Pesan di Balik Kerusuhan Tanah Papua
Memandang Papua tidak bisa hanya dengan kacamata Jakarta, harus juga dari kacamata orang Papua. Wartawan Kompas Frans Pati Herin berbagi pengalamannya meliput kerusuhan di Papua Barat beberapa waktu lalu.
Senin, 19 Agustus 2019 pagi, beredar pesan berantai, foto, dan video tentang kerusuhan yang baru saja pecah di Manokwari, Papua Barat, di grup aplikasi percakapan yang saya ikuti. Asap hitam membumbung. Orang-orang berlarian. Batu dan kayu beterbangan dari arah kerumunan demonstran. Bunyi tembakan peringatan dan gas air mata dari aparat bersahutan di udara. Saya menyimak kabar itu sambil menyeruput kopi panas di Ambon, Maluku.
Penasaran, saya menelepon seorang rekan jurnalis yang tengah bertugas di Manokwari. Sambil menjawab telepon, terdengar rekan itu berlari menghindari lemparan batu. Tiba di titik aman, ia mengabarkan bahwa kerusuhan semakin meluas. ”Kantor DPRD Papua Barat, Kantor Majelis Rakyat Papua, dan banyak lagi sudah terbakar,” katanya langsung menutup telepon.
Sekitar pukul 12.00 WIT, harian Kompas menugaskan saya bergerak ke Manokwari secepatnya. Berkaca pada pengalaman, gelombang aksi semacam itu diperkirakan dapat merembet ke tempat lain di tanah Papua.
Terlebih, aksi itu menyangkut penghinaan bernada rasisme terhadap orang asli Papua oleh pelaku dari luar Papua. Saya mendapat penerbangan tercepat Ambon-Manokwari pukul 15.20 WIT. Penerbangan itu transit semalam di Sorong.
Sambil menunggu penerbangan di Bandara Pattimura Ambon, kembali beredar video dan foto kerusuhan di Sorong. Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Sorong terbakar. Toko dan bangunan di tepi jalan dilempari massa.
Kerusuhan telah merembet ke Sorong. Sorong dan Manokwari sama-sama masuk wilayah Papua Barat. Dua kota penting itu terhubung dengan penerbangan komersial sekitar 50 menit.
Tiba saatnya berangkat ke Sorong dengan perasaan waswas. Kota tempat saya akan transit dan bermalam itu juga bernasib sama dengan Manokwari. Rasa waswas memuncak sesaat setelah mendarat.
Saat pesawat sedang bergerak menuju tempat parkir di Bandara Domine Eduard Osok, seorang ibu yang duduk di dekat saya tiba-tiba berucap, ”Astaga. Ya ampun”. Beberapa penumpang menoleh ke arahnya.
Rupanya ibu itu mendapat pesan dari anaknya bahwa bandara yang baru saja kami darati tidak luput dari amukan massa. Bandara diserang. Banyak penumpang panik. Turun dari pesawat, kami menuju pintu keluar.
Di sana, tampak beberapa penumpang yang lebih dahulu mendarat dengan penerbangan lain menampakkan wajah penuh ketakutan. Mereka tak berani keluar meski para perusuh sudah pergi beberapa saat sebelumnya.
Tampak kaca-kaca rontok oleh lemparan batu, kayu, dan besi. Monitor di ruang kendali kamera pemantauan hancur. Massa yang beringas bahkan sampai masuk ke tempat check in penumpang. Beberapa monitor di area ini juga dirusak.
Aparat keamanan kecolongan dengan gerakan massa yang mendadak dan dalam jumlah banyak. Bagaimana tidak, Markas Polsek bandara saja dirusak, termasuk kendaraan milik komandan!
Jejak kerusakan bertebaran di halaman parkir. Sejumlah mobil dan motor dirusak. Sebuah mobil milik polisi dan tiga unit sepeda motor hangus hanya menyisakan rangka. Dibakar massa.
Memprihatinkan jika mengingat bandara itu dulu dibangun dengan anggaran Rp 239 miliar. Sambil mencari informasi termasuk menghubungi sumber terkait, tiba-tiba jaringan internet terputus.
