Pak Presiden, Dengarkanlah Orang-orang Baik yang Menolak Pelemahan KPK
Presiden Joko Widodo belum menentukan sikap, apakah menolak revisi UU KPK atau setuju dengan rencana DPR itu. Sementara masyarakat sipil mulai dari akademisi, tokoh masyarakat, hingga pemuka agama menolak revisi UU KPK.
Presiden Joko Widodo belum kunjung menentukan sikap. Apakah menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau setuju dengan DPR mengubah aturan soal lembaga antirasuah tersebut. Sementara masyarakat sipil mulai dari akademisi berbagai perguruan tinggi, tokoh masyarakat, hingga pemuka agama sudah tegas menyatakan menolak revisi UU KPK.
Apakah Presiden Jokowi akan mendengarkan suara jernih orang-orang baik dari kalangan masyarakat sipil atau mengikuti keinginan politisi DPR yang ingin memereteli kewenangan KPK. Ini bisa dianggap sebagai upaya pelemahan pemberantasan korupsi. Rakyat Indonesia kini menantikan sikap tegas pemimpinnya.
Akademisi dari berbagai perguruan tinggi besar dan ternama di Indonesia sudah bersuara lantang menolak revisi UU KPK. Dekan Fakultas Hukum UGM Prof Sigit Riyanto bersama sejumlah pengajar UGM lainnya memberikan pernyataan tertulis bahwa isi revisi UU KPK justru melemahkan KPK, padahal adanya KPK adalah amanah reformasi dalam upaya melawan korupsi. Tidak hanya itu, penanggulangan korupsi juga sekaligus sebagai amanah konstitusi.
”Mengingat tujuan kemerdekaan RI tidak akan tercapai selama korupsi marak di Indonesia, kami dosen UGM yang bertanda tangan di bawah ini menentang setiap upaya pelemahan penanggulangan korupsi,” demikian bunyi pernyataan tersebut.
Baca juga: ”Kuda Troya” KPK
Suara yang sama datang dari kampus-kampus lain. Pengajar Program Studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, menyatakan, seluruh elemen akademik Universitas Paramadina, Jakarta, berkomitmen memberikan dukungan kepada KPK. Dia menilai revisi UU KPK belum diperlukan untuk saat ini.
”Seluruh elemen kekuatan civil society harus bangkit dan mengawal proses ini sebagai bentuk dukungan kepada agenda pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), Herlambang Wiratraman, mengatakan, kalangan akademisi Unair juga membuat pernyataan sikap untuk menolak revisi UU KPK. ”Puluhan dosen Unair akan memberikan pernyataan sikap penolakan revisi UU KPK di kampus Fakultas Hukum Unair, Selasa (10/9/2019),” katanya.
Wakil Rektor I Universitas Diponegoro Semarang Budi Setiyono mengatakan, keberadaan KPK masih sangat dibutuhkan ketika penegak hukum lain belum mampu optimal memberantas korupsi. ”Karena itu, tidak ada artinya jika KPK tak punya kewenangan atau kewenangannya dibatasi,” ujar Budi.
Baca juga: Akademisi Perguruan Tinggi Minta Presiden Menolak Revisi UU KPK
Bahkan, antropolog dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia khawatir bahwa revisi UU KPK menjadi awal dari membudayanya korupsi di Indonesia. Menurut mereka, revisi UU KPK merupakan upaya sistematis pelemahan pemberantasan korupsi di Indonesia. Apabila itu terjadi, para antropolog ini menilai lama-kelamaan korupsi di Indonesia dianggap sistem nilai yang wajar atau lumrah.
”Maka, kami, antropolog Indonesia, tidak menginginkan korupsi membudaya di negeri ini melalui pembiaran dan pembenaran, baik secara tidak langsung maupun secara sistematis. Pembiaran dan pembenaran korupsi melalui berbagai cara akan menjadikan nilai korupsi yang tadinya adalah negatif atau tidak normal menjadi positif atau normal alias wajar. Jika ini sampai terjadi, jelas akan merusak moral dan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara,” papar antropolog dari UGM, PM Laksono.
Penolakan datang juga dari tokoh masyarakat. Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan Ketatanegaraan yang juga advokat senior, Albert Hasibuan, mengatakan, usaha revisi UU KPK itu tidak logis. Sebab, rakyat merasa KPK sudah cukup baik dalam memberantas korupsi. ”Saya yakin Presiden Jokowi mendengarkan suara rakyat dan tidak akan mengirimkan surat (surat presiden) ke DPR,” kata Albert.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengingatkan, ketidakpastian penegakan hukum, termasuk korupsi, akan membuat kepercayaan investor dalam penanaman investasi hilang. Dalam konteks regulasi, misalnya, RUU KPK yang berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi akan meningkatkan risiko investasi.
