Puluhan Warga Terpasung Ditemukan dalam Kondisi Menyedihkan
Sejak diluncurkan 10 Juli 2019, layanan berbasis digital Barisan Gasak Pasung Sejati atau Bagaspati Among Jiwo, Rumah Sakit Jiwa Prof dr Soerojo, telah menemukan puluhan warga terpasung di beberapa kabupaten di Jateng.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Sejak diluncurkan 10 Juli 2019, layanan berbasis digital Barisan Gasak Pasung Sejati atau Bagaspati Among Jiwo, Rumah Sakit Jiwa Prof dr Soerojo, Magelang, telah menemukan puluhan warga terpasung di beberapa kabupaten di Jawa Tengah. Layanan ini adalah bagian dari program penemuan, pembebasan, pengobatan, serta rehabilitasi untuk mengembalikan fungsi dan peran dari orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Direktur Utama Rumah Sakit Jiwa Prof dr Soerojo, Eniarti, mengatakan, sejak Juli hingga sekarang, 23 warga dengan gangguan jiwa yang terpasung ditemukan ada di Kota Magelang dan Kabupaten Magelang, Kabupaten Temanggung, serta Kabupaten Wonosobo. Masih banyak warga dengan gangguan jiwa ditemukan di rumah dalam kondisi fisik yang menyedihkan.
Bertahun-tahun diikat dan dirantai dengan ketat, menurut Eniarti, kondisi mereka terlihat sangat memprihatinkan. Karena begitu lama dipasung, sebagian warga terpasung sulit dievakuasi, dilepas dari rantainya, karena rantai tersebut sudah telanjur melekat pada daging dan kulit.
Tidak sekadar itu, kondisi fisik yang makin buruk juga terjadi pada sebagian warga karena bagian rantainya ditindih oleh bilah kayu sebagai pemberat.
”Dengan kondisi sangat susah bergerak dan terhambat karena tertindih kayu selama bertahun-tahun, akhirnya tulang warga terpasung pun bengkok,” ujarnya, Rabu (11/9/2019).
Setelah layanan Bagaspati Among Jiwo diluncurkan, RSJ menerima dan menindaklanjuti 34 kasus ODGJ yang dilaporkan masyarakat. Dari jumlah tersebut, 23 kasus di antaranya adalah kasus ODGJ terpasung dan 11 kasus gawat darurat psikiatri.
Tidak sekadar kondisi fisik yang menyedihkan, para warga terpasung tersebut juga benar-benar terkurung dengan akses bergerak yang sangat terbatas.
Tidak sekadar kondisi fisik yang menyedihkan, para warga terpasung tersebut juga benar-benar terkurung dengan akses bergerak yang sangat terbatas.
”Ada warga yang dipasung dan dikurung dalam ruangan berukuran sangat sempit, sekitar 1 x 2 meter, yang hanya bisa memberi mereka ruang untuk berdiri dan duduk saja,” ujarnya.
Dengan kondisi tersebut, menurut dia, warga terpasung pun kehilangan haknya atas kesehatan dan kebersihan atas lingkungan dan dirinya sendiri. Mereka dibiarkan buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) di ruangan yang sama.
Asupan makanan pun sangat bergantung pada keluarga dan orang lain di sekitarnya. Namun, menurut dia, melihat kondisi sebagian warga terpasung yang sangat kurus, diduga mereka pun tidak rutin mendapatkan asupan makanan.
Kendati demikian, Eniarti mengatakan, pihak keluarga pun tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena memasung ODGJ. Rata-rata keluarga dari ODGJ terpasung berasal dari keluarga menengah ke bawah yang memiliki keterbatasan dana untuk pembiayaan pengobatan. Namun, di satu sisi, mereka juga kewalahan untuk menghadapi anggotanya yang mengalami gangguan jiwa.
Rata-rata keluarga dari ODGJ terpasung berasal dari keluarga menengah ke bawah yang memiliki keterbatasan dana untuk pembiayaan pengobatan.
”Pihak keluarga mungkin putus asa, tidak tahu apa yang harus dilakukan kecuali memasung ODGJ tersebut,” ujarnya.
Muhroni (76), warga Desa Sidorejo, Kecamatan Tegalrejo, mengatakan, istri dan putrinya mengalami gangguan jiwa sejak lama. Istri Muhroni, Solekah (70), diketahui mulai menunjukkan gejala gangguan jiwa pada 1980-an. Hal itu terjadi setelah sebelumnya Solekah mengalami depresi, merasakan kesedihan mendalam karena salah seorang putranya meninggal akibat tenggelam, tercebur dalam kolam di dekat rumah.
Adapun putri Muhroni, Kamilah (33), sebelumnya terlihat normal dan berhasil menamatkan pendidikan di madrasah tsanawiyah (MTs). Kondisi kejiwaannya mulai berubah setelah dia sempat menjalani pendidikan sebagai santri di salah satu pondok pesantren di Kecamatan Tegalrejo selama setahun.
”Ketika itu saya pun terkejut karena tiba-tiba saja dia diantar pulang ke rumah oleh teman-temannya dalam kondisi depresi,” ujarnya.
Walaupun tidak menunjukkan perilaku mengganggu seperti berteriak-teriak, Kamilah saat itu sudah sulit diajak berkomunikasi. Dia hanya sering menyebut nama sejumlah kiai, pengasuh di pondok pesantren tempatnya belajar.
Muhroni mengatakan, dirinya sempat mencoba datang ke pondok pesantren untuk menanyakan hal tersebut. Namun, kedatangannya tidak pernah direspons. ”Pihak pondok pesantren menolak untuk menemui saya,” ujarnya.
Muhroni memutuskan untuk merawat sendiri Solekah. Adapun Kamilah sempat dibawanya untuk dirawat di salah satu panti rehabilitasi milik perorangan di Kota Magelang. Namun, pada akhirnya, karena di panti tersebut Kamilah sering diganggu oleh teman-temannya, Muhroni pun memutuskan untuk membawa putrinya pulang.
Di rumah, baik Solekah maupun Kamila tidak diikat atau dirantai. Mereka hanya dibiarkan dalam ruangan tertutup dan terkunci. Muhroni mengatakan, dia sengaja melakukan hal tersebut agar istri dan putrinya tidak berkeliaran di jalan.
Rabu siang, Solekah dan Kamilah akhirnya dievakuasi untuk dibawa dan dirawat intensif di RSJ Prof dr Soerojo. Sekalipun ikhlas, Muhroni tetap terlihat menitikkan air mata. Dia pun tetap mendampingi putrinya di ambulans yang membawanya ke RSJ. Adapun Solekah yang sudah renta dan sulit berjalan terpaksa digendong dan dibawa ke ambulans dengan menggunakan tandu.