Ancaman di Tengah Ketidaktahuan
Ketidaktahuan warga dan terbatasnya layanan kesehatan membuat kusta yang sebenarnya tak mudah menular menjadi terlambat diatasi.
Awalnya warga di Kampung Somnak dan Daikot, Distrik Joutu, di pedalaman Kabupaten Asmat, Papua, menganggap kulit mereka yang kebas, melepuh, nyeri sendi, jari tangan kaku, dan lumpuh sebagai hal biasa. Apalagi, itu dialami banyak warga.
Sebagian besar penderita dan terduga kusta di Daikot dan Somnak adalah anak-anak. Banyak di antara mereka mengalami kecacatan pada kaki dan tangan. Seorang anak berusia 12 tahun dari Kampung Somnak, yang baru diidentifikasi positif kusta, mengaku tak tahu bahaya penyakit ini. Dia kerap sakit persendian dan sebagian kulit punggungnya kebas serta memutih.
”Itu dulu kami kira penyakit kulit biasa saja. Tidak tahu sejak kapan, tetapi sudah lama orang-orang di kampung kami kena penyakit ini,” kata Kepala Kampung Somnak Tadius Joutu (60).
Hingga April 2019, para petugas dari Litbang Kesehatan Papua dipimpin peneliti kusta, Hana Krisnawati, serta tim dari Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat datang ke dua kampung dengan lama perjalanan 6-7 jam memakai perahu cepat dari kota Agats, ibu kota Kabupaten Asmat. Pemeriksaan awal menemukan sekitar 30 persen penduduk di dua kampung, yang dihuni 200 dan 300 warga ini, terkena kusta.
”Kami mendapat informasi dari para perawat yang bertugas di kampung tentang dugaan banyak warga terkena kusta pada Februari 2019. Hanya saja, untuk mencapai ke sana sulit dan mahal sehingga baru bisa survei dua bulan kemudian,” kata Hana, yang pertengahan Agustus lalu kembali mengunjungi kampung ini. Kunjungan itu berbarengan dengan pemeriksaan genetika oleh para peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Dalam kunjungan ini, jumlah penderita kusta yang ditemukan bertambah. Seperti kampung lain di pedalaman Asmat, warga di Somnak dan Daikot sehari-hari tinggal di bivak di hutan dan hanya hari-hari tertentu ke kampung.
”Gejalanya jelas kusta. Kulitnya mulai kebas, tak lagi merasakan saat diraba,” kata Elihud Robaha dari Dinas Kesehatan Papua kepada seorang ibu yang memeriksakan anaknya berusia 9 tahun.
Bocah lelaki itu tampak kurus dengan kulit punggung dipenuhi bercak putih melebar. Sebelah kakinya mengecil, menandakan kuman Mycobacterium leprae menyerang tulang. Elihud mengambil sel jaringan kulit di belakang telinga bocah dan sampel darahnya untuk diperiksa lebih lanjut.
”Kalau anak kena, kemungkinan besar tertular dari orangtua. Penyakit ini tak mudah ditularkan, butuh interaksi intensif dengan penderita baru bisa tertular, selain ada populasi tertentu yang secara genetik rentan,” kata Hana.
Kalau anak kena, kemungkinan besar tertular dari orangtua. Penyakit ini tak mudah ditularkan, butuh interaksi intensif dengan penderita baru bisa tertular, selain ada populasi tertentu yang secara genetik rentan.
Kerentanan di Papua juga dipicu perilaku dan lingkungan. Menurut Tadius, warga kampungnya amat jarang mandi. Jika mandi di sungai atau rawa-rawa, biasanya tetap dengan pakaian yang lalu dibiarkan kering di badan.
”Kusta amat dipengaruhi kondisi tubuh kita. Jika kebersihan tubuh tak baik, saat kuman kusta menyerang, imunnya habis untuk melawan bakteri lain. Apalagi, jika kekurangan nutrisi sehingga daya tahan juga lemah,” kata Hana.
Meluasnya penyebaran kusta di dua kampung di pedalaman Asmat itu juga karena terlambatnya identifikasi dan pengobatan. Jika diobati lebih dini, potensi penularan kecil.
Kerentanan tinggi
Dengan banyaknya daerah terisolasi, fenomena kusta di Papua ibarat puncak gunung es. Tingginya kerentanan kusta di Papua mulai terdeteksi pada 2009 saat ditemukan kasus kusta pertama di Kampung Mumugu, Distrik Sawaerma, Asmat. Jumlah penderita kusta di kampung ini di atas 70 persen.
Sejak itu, pemerintah intensif melakukan pengobatan di Kampung Mumugu, di antaranya dengan menggandeng Keuskupan Agats. ”Pada Januari 2015, pemerintah memberi layanan intensif setelah Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dua kali meninjau,” kata Ketua Yayasan Alfons Suwada Asmat (YASA) Keuskupan Agats Pastor P Hendrikus Haga Pr.
Pemerintah Kabupaten Asmat lalu menggandeng Keuskupan Agats dalam penanganan kusta melalui penandatanganan nota kesepahaman. Adapun, layanan dilakukan YASA milik keuskupan dan para suster Puteri Reinha Roseri (PRR) di Kampung Mumugu dan Mumugu Dua. Pada Juli 2018 semua pasien kusta berjumlah 218 orang dinyatakan Release For Treatment (RFT) atau tuntas mengonsumsi obat.