Jaringan sengaja dimatikan dengan alasan mencegah penyebaran hoaks dan provokasi melalui internet. Beruntung ada hotel yang menyediakan jaringan internet Wi-Fi.
Keesokan harinya, Selasa 20 Agustus 2019, beberapa maskapai membatalkan penerbangan. Pada saat penyerangan bandara sehari sebelumnya, beberapa pesawat batal mendarat.
Padahal, dalam satu hari terdapat sekitar 40 penerbangan dengan aliran penumpang 2.000 hingga 3.000 orang. Bandara Domine Eduard Osok merupakan gerbang Papua dari sisi barat.
Selasa pagi itu, massa kembali berunjuk rasa dan membakar ban di tengah jalan. Beberapa ruas jalan di Kota Sorong diblokade. Siang harinya, massa dari sejumlah titik bergerak menuju kantor Wali Kota Sorong.
Pergerakan massa yang semuanya orang asli Papua itu membuat suasana jadi tegang. Tak hanya aparat yang sibuk mengawal, tetapi juga masyarakat Nusantara, sebutan bagi orang yang bukan orang asli Papua. Mereka merasa ketakutan.
Melihat kerumunan itu, seorang anak berlari sambil berteriak bahwa ada rumah ibadah yang dibakar. ”Kau lihatkah?” tanya saya. ”Ah tidak, saya dengar saja,” jawabnya.
Setelah dicek, info itu hoaks. Situasi Sorong siang itu mencekam. Mencekam lantaran beredar isu potensi gesekan horizontal. Dengan menumpang motor seorang pemandu lokal, kami bergerak menuju jalan yang dilewati massa.
Massa mulai berulah anarkistis. Mereka melempar bangunan-bangunan di pinggir jalan yang mereka lewati. Untuk menghindari amukan, kami masuk ke sebuah kampung. Di lorong, muncul seorang pria berlari sambil memegang parang.
Ia sepertinya siap melawan jika demonstran masuk dan membuat rusuh di kampung itu. ”Mereka (demonstran) di mana?” tanyanya sambil berlari menuju gerbang kampung.
Saya lalu mencari jalan lain menuju kantor Wali Kota Sorong. Lewat gerbang belakang, saya masuk ke dalam kantor dan menuju lapangan upacara, tempat Wali Kota Sorong Lamberth Jitmau menemui para demonstran yang jumlahnya lebih dari 1.000 orang.
Para demonstran semakin liar dan sulit dikendalikan. Beberapa orator berebut pengeras suara untuk berbicara. Saat giliran Lamberth berbicara, massa yang tak lain adalah rakyatnya sendiri, melempari Lamberth dan beberapa pejabat yang mendampinginya, dengan air mineral kemasan, batu, dan kayu.
Saya yang berdiri di belakang Lamberth langsung berlari menghindar. Lamberth dan rombongan berlari. Ia tampak pucat dan baru bisa tenang setelah diberi air minum. ”Ini sudah keterlaluan,” ujar Lamberth.
Keesokan harinya, Rabu (21/8/2019), pendemo datang lagi dengan jumlah lebih banyak. Mereka kembali diterima Lamberth. Kali ini tak ada lagi lemparan. Demo berlangsung damai. Yang berbeda dalam demo kali ini adalah munculnya tuntutan referendum untuk Papua.
Keesokan harinya, Kamis (22/8/291), Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto serta Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian berdialog dengan sejumlah tokoh di Sorong.
Setelah menyakini Sorong akan aman, pada Sabtu 24 Agustus 2019, saya bergeser ke Manokwari. Sebagai ibu kota provinsi, kendali informasi ada di Manokwari, pengambil kebijakan juga ada di sana. Dari sana saya lebih mudah memantau kondisi Papua Barat secara keseluruhan. Demo berujung rusuh juga berawal dari Manokwari.
