Liverpool menjawab tantangan Newcastle United yang menerapkan pertahanan ketat dan berlapis dengan bermain sederhana, cepat, dan konsisten menekan.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
LIVERPOOL, SABTU — Johan Cruyff, legenda sepak bola Belanda, pernah berkata, bermain sepak bola sangatlah mudah. Hal yang tersulit adalah memainkannya dengan lugas atau tanpa basa-basi. Kelugasan itulah yang menjadi kunci kemenangan Liverpool FC ketika membekap tamunya, Newcastle United, 3-1, di lanjutan Liga Inggris, Sabtu (14/9/2019) malam.
Stadion Anfield mendadak senyap ketika bek sayap Newcastle, Jetro Willems, menjebol gawang Liverpool di menit ketujuh laga itu. Kecemasan mendadak mencengkeram suporter ”The Reds” mengingat lawannya itu memiliki rekam jejak menakutkan, yaitu kerap menjungkalkan tim-tim raksasa, seperti Manchester City dan Tottenham Hotspur.
Hal lain yang sempat membuat mereka kian khawatir adalah kebiasaan Newcastle, yaitu menutup rapat pertahanannya ketika unggul menghadapi tim-tim besar. ”The Magpies” tampil dengan sistem sangat defensif, yaitu 5-4-1. Pola permainan yang mirip catenaccio atau pertahanan gerendel ala Italia itu sebelumnya sukses membawa Newcastle membekap City dan Spurs.
Namun, Liverpool berbeda dengan City ataupun Spurs. Tim asuhan Juergen Klopp itu menghindari nasib buruk seperti kedua rival utamanya itu berkat karakter yang melekat di jati diri mereka, yaitu permainan menyerang tanpa basa-basi. Karakter sepak bola yang bertumpu pada permainan intensitas tinggi, menekan konstan, dan akselerasi cepat itu menghancurkan tembok berlapis Newcastle.
Liverpool memukul balik Newcastle dengan tiga gol yang dilesakkan Sadio Mane dan Mohamed Salah, dua penyerang andalan Klopp yang disulap menjadi ”striker kembar” The Reds di laga itu. Di atas kertas, Klopp hanya memasang satu striker, yaitu Divock Origi yang kemudian digantikan Roberto Firmino menjelang turun minum. Namun, faktanya, Mane dan Salah tampil bak striker dan kerap berada di kotak penalti.
Adapun Firmino beroperasi sebagai kreator serangan atau pemantul bola. Tidak kalah menariknya, posisi penyerang sayap—yang biasanya diemban Mane dan Salah—diambil alih duo bek sayap, yaitu Andrew Robertson dan Trent Alexander-Arnold, di laga itu. Kedua bek itu rutin maju menopang serangan Liverpool dari lini sayap dan memberikan umpan-umpan ke Mane dan Salah.
Gol pertama Liverpool, yang dicetak Mane, tercipta dari skema serangan itu. Tanpa perlu melakukan operan-operan pendek rumit, Liverpool menambah gol lewat transisi cepat dari bertahan ke menyerang. Firmino merampas bola dari winger Newcastle, Christian Atsu, yang mencoba mengecohnya dengan mempraktikkan teknik dribling ”putaran Cruyff”. Satu detik berselang, bola yang direbut itu dioperkan ke Mane yang berdiri di depan gawang dan berbuah gol.
Riset yang dilakukan UEFA menunjukkan, pola permainan lugas yang bertumpu pada permainan oktan tinggi dan kecepatan para penyerangnya itu juga menjadi resep kesuksesan Liverpool mendominasi Liga Champions Eropa dua musim terakhir. Setelah menembus final dua musim lalu, mereka menjadi juara dengan membekap Tottenham Hotspur, 2-0, di Madrid, Spanyol, Juni lalu.
Analisa dari total 366 gol yang tercipta di Liga Champions musim lalu menghasilkan fakta menarik, yaitu Liverpool tercatat sebagai tim paling lugas, efisien, dan sederhana dalam menyerang. Total 24 gol yang mereka ciptakan sepanjang musim lalu dihasilkan dalam waktu singkat, yaitu hanya 7,81 detik penguasaan bola dan 2,51 operan. Itu jauh di bawah rata-rata 32 tim, yaitu 12,5 detik dan 3,89 operan.
Pemain tercepat Eropa
Tidak kalah menariknya, meskipun Liverpool dikenal memiliki barisan penyerang cepat, bukan Salah maupun Mane yang tercatat sebagai pemain tercepat di Liga Champions pada musim lalu. Status itu direbut Virgil van Dijk, bek tengah Liverpool yang meraih gelar pemain terbaik Eropa 2019. Ia mencatatkan kecepatan 34,5 kilometer per jam atau setara laju persneling ketiga sepeda motor saat menghadapi Barcelona di semifinal.
Dua pemain tercepat lainnya adalah Leroy Sane (34,4 km/jam) dan Kyle Walker (34,2 km/jam). Keduanya adalah bintang Manchester City. ”Ketahanan fisik dan mental para peserta dari Inggris sangatlah menonjol,” bunyi laporan riset dari tim teknik UEFA itu.
Berkat kemenangan atas Newcastle itu, Liverpool masih kokoh di puncak klasemen Liga Inggris dengan koleksi 15 poin dari lima laga. Mereka menjadi satu-satunya tim di Liga Inggris musim ini yang masih menorehkan nilai sempurna hingga pekan kelima. Tidak hanya itu, The Reds juga memperpanjang rekor kemenangan beruntun di Liga Inggris, yaitu 14 kali, sejak Maret musim lalu.
Rekor itu hanya bisa dikalahkan Manchester City, yaitu 18 kali, yang ditorehkan pada Agustus hingga Desember 2017 silam. ”Mereka (Liverpool) sangatlah bagus. Mereka adalah ancaman konstan. Karena itulah, mereka menjadi juara Eropa,” puji Manajer Newcastle Steve Bruce seusai laga itu seperti dikutip The Guardian.
Pekan berikutnya, Liverpool akan diuji Chelsea, tim yang bermain dengan cara serupa mereka, yaitu energi dan intensitas tinggi. Laga itu akan digelar di Stadion Stamford Bridge, London, Minggu (22/9) mendatang. Sebelum laga itu, Liverpool akan mengunjungi Napoli di penyisihan grup liga Champions musim baru. (AP)