Perjalanan ke Negeri Berselimut Kabut
Kabut asap menjadi bagian penderitaan warga yang belum selesai. Inilah sepenggal kisah perjalanan ke wilayah yang masih berselimut kabut asap.
“Pasang sabuk pengaman anda, karena sebentar lagi kita akan mendarat,” ujar pilot dari pengumuman dalam kabin pesawat.
Jumat (13/9/2019), pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 172 yang berangkat dari Jakarta sebentar lagi akan mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim II, Kota Pekanbaru, Riau. Pesawat ini mengangkut sejumlah wartawan yang diundang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melihat langsung penyegelan lahan perusahaan yang terbakar dan fenomena kabut asap di daerah itu.
Menjelang mendarat, bau sangit seperti bau sampah terbakar masuk menyusup dalam kabin pesawat yang padahal didesain kedap udara dari luar. Menengok ke jendela, tidak tampak pemandangan Ibu Kota Provinsi Riau itu, yang ada hanya pandangan putih pekat dari asap. Mendongak ke atas pun, cahaya matahari tampak buram kekuningan terselubung asap.
Saat mendarat, bangunan bandara dan pesawat lain yang sedang terparkir, samar-samar terlihat dari balik pekatnya asap. Akhirnya kami sampai juga setelah sebelumnya menunggu penundaan penerbangan hingga dua jam keberangkatannya dari Bandara Soekarno-Hatta. Alasannya landasan pacu Bandara Sultan Syarif Kasim II ini dikepung asap sehingga mengganggu pendaratan.
Salah satu pegawai KLHK yang juga berangkat dari Jakarta menuju Pekanbaru menggunakan penerbangan yang lebih pagi, harus rela tidak mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim II. Pesawat itu terpaksa mendarat di Batam karena landasan pacu terlalu pekat. Mereka pun terpaksa mencari penerbangan lanjutan dari Batam menuju Pekanbaru.
Setibanya kami di bandara, bau sangit tercium makin kuat. Menengok ke jendela, pesawat tampak samar-samar di kejauhan sekitar 200 meter. Bandara ini dikepung asap.
Di dekat ruang pengambilan bagasi, sejumlah petugas bandara membagi-bagikan masker secara cuma-cuma bagi penumpang yang baru datang. “Sudah hampir sepekan terakhir kami bagi-bagi masker ini, karena asapnya tebal sekali,” ujar Tarmuzi, seorang petugas bandara.
Baca juga: Asap Kepung Bandara Pekanbaru
Usai menyelesaikan pengambilan bagasi, seorang sopir bernama Uus, menjemput kami.
“Selamat datang di negeri di atas awan,” ujarnya.
Tentu Pekanbaru tidak setinggi itu sehingga bisa mudah menjumpai awan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Riau menyebutkan ketinggian rata-rata di Pekanbaru sekitar 50 meter di atas permukaan laut. Jelas, kata-kata Uus itu satir belaka. “Tak perlulah naik pesawat untuk berjumpa awan. Disini, di darat saja kita juga sudah jumpa awan. Ha..ha..ha,” kelakarnya diselipi pesan satir yang kecut.
Level berbahaya
Sembari mengantarkan kami ke kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam Riau, Uus bercerita soal kabut asap di kota tempat di lahir dan tumbuh besar. Dia mengatakan, asap pekat mulai menyelimuti Pekanbaru dan sebagian besar Riau sejak Senin, 9 September lalu. “Saking tebalnya, anak-anak pun libur sekolah. Kita kurangilah kegiatan di luar rumah,” ujar Uus.
Jalanan yang lengang tengah hari itu, tidak dimanfaatkan Uus untuk menambah laju kendara. Sebab, jarak pandang berkendara hanya terlihat sekitar 10 meter. “Saya takut tiba-tiba ada yang lewat, kita tak lihat, bisa menabrak. Ya begitulah kalau negeri di atas awan, banyak jumpa dengan awan seperti ini. Ha…ha…ha…” ujar Uus.
Baca juga: Jambi Dinilai Terlambat Tangani Kebakaran Hutan dan Lahan
Berdasarkan data dari aplikasi pemantauan kualitas udara AirVisual, kualitas udara tercatat sebesar 603 yang berarti masuk level beracun dan berbahaya (hazardous). Angka tersebut melebihi batas maksimal level bahaya yakni 500.
Debu asap yang berterbangan berukuran 2,5 PM mikrogram per meter kubik. Artinya, debu yang beterbangan itu ukurannya sangat kecil dan sulit disaring oleh bulu hidung manusia. Kepadatan debu tercatat sebesar 656,4 mikrogram per meter kubik, yang berarti debu-debu yang mengepung warga sangat tebal.
Dengan kualitas udara seperti ini warga diminta untuk selalu mengenakan masker, menyalakan mesin penjernih udara, menutup pintu serta jendela, dan mengurangi aktivitas di luar ruang.
Catatan AirVisual, kualitas udara Pekanbaru memburuk sejak 9 September. Kala itu kualitas udara mencapai angka 300 atau masuk kategori tidak sehat. Angka kualitas udara memburuk dan mencapai puncaknya pada Jumat.