”Apabila regulasi dan penegakan hukum tidak pasti, itu akan menimbulkan rasa ketidakpercayaan investor karena mereka melihat ada potensi ketidakadilan dalam menjalankan bisnis sebab suap dan korupsi mungkin terjadi,” tuturnya.
Baca juga: Kepercayaan Publik Mesti Dijaga
Penolakan revisi UU KPK juga datang dari tokoh-tokoh agama. Mereka meyakini revisi UU KPK hanya akal-akalan untuk membuat KPK lemah dan tidak lagi efektif memberantas korupsi.
”Kesepakatan melakukan revisi UU KPK terasa ’dipaksakan’. Sebab, revisi tersebut tidak masuk dalam daftar RUU prioritas pada Program Legislasi Nasional 2019. Bahkan, upaya reivisi ini sempat ditunda Presiden pada awal 2016,” ujar pengurus harian Parisada Hindu Dharma Indonesia, Yanto Jaya.
Yanto menyampaikan penolakan terhadap revisi UU KPK bersama para perwakilan lembaga keumatan lainnya, yakni Penrad Siagian dari Paritas Institute, Romo Heri dari Konferensi Waligereja Indonesia, Ubaidillah dari PP Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (NU), Henry Lokra dari Persekutuan Gereja-gereja Indonesia, Suhadi Sendjaja dari Dewan Kerukunan Agama Perwakilan Umat Buddha Indonesia, Peter Lesamana dari Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, dan Muhammad Sahlan Ramadhan S.
Baca juga: Lembaga Keumatan Tolak Revisi UU KPK
Ubaidillah, perwakilan NU, menyampaikan, upaya pelemahan KPK dimulai sejak 2011 yang semakin agresif pada 2015. Tercatat sebanyak tiga kali upaya pembahasan revisi UU KPK, yaitu pada Juni, Oktober, dan Desember 2015. ”Meski telah ditunda oleh Presiden Joko Widodo pada awal 2016, di akhir masa periode pertamanya kembali anggota DPR dari seluruh fraksi sepakat untuk merevisi UU KPK,” ujarnya.
Dikenang
Apabila seiring sejalan dengan DPR yang ingin merevisi UU KPK, Presiden Jokowi bakal dikenang sebagai presiden yang tak peduli dengan kepercayaan rakyat terhadap KPK. Selama ini, rakyat Indonesia memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap KPK dibandingkan dengan institusi mana pun di negeri ini.
Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo, dalam opini yang ditulis di Kompas (10/9/2019) mengutip survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Desember 2018, yang menunjukkan harapan besar rakyat terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Survei LSI mencatat tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap KPK mencapai 84 persen dari total 1.220 responden secara nasional. Sementara Presiden menempati urutan kedua sebagai lembaga negara yang dipercaya publik (79 persen).
Baca juga: Presiden sebagai Panglima Pemberantasan Korupsi
Sejak kelahirannya, KPK memang menjadi penegak hukum yang efektif dalam memberantas korupsi meski kritik selalu datang karena sampai hari ini korupsi terus terjadi di Indonesia. Itu berarti KPK belum berhasil membangun sistem bernegara dan tata pemerintahan yang menjamin negeri ini bebas dari korupsi.
Meski demikian, rakyat masih memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap KPK. Lembaga penegak hukum lain, polisi dan jaksa, yang juga berwenang mengusut tindak pidana korupsi, tak pernah berhasil menyamai kepercayaan publik terhadap KPK.
Efektivitas KPK dalam memberantas korupsi karena memang lembaga ini dibekali oleh UU yang memungkinkan cara kerja mereka jauh lebih mumpuni dibandingkan polisi atau jaksa. KPK, misalnya, tak perlu meminta izin Presiden jika harus memeriksa pejabat, seperti anggota DPR atau menteri. Sementara jaksa atau polisi kerap terhambat persoalan birokratis perizinan pemeriksaan itu.
Apabila regulasi dan penegakan hukum tidak pasti, itu akan menimbulkan rasa ketidakpercayaan investor karena mereka melihat ada potensi ketidakadilan dalam menjalankan bisnis sebab suap dan korupsi mungkin terjadi.
UU KPK juga memungkinkan lembaga ini tak boleh menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan atau SP3. Dengan tak boleh menerbitkan SP3, KPK harus betul-betul bisa menjamin, siapa pun yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh mereka, sudah ada minimal dua alat bukti tindak pidana korupsi yang bisa menjerat tersangka.
Dengan demikian, sebelum seseorang dinyatakan sebagai tersangka, KPK terlebih dulu harus mendapatkan dua alat bukti yang dapat menyatakan bahwa tersangka tersebut telah melakukan korupsi. Tentu saja filosofi minimal ada dua alat bukti untuk bisa menetapkan seseorang menjadi tersangka ini sejalan dengan keyakinan hakim dalam memutus perkara.
