Implementasi kebijakan moratorium sawit yang telah berlangsung selama setahun ini dinilai lamban dan belum terasa dampaknya terhadap perbaikan tata kelola sawit di lapangan.
Oleh
Ichwan Susanto
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi kebijakan moratorium sawit yang telah berlangsung selama setahun ini dinilai lamban dan belum terasa dampak perbaikan tata kelola sawit di lapangan. Untuk itu, jajaran kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah yang ditunjuk presiden untuk melaksanakannya agar serius menjalankan kebijakan tersebut.
Kebijakan moratorium sawit merupakan Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Isi Inpres itu dinilai sudah amat baik karena tak hanya menunda pemberian izin perkebunan sawit, tetapi juga memberi ruang bagi evaluasi perizinannya.
Jika kebijakan itu dijalankan sungguh-sungguh, sejumlah pihak meyakini Inpres Moratorium Sawit bisa membantu pemerintah untuk merealisasikan program reforma agraria hingga pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Presiden juga diminta untuk menagih laporan pelaksanaan inpres dan mempercepat jajarannya bekerja menjalankan inpres itu.
Manajer Advokasi Yayasan Pusaka Tigor Hutapea, Selasa (17/9/2019), di Jakarta, mengatakan, Inpres Moratorium Sawit bisa ditujukan untuk penyelesaian dan pemulihan hak-hak masyarakat, buruh perkebunan, dan krisis lingkungan, termasuk kebakaran hutan dan lahan.
Dalam laporan berjudul ”Mendesak Negara Memulihkan Hak Masyarakat”, untuk mengingatkan setahun pelaksanaan Inpres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada September 2018, Yayasan Pusaka memaparkan kajian di sejumlah perkebunan sawit di Kapuas, Kalimantan Tengah, dan di Papua.
Di Papua, ada 1.161.446 juta hektar kawasan hutan dilepaskan dan mendapat izin tetapi belum diusahakan perusahaan. Ia mengatakan, lahan tersebut bisa dievaluasi oleh pemerintah dengan semangat keberpihakan kepada masyarakat adat dan komunitas lokal.
Tidak adil
Dari sejumlah temuan di Papua, Yayasan Pusaka meyakini praktik pelepasan kawasan hutan dan hak ulayat masyarakat adat penuh dengan intrik. Ia mencontohkan, pembayaran dari perusahaan kepada Suku Aifat di Papua Barat yang amat tak adil pada tahun 2014.
Dalam perjanjian itu, tanah milik marga seluas 4.657 ha hanya diganti dengan Rp 460 juta. Sebanyak Rp 400 juta untuk pemilik marga, Rp 20 juta untuk gereja, dan bantuan pendidikan Rp 40 juta. Jika dirata-rata, satu meter persegi tanah dihargai kurang dari Rp 10.
Yayasan Pusaka juga mendigitasi tujuh perusahaan perkebunan di Papua dan Kalteng yang memiliki areal di luar aturan. Batas hak guna usaha perkebunan besar bagi komoditas pangan lainnya, termasuk sawit, dalam satu provinsi maksimal 20.000 ha dan di seluruh Indonesia 100.000 ha. Di Papua dan Papua Barat, jumlah maksimum luasan HGU dua kalinya dalam satu provinsi. Ini mengacu Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 yang direvisi Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 5 Tahun 2015.
Ia mencontohkan, sebuah perusahaan sawit di Boven Digoel memiliki luas lahan 270.095 ha atau hampir tujuh kali dari batas ketentuan. Tigor berharap Inpres Moratorium Sawit bisa menyentuh hal ini dalam evaluasi perizinan.
Menanggapi laporan Yayasan Pusaka, Sekar Banjaran Aji, anggota staf advokasi hukum Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), mengatakan, Inpres No 8/2018 sangat menarik karena tak sekadar menunda pemberian izin, tetapi juga mengamanatkan evaluasi perizinan. Artinya, izin-izin yang diterbitkan di masa lalu bisa dievaluasi dan diselesaikan terkait permasalahan legalitas, konflik sosial, hingga sanksi hukum.
”Seharusnya masyarakat yang merasa ada permasalahan bisa meminta kepada pemerintah agar perusahaan perkebunan sawit dievaluasi,” ungkapnya.
Seharusnya masyarakat yang merasa ada permasalahan bisa meminta kepada pemerintah agar perusahaan perkebunan sawit dievaluasi.
Dari sisi hierarki dan alur kerja kementerian/lembaga, ia pun mengapresiasinya. Inpres ini telah mengikut sertakan Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Kementerian Dalam Negeri selain kementerian terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dan Kementerian Pertanian. Mereka dikoordinasi oleh Kementerian Koordinator Perekonomian.
Persoalannya, dari sisi administrasi dan birokrasi proses evaluasi izin, penundaan izin, dan penegakan hukum dilengkapi dengan prosedur standar operasi. Sejauh ini, dukungan kementerian kepada Kementerian Koodinator Perekonomian sebagai ketua tim kerja dinilai belum serius.
Karena itu, ia berharap pelaksanaan moratorium tidak hanya dijalankan tim kerja yang amat teknokratis dari jajaran pemerintah. ”Aturan ini sudah sangat kuat karena berada di bawah presiden. Kelemahannya, tidak mencantumkan publik memantau itu padahal yang tahu gapnya adalah masyarakat,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Sigit Hardwinarno mengatakan, pihaknya sedang menyiapkan peraturan pemerintah terkait pelaksanaan moratorium sawit. ”Kemungkinan nanti PP (peraturan pemerintah) karena peranti hukum masih kurang bagaimana menyelesaikan sawit di hutan. Ini perlu dicocokkan. PP karena menyangkut pertanian, ATR/BPN, dan Kehutanan,” ujarnya.