masyarakat di tanah Papua.
Mengawal Otsus
Dengan dana Otsus yang rutin diberikan serta besarnya semakin meningkat dari tahun ke tahun, sektor kesehatan dan pendidikan di Papua dan Papua Barat tak berkembang optimal. Pertanyaan kemudian diarahkan kepada pelaksanaan di lapangan. Artinya, dana Otsus perlu dikawal agar benar-benar terserap dengan program yang dirasakan oleh rakyat Papua.
Setidaknya ada empat cara yang dapat dilakukan untuk memastikan Otsus digunakan dengan tepat dan memberikan manfaat besar bagi pembangunan di tanah Papua.
Pertama, pembuatan rencana program yang sejalan dengan alokasi anggaran Otsus. Rencana tersebut memerlukan sinergitas antara pusat dan daerah agar implementasi Otsus berdampak positif bagi masyarakat. Kedua, perlunya evaluasi total terhadap perencanaan program dan sistem pengawasan anggaran yang telah terjadi selama ini.
Ketiga, menyiapkan program prioritas bagi wilayah-wilayah yang berpotensi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Mengingat dana Otsus difokuskan pada pembangunan kesehatan dan pendidikan, dua sektor ini perlu menjadi program prioritas di wilayah-wilayah yang berpotensi dan diproyeksikan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Sinergi Bersama Masyarakat Papua
Terakhir, pemerintah daerah dapat menggandeng lembaga swadaya masyarakat dari dalam negeri maupun luar negeri yang bergerak di bidang kesehatan dan pendidikan, misalkan UNICEF dan WHO.
Sebagai lembaga PBB untuk anak, UNICEF di Indonesia dapat berperan mengisi kesenjangan antara kebijakan pemerintah pusat dengan lebih banyak dukungan ke pemerintah daerah dalam bentuk perencanaan, pembiayaan dan pemberian layanan di lapangan, terutama pembenahan kualitas, kesetaraan, dan keberlanjutan pendidikan.
Sementara, WHO, sebagai badan kesehatan dunia, dapat mendukung Indonesia dalam berbagai program kesehatan yang telah diinisiasi oleh pemerintah, seperti jaminan kesehatan nasional, pelayanan kesehatan, maupun perubahan paradigma hidup sehat.
Oleh karena itu, pembangungan manusia di bidang kesehatan dan pendidikan di wilayah Papua yang telah disokong dengan dana Otsus dapat berkembang lebih baik. Dengan kata lain, keberadaan Otsus mampu menjadi kesempatan emas untuk melepaskan masyarakat Papua dari ketertinggalan pembangunan.
Evaluasi dan implementasi ke depan harus direncanakan dengan tepat karena dana Otsus tidak akan datang selamanya. Setelah 2021, skema dana Otsus akan semakin dikurangi hingga wilayah Papua dapat semakin bersaing dengan wilayah lain di Indonesia. Tak ada kata terlambat untuk perubahan yang lebih baik. (LITBANG KOMPAS)