Seorang hakim harus memiliki keyakinan bahwa terdakwa di pengadilan bersalah karena ada minimal dua alat bukti yang membuktikan kejahatan orang tersebut. Dengan demikian, penyidikan KPK itu sudah setengah jalan untuk membuktikan bahwa seseorang itu terbukti korupsi. Dengan cara seperti ini, KPK memiliki catatan one hundred percents conviction rate alias terdakwa korupsi yang dibawa ke pengadilan oleh KPK selalu bisa diputus bersalah oleh hakim.
Tentu KPK juga harus dikritik karena misalnya terlalu lama menetapkan seseorang menjadi tersangka. Bahkan, ada satu tersangka yang sampai sekarang masih belum kunjung dibawa ke pengadilan, yakni mantan Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino.
Baca juga: KPK dalam Masalah?
RJ Lino ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak Desember 2015. Hampir empat tahun kasus dugaan korupsi pengadaan quay container crane (QCC) tahun 2010 disidik KPK, tetapi KPK belum kunjung membawa perkara ini ke pengadilan. Selama hampir empat tahun itu pula Lino kehilangan hak keperdataannya karena menjadi tersangka.
Ada jalan keluar yang sebenarnya bisa dilakukan KPK. Jika memang selama penyidikan dua alat bukti dalam kasus RJ Lino ternyata tidak kuat, KPK bisa saja membawa perkaranya ke pengadilan dan menuntut bebas atau menuntut lepas mantan Dirut Pelindo II tersebut. Sesuai KUHAP, jaksa bisa saja menuntut bebas atau menuntut lepas seorang terdakwa.
KPK tetap tak perlu mengeluarkan SP3. KPK pun tak perlu melanggar UU. Jangan seperti saat ini. Karena satu ketidaksempurnaan dalam kasus RJ Lino, pencapaian luar biasa KPK karena tak boleh mengeluarkan SP3 malah hendak diubah.
Ibaratnya, jika ada 100 kasus korupsi di KPK, 99 kasus diusut dan berhasil dibuktikan dengan baik karena KPK tak boleh mengeluarkan SP3. Namun, ada satu kasus yang mungkin karena ketidaksempurnaan penyelidikannya, KPK belum kunjung yakin dengan alat bukti yang ada. Tentu saja, tak lantas dengan satu kasus ini kemudian KPK mesti diberi wewenang SP3. Sebuah wewenang yang dikhawatirkan membuat penegak hukum ”main mata” dengan tersangka.
Baca juga: Politik Pemberantasan KPK
UU KPK juga memberikan lembaga ini kewenangan memperoleh alat bukti berupa rekaman percakapan elektronik yang bisa mereka dapatkan dari penyadapan. Penyadapan yang dilakukan KPK saat menyelidiki kasus korupsi terbukti banyak menghasilkan tangkapan. Operasi tangkap tangan terhadap kepala daerah, anggota DPR, kepala lembaga negara, dan menteri berawal dari penyadapan.
Lembaga penegak hukum lain juga sebenarnya memiliki kewenangan penyadapan ini. Namun, seberapa efektifkah kewenangan penyadapan yang dimiliki mereka bisa dinilai dari kinerja lembaga-lembaga tersebut.
Celakanya, keistimewaan KPK yang berbeda dengan penegak hukum lain dalam memberantas korupsi hendak dipereteli lewat revisi UU KPK. Padahal, keistimewaan itu yang membuat KPK lebih berhasil memberantas korupsi dibandingkan penegak hukum lain. Kemampuan KPK membuktikan hampir seluruh kasus korupsi di pengadilan karena tak ada wewenang SP3 hendak dihapuskan. Penyadapan yang membuat KPK banyak melakukan operasi tangkap tangan bakal dipersulit.
Baca juga: Pimpinan KPK: UU KPK Masih Relevan
Hingga Juni 2019, KPK telah menetapkan 255 anggota DPR/DPRD, 6 unsur pimpinan partai politik, serta 27 kepala lembaga atau kementerian sebagai tersangka korupsi. KPK mampu menyentuh korupsi di hampir semua lembaga negara dan penegak hukum. Belum ada dalam sejarah Republik Indonesia lembaga penegak hukum mampu memberantas korupsi seefektif KPK.
Dengan semua pencapaian KPK, wajar jika publik bereaksi tiap kali ada serangan terhadap lembaga ini. Penolakan publik selalu masif terjadi jika KPK coba dipereteli kewenangan melalui revisi UU KPK. Orang-orang baik di negeri masih percaya KPK mampu memberantas korupsi. Maka, dengarkanlah suara mereka, Pak Presiden!