Dinakhodai Kapten ”Jack Sparrow” hingga ”Off Road” ke Area Pertambangan
Untuk mengungkap pemicu banjir bandang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, wartawan ”Kompas”, Saiful Rijal Yunus, Videlis Jemali, dan Bahana Patria Gupta, menelusuri kawasan pertambangan di hulu dan muara Sungai Lasolo.
Jika Anda pernah menonton film Pirates of the Caribbean, tentu kenal dengan tokoh utamanya, kapten pemabuk Jack Sparrow yang diperankan Johnny Depp. Di Tapunggaya, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, kami bertemu seseorang yang tingkahnya mirip si bajak laut itu.
Siang baru saja melewati kepala ketika kami tiba di Desa Tapunggaya, Molawe, sebuah daerah pesisir di Konawe Utara, Rabu (7/8/2019). Matahari menyengat, membawa debu pertambangan yang seakan mengepung desa.
”Hei, apa kabar? Aman to, kita saudara?” teriak seorang pria yang tidak lagi muda, begitu kami turun dari kendaraan.
Ia berada di sebuah balai bambu, di bawah pohon mangga di pinggir pantai. Senyumnya berusaha bersahabat, tetapi entah bagaimana yang kami rasakan malah seperti seringai. Matanya merah. Di bawahnya, tampak sebuah jeriken entah berisi apa. Dari jarak 5 meter, tercium aroma tuak menyengat.
Seorang pria lain menghampiri, memperkenalkan diri, juga dengan bau yang sama meski tidak begitu tajam. Ia orang yang ingin kami temui, Sarman (39). Pria berkumis tipis ini kami kenal berdasarkan rekomendasi seorang kenalan karena kami perlu menyewa perahu darinya.
”Berapa orang jadinya?” tanya Sarman.
”Empat orang.”
”Oke, langsung berangkat. Kamu pergi ambil bensin dulu,” lanjut Sarman, menyuruh pria pertama yang menyambut kami tadi.
Saya pun kemudian berangkat bersama fotografer Kompas, Bahana Patria Gupta, dan aktivis sebuah LSM di Sulawesi Tenggara, Erwin. Rekan saya, Videlis Jemali, sesama wartawan Kompas, terpaksa tidak bisa ikut karena perahu yang digunakan ternyata terlalu kecil.
Kami mengontak Sarman dan menanyakan kesediaannya mengantar ke muara Sungai Lasolo saat kami dalam perjalanan menuju Desa Tapunggaya. Desa ini berdekatan dengan muara Sungai Lasolo, sungai yang meluap awal Juni lalu dan membuat ribuan warga Konawe Utara mengungsi.
Kami berencana menyisir muara Sungai Lasolo, salah satu sungai besar di Sulawesi Tenggara, untuk melihat dampak sedimentasi di muara sungai. Berdasarkan catatan, juga penelitian, muara sungai ini mengalami sedimentasi parah.
Daerah ini dikepung kawasan pertambangan. Semenjak jalan masuk menuju desa, terlihat sedikitnya empat perusahaan tambang yang beroperasi di bukit.
Dari semua rencana perjalanan yang sudah kami atur sedemikian rupa, ada satu yang luput kami antisipasi. Sarman yang telah kami kontak sebelumnya ”mencicipi” tuak bersama rekannya. Bahkan, rekannya yang tampak jauh lebih mabuk itu akan ikut serta dalam perjalanan.
”Ayo berangkat, itu perahunya di pinggir yang warna putih,” ucap Sarman menunjuk sebuah perahu.
Perahu itu jauh dari bayangan kami. Panjangnya hanya sekitar 4 meter dengan lebar 50 sentimeter. Kami saling pandang sambil memastikan perahu itu cukup untuk kami berempat ditambah awak kapal.
”Ayo berangkat, sini saja. Cepat mi,” teriak rekan Sarman tadi.
”Mari kita jalan karena saya sudah pastikan akan bayar juga dia. Namanya Amin, teman saya,” ujar Sarman.
Setelah berdiskusi sebentar, sekaligus bernegosiasi alot terkait sewa perahu, kami memutuskan hanya tiga orang dari kami yang ikut naik perahu.
Kami memarkir kendaraan di depan rumah Sarman, lalu menunggu mereka mempersiapkan kapal. Setelah lebih dari 30 menit menunggu dengan pikiran berkecamuk, sebuah perahu terlihat datang dari sisi barat desa. Perahu itu membelah gelombang, melaju dengan kencang. Buih air yang dihasilkan terlihat cukup tinggi, membuat penumpangnya basah.