Ironi
Dari hasil menyerap aspirasi massa saat aksi dan diskusi dengan sejumlah sumber, terungkap bahwa kerusuhan itu merupakan akumulasi dari kekecewaan orang asli Papua yang hingga kini merasa masih dimarjinalkan.
Kecaman atas ujaran kebencian bernada rasisme kepada mahasiswa, semacam menjadi pemicu. Mereka kemudian menemukan saluran untuk mengalirkan segala amarah. ”Coba cek ke pedalaman. Nanti lihat sendiri,” kata seorang teman yang mengaku dari kelompok kiri, pendukung kemerdekaan.
Minggu, 25 Agustus 2019, saya bertolak dari Manokwari menuju Kabupaten Teluk Bintuni, salah satu kabupaten pemekaran Manokwari. Waktu tempuh perjalanan sekitar 7 jam menggunakan mobil.
Saya ingin melihat lebih dekat kabupaten yang menjadi ”dapurnya” Papua Barat itu. Di sana terdapat tambang gas terbesar di Indonesia. Juga terdapat kilang minyak yang sudah ada sejak zaman Belanda dan masih terus diolah hingga detik ini.
Mengingat jarak ke perusahaan gas terlalu jauh, saya memilih datang ke permukiman masyarakat orang asli Papua yang berada di Distrik Tembuni dan Distrik Meyado, yang berjarak 40 hingga 70 kilometer dari Bintuni, ibu kota kabupaten. Dua distrik itu berada dalam wilayah pengolahan minyak bumi. Saya menemukan ironi di sana.
Di daerah itu, tak ada sejengkal pun jalananan aspal. Mobil yang saya tumpangi melewati kubangan lumpur dengan kedalaman hingga 1,5 meter. Beberapa mobil terjebak lumpur cukup dalam sehingga harus ditarik. Belum lagi harus menyeberang sungai yang penuh risiko. Hanya mobil bergardan ganda yang mampu menaklukkan medan tersebut. Itu baru masalah infrastruktur.
Puskesmas Tembuni juga tidak terawat. Ruangan tanpa penghuni itu menjadi sarang tikus. Jangan tanya di mana petugas kesehatan.
Di pusat Distrik (setingkat kecamatan) Tembuni terdapat SMA Negeri Tembuni, satu-satunya sekolah lanjutan tingkat atas di daerah itu. Sekolah itu berdiri enam tahun silam, tetapi hingga kini masih menumpang di gedung SMP Negeri Timbuni. Jumlah murid sekolah semakin berkurang setelah diberlakukan iuran sekolah. Tak ada pendidikan gratis.
Puskesmas Tembuni juga tidak terawat. Ruangan tanpa penghuni itu menjadi sarang tikus. Jangan tanya di mana petugas kesehatan. ”Begitu sudah (memang begitu kondisinya). Dari dulu,” kata Emanuel, warga Tembuni.
Kondisi itu jelas membuat masyarakat kecewa sebab kesehatan masih menjadi barang mahal. Meski begitu, di sana saya terhibur melihat semangat anak muda asli Papua yang kendati sudah berumur, masih tetap sekolah lewat jalur reguler.
Mereka ingin meraih cita-cita, seperti menjadi dokter agar dapat merawat orang-orang pedalaman yang bahkan sejak lahir belum pernah tersentuh tangan medis. Ini cita-cita mulia.
Selain itu, ada banyak anak muda yang menjadi motor penggerak di desa. Mereka mengembangkan budidaya tanaman palawija. Pada saat persediaan sayuran di hutan semakin berkurang, budidaya menjadi salah satu solusi.
Memang budidaya masih sulit masuk ke dalam kultur orang asli Papua yang tumbuh sebagai peramu. Meski demikian, banyak warga perlahan mencobanya karena telah merasakan manfaatnya.
Salah siapa?
Hari Jumat, 31 Agustus, saya kembali ke Manokwari yang kembali tegang setelah adanya unjuk rasa yang berujung kerusuhan di Jayapura dan Deiyai, Papua. Kerusuhan itu dikhawatirkan kembali merambat ke Papua Barat.
