Masyarakat Asia masih abai dengan tidur karena tidur masih dianggap sebagai simbol kemalasan dan kurang produktif. Padahal, tidur yang cukup sesuai dengan umur penting bagi kesehatan otak, jiwa, dan raga.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·3 menit baca
SINGAPURA, KOMPAS — Masyarakat Asia masih abai dengan tidur karena tidur masih dianggap sebagai simbol kemalasan dan kurang produktif. Padahal, tidur yang cukup sesuai dengan umur penting bagi kesehatan otak, jiwa, dan raga.
Orang dewasa membutuhkan tujuh hingga sembilan jam tidur malam setiap hari. Anak dan remaja membutuhkan waktu tidur yang lebih besar dari waktu tidur orang dewasa. Namun, waktu tidur masyarakat Asia rata-rata kurang dari itu.
Ahli kesehatan tidur dari Pusat Neurosains Kognitif, Sekolah Pascasarjana Kedokteran Duke-Universitas Nasional Singapura, Michael WL Chee, dalam peluncuran inisiatif AIA #OneMoreHour di Singapura, Senin (16/9/2019), mengatakan, kurang tidur menurunkan kemampuan kognitif otak dan daya ingat. Kurang tidur juga meningkatkan risiko kecelakaan, penyakit degeneratif, dan kematian.
Di sejumlah negara maju, anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), kurang tidur mengurangi potensi pendapatan domestik bruto hingga 2-3 persen. ”Nilai kerugian di Asia diperkirakan lebih besar lagi,” katanya.
Berbagai data yang dirilis dari riset sejumlah aplikasi waktu tidur selama beberapa tahun terakhir umumnya menunjukkan data yang konsisten bahwa waktu rata-rata tidur orang Asia lebih kecil dibandingkan dengan orang Eropa.
Salah satunya yang dipublikasikan The Wallstreet Journal pada 2014 menunjukkan waktu tidur orang Tokyo, Jepang; Seoul, Korea Selatan; dan Singapura masing-masing secara berurutan adalah 5 jam 46 menit, 5 jam 55 menit, dan 6 jam 32 menit dalam sehari.
Waktu tidur itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan waktu tidur rata-rata warga London, Inggris, dan Melbourne, Australia, yang memiliki waktu tidur 7 jam 2 menit dan 7 jam 5 menit.
Situasi itu cukup mengkhawatirkan. Menurut Chee, Asia tumbuh menjadi kawasan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, demikian pula dengan kesejahteraan warganya. Namun, semua itu tidak berjalan beriringan dengan peningkatan kesehatan warganya, yang salah satunya ditunjukkan dengan kurangnya waktu tidur.
Selama ini, masyarakat masih memahami bahwa untuk sehat dan produktif bisa dilakukan dengan mengatur pola makan, aktif bergerak, dan menata gaya hidup. Padahal, selain ketiga hal itu, untuk sehat otak, jiwa, dan raga butuh tidur yang cukup. ”Tidur sama pentingnya dengan berolahraga,” kata Kepala Pemasaran AIA Group Stuart A Spencer.
Selama ini, masyarakat memahami sehat dan produktif bisa dicapai dengan mengatur pola makan, aktif bergerak, dan menata gaya hidup. Selain tiga hal itu, untuk sehat otak, jiwa, dan raga butuh tidur cukup.
Survei AIA terhadap 5.000 responden di China, Hongkong, Thailand, Malaysia, dan Singapura pada Mei-Juli 2019 pun menunjukkan rendahnya derajat kesehatan tidur masyarakat Asia.
Sebanyak 55 persen responden mengaku tidur malam kurang dari enam jam per hari dan 69 persen responden mengaku tidak puas dengan durasi tidur mereka. Selain itu, 62 persen responden khawatir dengan kondisinya yang tidak cukup tidur atau berharap tidur lebih lama.
Kualitas tidur
Namun, persoalan kesehatan tidur tak hanya tentang jumlah waktu tidur. Kualitas tidur yang ditunjukkan oleh seberapa pulas tidur seseorang atau tingkat kedalaman tidur seseorang juga menjadi persoalan. Sebanyak 30 persen responden dalam survei itu mengaku tidak puas dengan kualitas tidur mereka.
Untuk mendorong peningkatan derajat kesehatan tidur masyarakat, khususnya memperbaiki waktu tidur, perusahaan asuransi AIA meluncurkan kampanye #OneMoreHour. Tambahan satu jam tidur diyakini akan berdampak besar bagi kesehatan, produktivitas, dan kesejahteraan semua orang. ”Tambahan satu jam tidur adalah langkah kecil yang bisa dilakukan siapa saja,” kata Spencer.