Sarman mengambil posisi di bagian depan. Lalu, siapa yang mengemudikan perahu itu? Tak lain dan tak bukan adalah Amin. Cengirannya muncul begitu tiba di tempat kami menunggu. Kami kembali berpandangan dengan cemas.
Orang ini tadi terlihat cukup mabuk, apa bisa ia mengemudikan perahu? Bisakah ia menjaga laju perahu agar air tidak melimpas ke dalam dan membasahi berbagai peralatan yang kami bawa? Bagaimana jika ia tidak sadar dan membuat perahu terbalik? Berbagai pertanyaan muncul di benak kami.
”Bismillah saja,” kata Bahana.
Kami bertiga naik, lalu duduk berderet rapi di atas perahu. Duduk bersila, lutut kami persis tertahan di dua sisi perahu, hampir tidak ada ruang gerak. Setelah lima orang naik, ketinggian muka air laut hanya berjarak sejengkal dengan bibir perahu.
”Bismillah,” kata Amin saat naik ke perahu.
Perahu mulai laju, meninggalkan pesisir Tapunggaya menuju muara sungai. Awalnya perahu melaju pelan, tetapi kemudian bertambah kecepatannya dalam sekejap dipacu si pengemudi. Alhasil, perahu seperti terbang membelah gelombang. Air laut yang pecah lalu melimpas ke dalam perahu, membuat kami basah. Sarman mengambil terpal biru yang terdapat di kapal untuk menutupi tubuh dan tas. Akan tetapi, air tetap masuk.
Kami memberi tahu Sarman agar rekannya Amin menurunkan laju perahu. Sarman mengangkat tangannya tinggi-tinggi untuk memberi tanda. Setelah ditambah teriakan, barulah Amin menurunkan kecepatan. Perahu mulai melambat. Lalu, di depan kami, terlihat dermaga tambang sepanjang lebih dari 1 kilometer.
Sarman mengatakan, untuk mencapai muara sungai, kami harus melewati terowongan kecil di tengah dermaga. Perahu berjalan pelan, masuk ke terowongan.
Namun, ketika berada di tengah terowongan, perahu kembali melaju cepat. Amin terus menambah kecepatan. Alhasil, air kembali melimpas. Kami serentak menarik terpal menutupi tubuh dan peralatan.
Setelah beberapa lama, kami kembali berteriak agar kecepatan diturunkan. Amin tidak menggubris. Baru setelah kami meminta Sarman memberi tanda agar kecepatan diturunkan, suara mesin mulai turun.
”Harus kencang to, ha-ha-ha,” teriak Amin, nakhoda pemabuk itu, dari arah belakang.
Tidak kapok, kejadian seperti itu berulang lagi setelahnya. Dua hingga tiga kali ia melakukan hal yang sama. Kembali ia nyengir dan mengoceh setelah dipaksa menurunkan laju perahu. Persis seperti Kapten Jack Sparrow yang bertindak semaunya.
Perahu baru benar-benar normal lajunya ketika kami tiba di muara Sungai Lasolo yang dangkal. Sedimentasi terlihat jelas di sempadan sungai. Delta mulai terbentuk akibat endapan yang menebal.
Perahu terus melaju masuk ke muara. Ada empat muara Sungai Lasolo. Kami masuk ke muara nomor dua, membelah sungai dengan tenang, lalu masuk lebih dalam. Sarman bercerita banyak tentang kondisi sungai sepuluh tahun terakhir, bahwa memang telah terjadi perubahan besar.
Di daerah muara, sisa banjir bandang terlihat jelas. Tepian sungai penuh lumpur. Pohon-pohon roboh. Beberapa batang pohon masih berada di tengah sungai. Pohon-pohon itu terbawa saat banjir bandang dan ”parkir” di muara. Dugaan kami benar, sedimentasi di muara cukup parah. Kondisi itu menyebabkan air tidak bisa mengalir dengan cepat ke laut akibat tingginya endapan.
Setelah sekitar satu jam mengitari sungai, kami memutuskan kembali. Sungai tenang selebar hampir 200 meter ini menciptakan banyak bayangan buruk di kepala. Apalagi saat Sarman bercerita, melihat buaya berjemur adalah hal rutin yang disaksikannya saat masuk ke sungai. Untungnya (atau ruginya?), kami tidak bertemu hewan buas tersebut.