Sama seperti di Papua Barat, tuntutan referendum juga diteriakkan di Papua. Alasan utamanya adalah masyarakat asli Papua yang terpinggirkan. Mereka ingin menentukan nasib sendiri.
Bukti ketidakhadiran negara di Papua itu pernah saya temukan saat meliput kasus gizi buruk dan campak yang merenggut nyawa sekitar 80 anak balita dan anak-anak di Kabupaten Asmat. Di beberapa pusat distrik, seperti Pulau Tiga, tidak ada dokter.
Warga yang sakit lebih banyak meminta bantuan pada pihak gereja. Tak ada pula listrik dan jaringan telekomunikasi. Padahal, kabupaten itu bersebelahan dengan sumber tambang emas terbesar di dunia yang bernama Freeport!
Beberapa aktivis kiri pendukung kemerdekaan, baik dalam aksi maupun wawancara khusus dengan Kompas, menyatakan, pemerintah pusat adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kondisi saat ini. Kebijakan pemerintah pusat tak bedanya dengan perlakuan kaum kolonial.
Kekayaan yang ada di bumi Papua tidak dikembalikan secara proporsional untuk kemajuan Papua. Buktinya, Papua dan Papua Barat masih menghuni peringkat teratas provinsi termiskin di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan Papua 27,53 persen dan Papua Barat 22,17 persen.
Penduduk asli belum disiapkan secara baik terutama aspek sumber daya manusianya. Menurut BPS, Indeks Pembangunan Manusia Papua dan Papua Barat tahun 2018 paling rendah.
Masyarakat Papua juga kian tergusur oleh penetrasi pendatang lewat program transmigrasi dan diaspora dari luar yang kini memegang banyak kendali terutama perekonomian. Pembangunan infrastruktur, seperti jalan, lebih banyak menyasar bukan ke komunitas orang asli. Atau setidaknya, lebih banyak dimanfaatkan oleh pendatang yang notabene lebih siap.
Penduduk asli belum disiapkan secara baik terutama aspek sumber daya manusianya. Menurut BPS, Indeks Pembangunan Manusia Papua dan Papua Barat tahun 2018 paling rendah. Papua 60,06 dan Papua Barat 63,73. ”Kalau model begini, mendingan kami urus diri sendiri saja,” kata Jali Halitopan, kelompok pro-kemerdekaan yang ditemui di markas mereka.
Beberapa temannya juga menyinggung tentang pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan aparat keamanan terhadap orang asli Papua yang tidak pernah diusut tuntas.
Saya kemudian berpikir, apa yang salah? Sudah ada perlakuan khusus terhadap tanah Papua lewat pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Baca juga: Dinakhodai ”Jack Sparrow” hingga ”Off Road” ke Area Pertambangan
Belum lagi penggelontoran anggaran yang menurut Kementerian Keuangan sudah mencapai Rp 105,19 triliun selama periode 2002-2018. Ada juga kekhususan lain, seperti penyiapan sumber daya manusia dan kepala daerah harus orang asli Papua. Meskipun sayangnya, belum sepenuhnya terwujud.
”Coba cek perekrutan anggota Polri/TNI dan IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), anak asli Papua yang lolos sedikit sekali. Kalau model begini, sama saja membuat Papua tidak akan maju. Bangun infrastuktur banyak-banyak, tetapi orang asli Papua tidak disiapkan. Kira-kira, infrastruktur itu nanti siapa yang kelola? Kira-kira itu untuk siapa?” kata Ketua Fraksi Otonomi Khusus DPRD Papua Barat Yan A Yoteni.
Namun, tidak adil rasanya apabila semua kesalahan itu ditimpakan kepada Jakarta. Dalam membangun Papua, ada pemerintah provinsi yang juga bertindak sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah dan pemerintah kabupaten/kota. Elite lokal tidak bisa cuci tangan begitu saja dan ramai-ramai berbalik menuding Jakarta.
Toh, dalam pengelolaan daerah, banyak elite lokal terlibat korupsi. Mereka menyalahgunakan uang yang seharusnya untuk membangun Papua. Padahal, sebagai anak Papua, mereka semestinya memiliki komitmen lebih untuk daerah mereka sendiri.