Tak berhenti sampai disitu, akhir tahun 2018 Bupati Asmat Elisa Kambu meminta agar keuskupan melakukan observasi dan menangani kusta di kampung-kampung lain di Distrik Suator dan Diatrik Jutu. Setelah melaksanakan pengecekan tanda-tanda klinis pada warga dengan mendatangi rumah-rumah, ternyata banyak warga yang terjangkit.
Banyak dari mereka mengalami bintik-bintik, tangan kaku bahkan cacat. Warga sama sekali tidak tahu bahwa mereka menderita kusta karena tidak ada rasa sakit yang mereka rasakan. Mereka yang mengalami kusta, lalu diberikan pengobatan Multi Drug Therapy (MDT) baik untuk jenis Pausi Basiler (PB) atau Multi Basiler (MB).
Tantangan utama yang dihadapi adalah minimnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap penyakit kusta yang mereka alami. “Penyakit yang menyerang saraf ini menyebabkan mati rasa sehingga mereka tidak merasa sakit. Meyakinkan mereka untuk minum obat adalah perjuangan berat,” kata Hendrik.
Awalnya, jumlah pasien yang ditangani saat itu berjumlah 32 orang. Namun, pada Juli 2019 pasien bertambah menjadi 76 orang. Jumlah itu kemungkinan masih terus bertambah mengingat banyak masyarakat yang pergi jauh dari kampungnya untuk mencari makan dalam waktu yang lama.
“Tim Balai Litbang Kesehatan dari Jayapura juga melakukan pengambilan sampel di Kampung Somnat. Hasilnya 75 persen dari sampel menderita kusta. Tanda-tanda fisik mereka tidak terlihat,” tambah Hendrik.
Guna mengantisipasi adanya lonjakan penderita dan menangani penderita kusta, keuskupan lantas menempatkan perawat di 7 desa di dua distrik tersebut. Masing-masing distrik dikirim 1 – 2 perawat. Selama berada di sana, para perawat bertugas memantau pengobatan para penderita.
Setiap hari, penderita diwajibkan datang ke balai pengobatan untuk mengosumsi obat secara langsung di depan perawat. Jika ada yang tidak datang, perawat yang akan mendatangi langsung ke rumah. Tak jarang, perawat harus mencari para penderita yang mencari makan sampai ke hutan atau pinggir sungai.
Para perawat harus menumpang di rumah-rumah warga lantaran Puskesmas Pembantu yang ada di kampung kebanyakan bangunannya sudah rusak. Selain itu, aksesnya juga jauh dari perkampungan. Akses antarkampung paling efektif ditempuh melalui sungai menggunakan perahu mesin.
Jarak antarkampung rata-rata bisa ditempuh dalam waktu 1-2 jam dengan kecepatan kapal sekitar 50 kilometer perjam. Efeknya, proses pendistribusian obat-obatan membutuhkan biaya bahan bakar yang besar. Selain itu, mobilitas para perawat di lapangan juga terbatas.
Asmat kini membutuhkan uluran tangan. Menyadarkan masyarakat untuk mengonsumsi obat secara rutin kini menjadi tantangan terbesar. Oleh karena itu, dibutuhkan lebih banyak lagi tenaga di lapangan. Sebab, masih banyak kampung yang hingga kini belum terjangkau.
Menurut Hendrik, mereka sering kehabisan persediaan obat. Meski mengapresiasi langkah dari Pemda Asmat dalam memberikan anggaran penanganan kusta, hal itu belum cukup. Kini, kusta di Mumugu mulai teratasi. Namun, kantong baru kusta masih ditemukan. Selain kendala aksesibilitas ke pedalaman, faktor sosial juga menjadi tantangan berat.
Perspektif berbeda
Perspektif sakit dari warga di Papua cenderung berbeda. Menurut Hana, bagi warga Papua, umumnya merasa sakit jika sudah tak bisa bergerak lagi. ”Kalau masih bisa melakukan sesuatu, bahkan malaria plus tiga mereka masih merasa sehat,” katanya.
Tantangan lain, sebagian penderita kusta di Papua memiliki alergi terhadap obat kusta, yakni dapson. Padahal, dapson termasuk obat direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diminum tiap hari selama setahun. Jika alergi dapson, mata pasien kuning, kulit bersisik, sesak napas, hingga meninggal. Hana menduga, masyarakat Papua punya faktor genetik sehingga hipersensitif dengan obat kusta.
Berdasarkan data WHO tahun 2017, ada 17.441 penderita kusta di Indonesia atau posisi ketiga tertinggi dunia setelah India dan Brasil. Dari 34 provinsi di Indonesia, 9 provinsi belum mengeliminasi kusta, antara lain Papua, Papua Barat, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara. Artinya, prevalensi kusta di daerah itu belum mencapai 1 per 10.000 penduduk.
Minimnya pengetahuan, kurangnya kesadaran menjaga kebersihan, dan berbaurnya penderita yang belum diobati menjadi penyebab tingginya kasus kusta, terutama di kampung-kampung terisolasi di Papua. Ketidaktahuan warga tentang kusta pun terjadi di daerah lain. Subur, warga Kampung Sitanala, Tangerang, Banten, misalnya, awalnya kerap mengalami demam tinggi, mata merah, kulit jadi hitam, dan ada bintik putih seperti panu di punggung. Setelah diperiksa, ia didiagnosis terkena kusta.
Dengan kompleksitas persoalan ini, upaya untuk mengeliminasi kusta di sejumlah daerah, terutama Papua, butuh perlakuan khusus. Namun, lapis paling mengkhawatirkan adalah ketidaktahuan warga dan terbatasnya layanan kesehatan sehingga kusta yang sebenarnya tak mudah menular menjadi terlambat diatasi.