Kami kemudian kembali ke muara pertama yang paling dekat dengan desa. Sungai yang lebar tiba-tiba menyempit. Bakau dan nipah tumbuh subur di kiri dan kanan. Rimbun tanaman membuat cahaya matahari terhalang masuk.
Amin berteriak kegirangan saat kapal mulai masuk ke sungai yang meliuk. Ia mengoceh panjang lebar, entah kepada siapa. Sarman di depan berusaha memberikan aba-aba agar perahu tidak menabrak akar pohon atau kandas ke tepian.
”Ambil kiri, matikan mesin,” teriak Sarman.
”Oke, Bos. Sarman bos kepiting. Dia ini bosku,” balas Amin dari belakang.
Sarman hanya nyengir sambil membelokkan perahu. Begitu berulang-ulang, hingga kami keluar ke batas sungai dan laut. Area pertambangan terlihat jelas, langsung berbatasan dengan sungai. Perjalanan kami segera berakhir, melewati laut yang sama, lalu menuju pesisir desa.
Matahari mulai ”jatuh” di bukit belakang desa. Pemandangan senja di desa ini akan tetap indah jika bukit tetap hijau dan tidak dikupas. Sebentar lagi, ujar Sarman, bukit-bukit itu akan habis juga.
Untuk terakhir kali, seakan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Amin kembali memacu laju perahu. Air kembali melimpas, diiringi tawa garingnya. Untung saja jarak dengan desa tinggal ratusan meter. Kapal akhirnya merapat. Kami tiba dengan selamat.
”Nanti kita ketemu lagi. Saya antar lagi,” kata Amin memamerkan senyum masih dengan mata yang merah.
Semoga tidak!
”Off road” ke areal tambang
Dua hari sebelumnya, kami menyambangi lokasi tambang di pegunungan utara Desa Tambakua, Kecamatan Langgikima. Dalam hening hutan lebat, mesin Feroza meraung-raung. Jalan tanah rata, berbatu, hingga berlubang ”disapu” kecepatan tinggi mobil. Meskipun mobil itu telah teruji melintasi jalur menuju pertambangan di sisi utara Desa Tambakua, jantung tetap dag-dig-dug kencang.
Di tanjakan pertama, kecemasan itu terbukti. Di tanjakan sepanjang 30 meter, mobil macet, tidak mampu naik meskipun mesinnya masih menderu-deru. Bahkan mobil ”lari mundur” hingga berada di pinggir jurang. Kami bertiga terpaku sambil menatap satu sama lain di dalam kendaraan. Apalagi kami mengajak Sekretaris Desa Tambakua Mustaman. Akhirnya kami turun dari mobil. Halfin (33), sang sopir, berusaha sekuat tenaga untuk menghidupkan mesin dan menaklukkan tanjakan.
Setelah berkali-kali maju mundur, akhirnya Feroza bisa menaklukkan tanjakan. ”Aki kayaknya bermasalah. Sudah lama mobil ini tidak dipakai,” ujar Halfin sambil turun dari mobil, lalu berjalan menuju bagian mesin mobil.
Pengecekan dilakukan 15 menit. Mobil yang kami pakai berusia 15 tahun dan selama ini beroperasi naik turun ke kebun, termasuk mengambil kayu di hutan.
Lepas dari tanjakan pertama, kami melaju lagi. Halfin merasa yakin tak ada lagi kendala dengan kendaraannya. Namun, ternyata mobil tua itu mogok lagi di tanjakan tajam sepanjang 30 meter. Setelah maju mundur, mesin mobil pun mati.
”Jangan-jangan kita tidak bisa sampai ke lokasi tambang ini,” kata Videl yang duduk di bagian belakang. Saya hanya bisa tersenyum. Demikian pula Mustaman. ”Dia sudah kuasai betul mobil ini. Ke kebun dan kali sudah sering,” kata Mustaman meyakinkan kami.
Untunglah, mogok bisa segera diatasi. Halfin pun tancap gas lebih kencang lagi agar bisa secepatnya tiba di lokasi tambang. Gundukan batu dan lubang ia sapu rata dengan kecepatan tinggi. Akibatnya, kami melenting di kursi mobil yang sponsnya sudah tipis.
Sekitar pukul 16.30 Wita kami sudah tiba di pintu gerbang areal pertambangan yang berada di pegunungan, di utara Desa Tambakua. Pos jaga tampak kosong. Suasananya lengang saat mobil kami masuk.