Harus merdeka?
Masalah Papua memang sangat kompleks. Kemarahan komunal akibat ujaran kebencian bernada rasial kini telah dieksploitasi menjadi sebuah kekuatan untuk memperjuangkan referendum. Isu rasial mulai kabur.
Itu ditandai dengan pengiriman 1.500 duplikat bendera bintang kejora berbahan plastik dari Sorong ke Manokwari yang berhasil digagalkan polisi pada Senin (2/9/2019). Bendera itu, menurut rencana, akan dibagikan kepada peserta aksi massa di Manokwari keesokan harinya.
”Proses hukum sekarang sudah berjalan dan sudah ada terduga pelaku ujaran kebencian yang ditetapkan sebagai tersangka. Lalu, apa lagi yang mau dituntut? Kami melihat ini sudah ada agenda lain yang tidak sesuai dengan konstitusi,” kata Kepala Polda Papua Barat Brigadir Jenderal (Pol) Herry Nahak.
Polisi menaruh curiga adanya pengaruh asing dalam aksi itu. Jika kelompok pro-kemerdekaan tetap bersikukuh memperjuangkan kemerdekaan, kondisi tidak akan mudah. Perang saudara berpotensi terjadi antara kelompok pro yang mayoritas penduduk asli Papua dengan kelompok pendatang yang kebanyakan masyarakat Nusantara. Konflik horizontal itu sempat meletup 21 Agustus lalu di Fakfak namun berhasil dipadamkan.
Baca juga: Bagaimana Liputan Investigasi ”Kompas” Soal Tekfin Ilegal
Hasil dari melihat dan berbicara langsung dengan masyarakat Papua, saya rasa pemerintah perlu mengevaluasi cara penanganan Papua. Kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan yang saat ini semakin mahal perlu mendapat perhatian. Bayangkan saja, untuk masuk ke SMA negeri di Manokwari misalnya, butuh dana paling sedikit Rp 2 juta.
Adapun biaya kuliah di Univesitas Negeri Papua saat ini naik menjadi Rp 4,2 juta per semester. Begitu pula pelayanan kesehatan yang langka di kantong-kantong penduduk asli Papua. Jika pendidikan dan kesehatan benar-benar gratis, orang Papua mungkin tidak akan semarah ini.
”Jangan lupa, bangun rumah untuk mereka. Rumah itu seperti istana. Mereka akan merasa seperti raja karena tinggal di rumah sendiri. Kalau kebutuhan dasar dipenuhi, orang Papua tidak akan teriak merdeka. Presiden Joko Widodo yang hanya karena sering datang saja membuat mereka selalu ingat, apalagi kalau sampai bangun mereka punya rumah. Mereka akan kenang selamanya dan mereka malu kalau minta merdeka,” Sius Nario Yenu (50), warga asli Papua yang tinggal di Manokwari.
Tapi itulah Papua yang perlu dimengerti. Perlu disentuh hatinya. Jangan sentuh dengan senjata.
Memandang Papua memang tidak bisa hanya dengan kacamata Jakarta. Memandang Papua harus juga dari kacamata orang Papua yang mungkin tidak familiar dengan kebanyakan orang.
Mungkin orang di luar Papua merasa itu aneh atau lucu. Tapi itulah Papua yang perlu dimengerti. Perlu disentuh hatinya. Jangan sentuh dengan senjata.
Saya meliput gelombang aksi dan kerusuhan di tanah Papua selama 20 hari. Waktu yang terlalu singkat. Saya masih ingin kembali menyelami Papua meski di dalam tubuh ini kini bersemayam malaria, yang virusnya masuk lewat tusukan nyamuk saat liputan di Asmat Januari 2018.
Suatu ketika saya berharap dapat menginjakkan kaki lagi di Merauke sambil menyanyikan lagu ”Dari Sabang Sampai Merauke”. Bernyanyi dengan keras. Sebab dari Sabang sampai Merauke, itulah Indonesia.