Terus Meningkat, Struktur Utang Luar Negeri Perlu Dijaga
Persepsi positif investor asing atas kondisi perekonomian Indonesia menjadi sebab peningkatan utang luar negeri Indonesia. Pertumbuhan utang itu tetap perlu diringi peningkatan ekspor guna menjaga struktur utang.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persepsi positif investor asing terhadap kondisi perekonomian Indonesia dinilai menjadi penyebab peningkatan utang luar negeri Indonesia. Meski begitu, pertumbuhan utang itu perlu diiringi peningkatan aktivitas ekonomi berorientasi ekspor untuk menjaga struktur utang luar negeri tetap sehat.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) yang dirilis Senin (16/9/2019), pada akhir Juli 2019 utang luar negeri RI tercatat 395,3 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 5.545 triliun. Posisi utang luar negeri ini tumbuh 10,3 persen dibandingkan dengan posisi utang pada Juli 2018.
Pertumbuhan utang dipengaruhi oleh transaksi penarikan neto dan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sehingga utang dalam rupiah tercatat lebih tinggi dalam denominasi dollar AS.
Sumber pertumbuhan utang luar negeri berasal dari utang pemerintah 197,5 miliar dollar AS dan utang swasta, termasuk BUMN, sebesar 197,8 miliar dollar AS.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko menjelaskan, peningkatan utang luar negeri pemerintah didorong oleh arus masuk modal asing di pasar surat berharga negara (SBN) domestik. Sementara utang luar negeri swasta tumbuh meningkat sejalan dengan peningkatan kebutuhan investasi korporasi.
”Peningkatan utang luar negeri swasta, terutama bersumber dari penerbitan obligasi global oleh korporasi, bukan lembaga keuangan,” ujar Onny.
Peningkatan utang luar negeri pemerintah didorong oleh arus masuk modal asing di pasar surat berharga negara (SBN) domestik.
Struktur utang luar negeri diklaim tetap sehat yang tecermin, antara lain, dari rasio utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) pada Juli 2019 sebesar 36,2 persen. Selain itu, struktur utang Indonesia tetap didominasi oleh utang luar negeri berjangka panjang dengan pangsa 87,6 persen dari total utang.
Dalam rangka menjaga struktur utang luar negeri tetap sehat, BI dan pemerintah terus meningkatkan koordinasi dalam memantau perkembangan utang luar negeri didukung dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya.
”Peran utang luar negeri akan terus dioptimalkan dalam menyokong pembiayaan pembangunan, dengan meminimalkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian,” ujar Onny.
Onny menilai, pertumbuhan utang luar negeri pemerintah meningkat sejalan dengan penilaian positif investor asing terhadap kondisi perekonomian Indonesia sehingga utang luar negeri pemerintah pada Juli 2019 tumbuh 9,7 persen dari Juli 2018. Pada periode Juni 2019, utang luar negeri pemerintah tumbuh 9,1 persen dibandingkan dengan Juni 2018.
BI pun menegaskan penggunaan utang pemerintah tetap akan diprioritaskan untuk membiayai pembangunan. Porsi terbesarnya adalah pada beberapa sektor produktif yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sementara, utang swasta dan BUMN pada Juli 2019 tumbuh 11,5 persen dibandingkan dengan Juli 2018. Pertumbuhan tahunan ini meningkat dibandingkan bulan sebelumnya, yakni Juni 2019 sebesar 11,1 persen berbanding Juni 2018.
”Utang swasta ini tumbuh sejalan dengan peningkatan kebutuhan korporasi di beberapa sektor ekonomi utama,” kata Onny.
Risiko swasta
Ekonom Institute Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengingatkan korporasi swasta dan BUMN untuk mewaspadai pertumbuhan utang luar negeri tahunan yang kerap mencapai dua digit. Risiko utang luar negeri swasta akan meningkat seiring dengan pertumbuhan utang yang sejuga makin tinggi.
”Kenaikan utang luar negeri swasta perlu dicermati karena besarnya kebutuhan untuk refinancing (pembayaran utang jatuh tempo) dan bunga, khususnya pada BUMN,” ujarnya.
Kenaikan utang luar negeri swasta perlu dicermati karena besarnya kebutuhan untuk refinancing (pembayaran utang jatuh tempo) dan bunga, khususnya pada BUMN.
Menurut Bhima, korporasi perlu mulai mengurangi ketergantungan pada pembiayaan luar negeri, melakukan lindung nilai secara berkala, mendiversifikasi sumber pembiayaan yang rendah risiko, dan mendorong kinerja sektor yang berorientasi pada penerimaan ekspor.
”Sebaiknya kondisi keuangan sektor swasta perlu dijaga agar jangan terlalu agresif ekspansi dengan menambah utang karena kondisi makro belum stabil. Ada potensi default jika swasta tidak hati-hati,” ujarnya.
Selain memenuhi prinsip kehati-hatian, lanjut Bhima, pemerintah dan swasta juga perlu mengevaluasi efektivitas utang luar negeri guna memastikan peningkatan utang sejalan dengan peningkatan aktivitas ekonomi berorientasi ekspor.