Akademisi Perguruan Tinggi Minta Presiden Tolak Revisi UU KPK
Akademisi sejumlah perguruan tinggi dan politisi kembali menegaskan penolakan terhadap revisi UU KPK. Mereka meminta agar Presiden Joko Widodo berkomitmen memperkuat KPK, bukan malah melemahkan lembaga anti rasuah itu
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Akademisi dari sejumlah perguruan tinggi dan politisi kembali menegaskan penolakan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka meminta agar Presiden Joko Widodo berkomitmen penuh terhadap penguatan KPK, bukan malah melemahkan lembaga anti rasuah ini.
Pengajar Program Studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam menyatakan, seluruh elemen akademik Universitas Paramadina, Jakarta, berkomitmen memberikan dukungan kepada KPK. Dia menilai, revisi UU KPK belum diperlukan untuk saat ini.
“Seluruh elemen kekuatan civil society harus bangkit dan mengawal proses ini sebagai bentuk dukungan kepada agenda pemberantasan korupsi,” ujarnya dalam keterangan yang diterima Kompas, Minggu (8/9/2019).
Dalam pernyataannya, akademisi Universitas Paramadina meminta kepada Presiden Joko Widodo agar berkomitmen penuh pada penguatan KPK. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong optimalisasi fungsi pencegahan guna mengimbangi kapasitas penindakan KPK.
Selain itu, Presiden juga diminta untuk memperkuat kapasitas asset recovery sebagai bagian integral dalam upaya memunculkan efek jera dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi di Indonesia.
Akademisi dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta juga menyerukan hal senada, di antaranya mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas dan mantan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki.
Mereka menilai bahwa isi rancangan UU tidak menguatkan, melainkan melemahkan KPK. Padahal KPK adalah amanah reformasi dan konstitusi dalam menanggulangi korupsi.
Penanggulangan korupsi adalah amanah reformasi sekaligus amanah konstitusi. Mengingat tujuan kemerdekaan RI tidak akan tercapai selama korupsi marak di Indonesia
Penolakan juga datang dari kampus yang menjadi almamater Presiden Joko Widodo, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Dosen-dosen UGM menyatakan sikap menolak revisi UU KPK. Sikap itu dinyatakan terbuka, seperti disampaikan Dekan Fakultas Hukum UGM Prof Sigit Riyanto.
Selain Sigit, juga ada Budi Setiadi Daryono (Dekan FBIO UGM), Nizam (Dekan FT UGM), dan dosen-dosen dari sejumlah fakultas, termasuk Fisipol, Ekonomi, Ilmu Budaya, Psikologi, Peternakan, Farmasi, dan Kedokteran.
Akademisi dari kampus UGM ini meminta agar usulan revisi UU KPK ditentang. Dalam pernyataan sikapnya, dosen-dosen UGM ini menyebut, rakyat Indonesia seperti dikejutkan oleh sidang paripurna DPR yang menyetujui usulan revisi UU KPK. Proses pembahasan RUU dilakukan tanpa mengindahkan aspek transparansi, aspirasi, dan partisipasi publik.
Para pengajar UGM ini juga menyatakan, isi revisi UU KPK justru melemahkan KPK, padahal KPK adalah amanah reformasi dalam upaya melawan korupsi. "Penanggulangan korupsi adalah amanah reformasi sekaligus amanah konstitusi. Mengingat tujuan kemerdekaan RI tidak akan tercapai selama korupsi marak di Indonesia," begitu tertulis dalam pernyataan sikap dosen UGM.
Penolakan dari kalangan akademisi juga datang dari sejumlah dosen Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Dalam pernyataan tertulisnya, puluhan dosen Undip menyatakan, menentang setiap upaya pelemahan pemberantasan korupsi. Utamanya lewat revisi UU KPK yang digagas DPR.
Parpol tolak revisi UU KPK
Sementara itu, Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amani juga menyatakan penolakannya terhadap revisi UU KPK. Menurut dia, RUU KPK dapat melumpuhkan KPK dan berbahaya bagi kelangsungan demokrasi yang membutuhkan pemerintahan yang bersih.
“Kami mencium aroma menjadikan KPK sebatas sebagai lembaga pencegahan yang tak memiliki taring sama sekali. Kalau kami berada di DPR, pasti kami dengan tegas akan lawan segala upaya tersebut,” ungkapnya.
Tsamara menambahkan, konsep Dewan Pengawas yang merupakan salah satu poin dalam RUU KPK dinilai sangat tidak jelas. Sebab, Dewan Pengawas akan diberi kewenangan untuk menyetujui penyadapan, penyitaan, hingga penggeledahan.
“Dewan Pengawas dipilih oleh DPR. Ini berbahaya karena bisa memunculkan kecurigaan terkait independensi KPK nantinya,” katanya.