Petugas puskesmas mengumpulkan para tokoh dan perwakilan masyarakat untuk dikenalkan cara penularan kusta.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Penanggulangan kusta di Tanah Air membutuhkan strategi baru yang menyeluruh dengan melibatkan semua pihak terkait, termasuk pemerintah daerah. Selain mengeliminasi kusta dengan menemukan kasus lebih dini, perlu ada kebijakan untuk menghapus stigma serta memberdayakan pengidap dan mantan penderita agar mandiri.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono menyatakan, untuk menghapus stigma di masyarakat bahwa kusta mudah menular, sosialisasi dan edukasi kepada warga melalui Rapid Village Survey dilakukan. ”Petugas puskesmas mengumpulkan para tokoh dan perwakilan masyarakat untuk dikenalkan cara penularan kusta,” katanya, di Jakarta, Selasa (3/9/2019).
Edukasi kepada masyarakat diimbangi upaya pencegahan secara cepat oleh petugas puskesmas. Tantangan lain adalah kurangnya sensitivitas dokter di daerah yang jarang ada kasus kusta. ”Pemerintah juga menyediakan obat kusta secara gratis di puskesmas,” ujarnya.
Sejumlah daerah berupaya memutus rantai penularan kusta. Kepala Seksi Upaya Kesehatan Masyarakat dan Penelitian Pengembangan Unit Pelaksana Teknis Layanan Kusta Rumah Sakit Sumberglagah Purwo Atmodjo mengatakan, upaya memutus rantai penularan kusta bisa dilakukan dengan serologi. Metode deteksi dini kusta subklinis itu hasil kerja sama RS Sumberglagah Mojokerto dengan Tropical Disease Center Universitas Airlangga Surabaya.
Penderita kusta subklinis adalah orang tanpa gejala klinis kusta, tetapi tinggal di area endemis sehingga berisiko tinggi tertular. Jika titer antibodinya mengandung sel kuman kusta dengan kadar tinggi atau lebih dari 2.000 μ per mililiter, pengidap kusta subklinis diobati agar terhindar dari kusta. ”Ini bisa mempercepat eradikasi kusta di Indonesia. Obat kombinasi (MDT) belum memutus penularan kusta,” kata Purwo.
Pemberdayaan
Sejumlah daerah lain juga menunjukkan kepedulian terhadap nasib pengidap dan mantan penderita kusta yang mendapat stigma di masyarakat. Pemerintah Kota Surabaya, misalnya, menjamin kebutuhan makanan dan tempat tinggal untuk meningkatkan mutu hidup mereka. Selama ini mereka ditempatkan di Pondok Sosial Babat Jerawat, Benowo, seluas 1,5 hektar dilengkapi lahan untuk bercocok tanam. ”Mereka rawan luka,” kata Kepala Tata Usaha Griya Werda dan Kusta Babat Jerawat Shokib Badjer.
Menurut Shokib, kebutuhan dasar para penderita kusta sudah dipenuhi oleh Pemkot Surabaya. Mereka sejatinya tidak perlu bekerja untuk mencukupi kebutuhan dasar. Namun mayoritas penghuni liponsos memilih tetap bekerja untuk mencari uang tambahan.
“Beberapa di antaranya menjadi penjual balon, pemulung, tukang becak, petani, dan peternak. Ada lahan milik perusahaan dan di liponsos yang bisa mereka kelola,” katanya.
Pemkot Surabaya pernah memberi pelatihan pembuatan keset dan kemoceng kepada para penghuni liponsos, tapi warga enggan membeli produk-produk mereka setelah mengetahui produk itu buatan para penderita kusta. “Hasil pertanian dan perkebunan dijual melalui distributor, tidak bisa dijual langsung kepada pembeli karena stigma kepada penderita kusta masih tinggi,” ucapnya.
