Sejuta Hektar Lahan Sawit Berada di Kawasan Hutan Primer dan Gambut
Terdapat 1,001 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit yang tumpang-tindih dengan kawasanan hutan, hutan primer, dan gambut. Lahan perkebunan sawit yang tumpang-tindih tersebut milik 724 perusahaan.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah lembaga swadaya masyarakat menemukan sekitar 1 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan primer dan gambut. Penanganannya membutuhkan tim verifikasi yang independen yang juga melibatkan lembaga swadaya rakyat, akademisi, dan pemerintah.
Jika sudah terverifikasi, pemerintah mesti berani melindungi wilayah hutan dan gambut tersebut. Perkebunan kelapa sawit seharusnya tidak berada di area itu.
Hal itu diungkap Yayasan Madani Berkelanjutan dari Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) atau Peta Indikatif Moratorium Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan revisi ke-15.
Moratorium perkebunan kelapa sawit diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit dan Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Penundaan dan evaluasi ini berlangsung maksimal selama tiga tahun sejak instruksi diterbitkan, yaitu pada 2021.
Dalam data Yayasan Madani Berkelanjutan disebutkan, terdapat 1,001 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit yang tumpang-tindih dengan kawasan hutan, hutan primer, dan gambut. Lahan perkebunan sawit yang tumpang-tindih tersebut milik 724 perusahaan.
Terdapat 1,001 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit yang tumpang-tindih dengan kawasan hutan, hutan primer, dan gambut. Lahan perkebunan sawit yang tumpang-tindih tersebut milik 724 perusahaan.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (10/9/2019), mengatakan, lahan itu tersebar di 24 provinsi se-Indonesia, termasuk Riau, Kalimantan Barat, dan Papua.
”Dari jumlah itu, khusus di tujuh provinsi yang diprioritaskan untuk restorasi lahan, terdapat 333 perusahaan yang memiliki lahan perkebunan kelapa sawit seluas total 506.333 hektar,” tuturnya.
Menurut Teguh, temuan lahan tumpang-tindih ini telah dilaporkan ke Kementerian Koordinator Perekonomian. Untuk mengatasinya, perlu ada tim verifikasi independen yang terdiri dari pemerintah dan masyarakat yang dibentuk untuk mengecek lapangan.
Selain itu, lanjut Teguh, penanganan juga membutuhkan tim kerja independen yang dapat mengajukan rekomendasi terhadap temuan verifikasi lapangan. Sebab, verifikasi itu juga diperlukan untuk penindakan hukum dan penegakan restorasi lahan.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas menyatakan, jika 1 juta hektar lahan tersebut terbukti dan terverifikasi berada di kawasan hutan, hutan primer, dan gambut, pemerintah mesti berani melindungi wilayah hutan dan gambut tersebut. Perkebunan kelapa sawit seharusnya tidak berada di area itu.
Selain itu, Arie berpendapat, pemerintah seharusnya memberikan ruang bagi masyarakat untuk memantau dan mengevaluasi PIPPIB. Pemuktahiran PIPPIB sebaiknya dilakukan secara berkala, minimal enam bulan sekali.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil menyatakan, lahan perkebunan kelapa sawit yang tumpang-tindih tengah dibereskan selama moratorium sesuai Inpres No 8/2018.
”Secara keseluruhan, lahan yang berada di ranah kami berkisar 35 persen, sedangkan sisanya berada di ranah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” katanya saat ditemui di Jakarta.
Nantinya, lanjut Sofyan, data lahan perkebunan kelapa sawit akan menjadi bagian dari kebijakan satu peta yang bersifat lintas kementerian/lembaga. Badan Pertanahan Nasional juga akan bertanggung jawab pada sistem informasinya.
Butuh keseriusan
Deputi Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengemukakan, adanya 1 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit yang berada di kawasan hutan, hutan primer, dan gambut menunjukkan ketidakseriusan pemerintah selama masa moratorium. Seharusnya, setelah setahun moratorium berjalan, pemerintah dapat memublikasikan hasil ulasan keberadaan lahan beserta tindakan hukum bagi perusahaan yang melanggar.
Adanya 1 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit yang berada di kawasan hutan, hutan primer, dan gambut menunjukkan ketidakseriusan pemerintah selama masa moratorium.
Inpres No 8/2018 menyebutkan tugas masing-masing kementerian/lembaga dan instansi daerah selama masa moratorium. ”Oleh sebab itu, seharusnya kementerian/lembaga dan instansi daerah yang tidak melaksanakan tugasnya dan tidak menunjukkan perkembangan mendapatkan sanksi dari Presiden,” ujarnya.
Sementara Teguh menambahkan, jika moratorium tidak dijalani secara serius, Indonesia akan merugi secara bisnis kelapa sawit. Kini, pasar internasional menuntut prinsip keberlanjutan dari tata kelola kelapa sawit nasional.