Saat melintas di jalan tambang di dalam kawasan, Feroza mogok lagi. Mobil menderu, tetapi rodanya tidak berputar. Mobil malah lari mundur hingga mendekati salah satu kolam penambangan. ”Gawat ini. Orang tambang bisa datang memergoki kita,” kata Videl.
”Tenang, kan, ada abang berdua,” kata Mas Bahana, menunjuk kepada Mustaman dan Halfin.
Saat mogok, memang tak ada satu pun kendaraan atau pekerja tambang yang menghampiri kami. Mereka fokus bekerja, menambang di bagian utara, sekitar 500 meter dari titik mobil mogok. Di sekitar kami, material tambang menggunung. Terlihat juga tiga kolam galian, salah satunya berukuran seluas lapangan sepak bola. Kolam tersebut berisi air yang langsung dialirkan ke hutan menuju Sungai Laundolia yang mengalir ke Desa Tambakua.
Baca juga: Tawa dan Tangis di Gothenburg
Setelah maju mundur dengan mesin yang meraung-raung, Feroza berwarna coklat kemerahan itu akhirnya mampu menaklukkan tanjakan sepanjang 60 meter di lokasi tambang. Tanpa beban, Haflin kemudian melintas di jalan pertambangan saat truk 10 roda hilir mudik mengangkut material tambang.
Alat berat juga membongkar batuan di sisi kiri dan kanan jalan. Kami berada di gunung yang kiri dan kanannya masih hutan lebat, tetapi berada di luar kawasan tambang.
Bahana yang duduk di samping Haflin memotret dari dalam mobil dengan cukup leluasa. Kadang mobil berhenti agar ia bisa memotret dengan baik, terkadang ia memotret sambil mobil tetap melaju. Tak ada satu pun pekerja tambang yang melarang atau menegur kami. Padahal, di dalam mobil para penumpang merasa tegang.
Kawasan pertambangan tersebut seluas 100-an hektar. Ada dua titik areal bukaan, di utara dan selatan. Yang terluas di sisi selatan merupakan jalan masuk ke pertambangan dari Desa Tambakua. Gundukan material disimpan di pinggir jurang. Sebagiannya bahkan longsor ke arah sungai melewati hutan lebat. Saat kami ”tamasya”, Haflin membetulkan kendaraan agar tak macet lagi saat pulang nanti.
Kami jalan-jalan di lokasi tambang sekitar 1,5 jam tanpa adanya larangan atau teguran. Betapa beruntungnya kami, bahkan berpapasan dengan pekerja tambang pun tidak. Kami lega karena ”penyusupan” berjalan lancar.
https://youtu.be/rqbufRgZjs8
Kami meninggalkan pertambangan pukul 18.30 Wita. Mobil tak mogok lagi, termasuk saat menanjak sepanjang 150 meter, tidak jauh dari pos jaga. Seperti sebelumnya, Haflin tetap tancap gas ketika melewati jalan berbatu, berlubang, termasuk ringan saja menggasak kayu di jalan dengan kecepatan tinggi. Padahal, mobil hanya diterangi dengan lampu sein.
Dari perjalanan di areal tambang, terlihat jelas bahwa penambangan berjalan tak memenuhi praktik baik (good mining practice). Aliran material dari tumpukan dan galian tambang langsung masuk ke sungai meski sempat melewati hutan lebat. Padahal, seharusnya dibangun kolam-kolam penampung sedimen agar material tambang tak terolah tidak langsung mengalir ke sungai.
Baca juga: Kenangan Mewancarai Arsene Wenger
Asumsi awal liputan kami bahwa banjir bandang disertai lumpur yang melanda sebagian besar Konawe Utara awal berasal dari kawasan tambang terkonfirmasi di lapangan. Material lumpur dari pertambangan itu masih menumpuk di Sungai Laundolia dan jalan masuk Desa Tambakua. Kami sudah menyampaikannya lewat tulisan di harian Kompas edisi 26-28 Juli 2019.
Menariknya pengalaman kali ini, areal tambang yang biasanya sangat tertutup bagi wartawan ternyata bisa dimasuki tanpa kendala. Memang ada pekerja, tetapi ternyata mereka tidak menggubris kehadiran kami. Kehadiran orang lokal, seperti Mustaman dan Halfin, membantu kelancaran tugas kami.