Penghuni Liponsos Babat Jerawat, Sodikin (50), mengatakan, dia tidak pernah bekerja di sektor formal. Kondisinya yang mengalami kusta sejak usia 16 tahun membuatnya dijauhi oleh tetangga sekitar. Oleh sebab itu, dia memilih tinggal di Liponsos Babat Jerawat karena di kawasan itu banyak diisi oleh penderita kusta.
Menurut pria yang bekerja sebagai penjual balon gas tersebut, lingkungan tempat tinggal di liponsos cukup memadai. Dia dan istrinya, Homsatun (54), tidak mendapatkan diskriminasi karena tinggal dengan sesama penderita kusta.
Kebutuhan tempat tinggal dan makan yang sudah dicukupi Pemkot Surabaya membuatnya bisa bekerja dengan lebih tenang. Setiap hari, dia berjualan balon gas di taman dekat liponsos dengan penghasilan di atas upah minimum kota Surabaya sebesar Rp 3,8 juta. Uang yang didapat ditabung untuk memenuhi kebutuhan lain, seperti membeli kendaraan bermotor dan makan di luar.
“Bekerja menjadi pemulung menurut saya paling tepat karena tidak ada gangguan dan diskriminasi dari orang lain. Warga tidak ada yang keberatan,” kata Warnoto (51), penghuni liponsos yang bekerja sebagai pemulung.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, warga yang menderita kusta juga berhak mendapatkan kehidupan yang layak. Mereka bisa tinggal dengan lebih layak di liponsos karena kebutuhan dasarnya terpenuhi. Mereka yang memilih bekerja bisa memanfaatkan uang yang diperoleh untuk kebutuhan lain.
“Dalam setahun, anggaran untuk Liponsos Babat Jerawat mencapai Rp 1,4 miliar. Kebutuhan terbesarnya untuk kebutuhan makanan yang mencapai Rp 800 juta per tahun,” kata Risma.
Bercocok tanam
Menurut Wali Kota Singkawang Tihai Chui Mie, Pemkot Singkawang bersama swasta dan pekerja sosial membuat program pemberdayaan bagi pengidap dan mantan penderita kusta. Di Kecamatan Singkawang Selatan, mereka diberi lahan untuk bercocok tanam. ”Dinas terkait mendampingi mereka, misalnya memberi bibit untuk pengembangan pertanian, dan dilatih keterampilan lain, misalnya membuat sepatu dengan melibatkan swasta.
Pemda setempat akan membantu pemasaran produk mereka. ”Masyarakat jangan resisten kepada mantan penderita dan pengidap kusta. Bantu mereka agar punya kesempatan sama,” ujarnya.
Berbagai kegiatan sosial dijalankan di daerah itu untuk para mantan penderita kusta. Misalnya saja melalui program Seniman Mengajar. Yohanes Arya Duta, salah satu Seniman Mengajar di Singkawang Selatan, mengatakan, ia dan rekan-rekannya membuat kegiatan ekoprin dan teknik celup ikat.
Ecoprint dan teknik celup ikat merupakan kegiatan membatik menggunakan daun dengan medium baju dan tas. Hasilnya berupa baju dan tas dengan warna-warni. Bahkan, Arya sudah mencoba memasarkan produk mereka melalui media sosial dan saat ada ekspo di Singkawang.
“Tidak bisa dipungkiri ada juga masyarkat yang masih resisten dengan produk tas yang mereka buat. Namun, banyak juga yang mengapresiasi dengan membeli produk mereka baik secara langsung maupun melalui media sosial. Dari 40 tas karya mereka, yang terjual sebanyak 33 tas,” kata Arya.
Dengan kegiatan itu, juga membangkitkan semangat mereka. Ini menunjukkan bahwa mereka juga mampu menghasilkan sebuah karya yang patut diapresiasi serta diharapkan bisa menghilangkan stigma negatif. (FAJAR RAMADHAN/RUNIK SRI ASTUTI/EMANUEL EDI SAPUTRA/IQBAL BASYARI)