Penindakan
Pemerintah bukannya berpangku tangan. Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum (Ditjen Gakkum) KLHK sudah menyegel lahan perusahaan yang terbakar sehingga akibatkan pencemaran. Sejak 3 Agustus – 27 Agustus, pihaknya telah menyegel lahan dari 28 perusahaan. Lahan perusahaan itu tersebar di Riau, Jambi, hingga Kalimantan Barat.
Salah satu lahan perusahaan yang akan ditutup hari itu adalah milik sebuah perusahaan sawit yang bernama PT ADEI Plantation and Industry, di Desa Batang Nilo, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan, Riau. Disana Ditjen Gakkum menyegel lahan seluas 4,25 hektar milik perusahaan itu karena terbakar dan mengakibatkan pencemaran udara.
Lahan terbakar yang telah disegel itu berada di tengah-tengah konsesi perusahaan itu yang memiliki luas total 12.860 hektar. Untuk tiba di lokasi itu, kami harus menyusuri jalan berbatu di tengah perkebunan sawit. Diperlukan perjalanan hingga 45 menit berkendara mobil dari pintu masuk utama perusahaan itu hingga tiba di lokasi lahan yang disegel itu.
Di atas lahan yang rata dengan tanah gambut itu berdiri papan pengumuman yang dipasang petugas Ditjen Gakkum Kementerian LHK. Papan berwarna merah dengan tulisan berwarna putih itu bertuliskan, “Areal ini dalam proses penegakan hukum lingkungan hidup atas pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan/atau perizinan lingkungan hidup”.
"Lahan dari perusahaan-perusahaan ini terbakar dan akibatkan pencemaran udara. Lahan ini kami segel sebagai pelajaran agar perusahaan jera dan lebih serius mencegah pencemaran," ujar Direktur Pengaduan dan Penerapan Sanksi Administrasi Ditjen Gakkum Kementerian LHK Sugeng Priyanto di lokasi itu.
Ditemui di lahan yang disegel itu, Grup Manager PT ADEI Plantation and Industry Indra Gunawan mengatakan, pihaknya menerima penyegelan lahan yang dilakukan pemerintah. Ia menilai, ini adalah langkah baik untuk mencari tahu lebih jelas penyebab kebakaran dan meningkatkan pengawasan.
"Kami punya delapan menara pandang untuk mengawasi lahan kami. Ke depan akan kami tingkatkan terus pengawasan," ujar Indra.
Indra mengatakan, kebakaran terjadi pada 7 September lalu pukul 16.30. Kebakaran itu diketahui oleh petugas menara pandang dan langsung segera dipadamkan petugas perusahaan itu. Dibutuhkan waktu lima jam untuk memadamkan kebakaran di atas tanah gambut itu.
Meski sudah hampir sepekan lahan itu sudah padam dari bara api, namun asap pekat masih mengepung wilayah itu. Hawa gerah juga menyergap ketika berjalan di atas lahan yang terbakar itu.
Akibat kebakaran itu Indra mengatakan, perusahaannya rugi lahan produksi sebesar Rp 150 juta. Sebab lahan yang terbakar itu masih terdapat tanaman sawit yang produktif. Kerugian itu masih harus ditambah biaya pemadaman sekitar Rp 150 juta-Rp 180 juta.
"Tidak betul berita yang berkembang bahwa kami sengaja membakar lahan kami. Sebab kami juga merugi akibat kebakaran ini," ujar Indra.
Meski masih meneliti lebih lanjut, Indra menduga kebakaran disebabkan kelalaian warga yang tak sengaja membuang puntung rokok saat memancing di selokan parit lahan itu. "Maka itu kami akan tingkatkan pengawasan," ujar Indra.
Sugeng menjelaskan, PT ADEI adalah satu dari 11 lahan perusahaan yang disegel di Riau selama dua pekan terakhir. Perusahaan itu antara lain PT THIP, PT TKWL, PT AA, PT RAPP, PT GSM, dan PT SRL.
Penyegelan ini dilakukan di tengah kemelut Malaysia dan Indonesia soal kebakaran hutan. Kebetulan PT ADEI adalah perusahaan sawit milik Malaysia. Malaysia menuding asap karhutla dari Indonesia adalah penyebab kualitas udara di Negeri Jiran itu buruk. Pemerintah Malaysia bahkan harus menutup ratusan sekolah karena terdampak asap Karhutla.
Di sisi lain pemerintah Indonesia membantah asap karhutla di sejumlah daerah menyeberang ke Malaysia. Pemerintah berdasarkan data BMKG menyebut asap di Malaysia berasal dari sejumlah titik api di negara itu. "Penyegelan ini bukti kesungguhan kita bahwa kita ini bukan negara pengekspor asap," ujar Sugeng.
Tidak usah jauh-jauh mencemaskan warga dan citra Indonesia di luar negeri, pikirkan saja dulu warga sekitar Riau. Mereka sudah jengah tinggal di “Negeri di Atas Awan”.