Google akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10 persen terhadap iklan Google yang ada di Indonesia. Ketentuan ini berlaku mulai 1 Oktober 2019.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Google akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai atau PPn sebesar 10 persen terhadap iklan Google yang ada di Indonesia. Ketentuan ini berlaku mulai 1 Oktober 2019.
Informasi yang dihimpun Kompas sampai dengan Selasa (10/9/2019), Google Indonesia bertindak sebagai penerbit invoice dan reseller jasa. Dengan demikian, jika pengguna jasa ingin mendapatkan potongan pajak 2 persen dari pembayaran, Google meminta bukti slip pemotongan pajak asli atau bukti potong.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, Senin (9/9/2019), di Jakarta, berpendapat, upaya yang dilakukan Google baru sebatas pajak iklan. Dengan demikian, hal ini belum berdampak signifikan terhadap pendapatan negara.
Kendati demikian, tambah Prastowo, langkah Google tersebut tetap perlu diapresiasi.
”Isu (Google) mendatang mengenai aplikasi internet atau over-the-top. Saat ini belum ada kejelasan terkait pemungutan pajak over-the-top. Masih menunggu pembahasan bentuk usaha tetap dari OECD,” kata Prastowo menambahkan.
Sebelumnya, saat dikonfirmasi mengenai pungutan pajak ini, beberapa waktu lalu, Corporate Communication Google Indonesia Jason Tedjasukmana menyampaikan, seiring perkembangan operasi dan upaya perusahaan menyediakan layanan terbaik bagi pelanggan di Indonesia, Google juga mengubah penagihan dengan menggunakan mata uang lokal. Hal ini berlaku bagi pelanggan produk iklan Google yang mendaftar dengan alamat penagihan di Indonesia.
”Penjualan dan penagihan layanan iklan juga akan dilakukan kantor lokal kami. Perubahan ini merupakan awal dari model bisnis baru untuk mendukung perkembangan bisnis kami di Indonesia,” ujar Jason.
Populer
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie, Bambang Sukma Wijaya, yang dihubungi terpisah, mengatakan, iklan digital sedang populer. Akan tetapi, iklan mengalami redefinisi karena makin beragam, baik dari sisi fungsi, bentuk, maupun strategi. Selain itu, keragaman iklan juga berwujud iklan berbayar dan iklan tidak berbayar.
Menurut Bambang, iklan di media massa konvensional dan digital tidak harus dipertentangkan, tetapi justru saling melengkapi. Alasannya, masing-masing iklan tersebut memiliki karakter, target konsumen, dan jangkauan yang berbeda.
”Perubahan penggunaan mata uang untuk membayar iklan di Google saya kira tidak terlalu berpengaruh karena nilainya kurang lebih sama. Perubahan itu hanya mengubah persepsi seolah-olah lebih murah, lebih lokal, dan terkesan lebih stabil,” tuturnya.
Menurut Bambang, tantangan di masa mendatang bagi iklan konvensional adalah harus lebih kreatif dalam mengelaborasi ide sehingga bisa menggunakan berbagai medium secara fleksibel. Sementara iklan digital mesti terus berinovasi untuk mengeksplorasi medium yang digunakan secara natural. Dengan demikian, konten iklan bisa disesuaikan secara khas dan pas.
Tantangan lain yang dihadapi iklan digital dan konvensional berkaitan dengan pemaknaan. Iklan-iklan yang kurang bermakna, meskipun tingkat kesadarannya tinggi, akan cepat ditinggalkan konsumen.
Direktur Komunikasi Danone di Indonesia Arif Muhajidin mengemukakan, faktor mata uang tidak serta merta menggeser preferensi penempatan iklan. Sebab, strategi periklanan dipengaruhi strategi komunikasi masing masing merek terhadap konsumennya.
Setiap merek yang dimiliki Danone di Indonesia, tambah Arif, memiliki strategi pemasaran yang khas dan penggunaan kanal komunikasi sesuai karakter dan proposisi.
Secara terpisah, Managing Director Mobile Marketing Association (MMA) Asia Pasifik Rohit Dadwal berpendapat, beriklan di platform penerbit digital memberi pengalaman menarik bagi pemasang iklan. Sebab, pemilik merek bisa melacak perilaku dan kebiasaan konsumen.
CEO Asia Video Industry Association Louis Boswell kepada Kompas menyebutkan, media konvensional mesti menyediakan model iklan baru agar memenangi kompetisi dengan media baru yang bermunculan. (MED)