Meski hidupnya susah, Asitah yang lebih sering dipanggil tetangganya dengan sebutan Ibu Kara (diambil dari nama profesinya sebagai kara-kara), tak mau mengemis.
Oleh
SYAHNAN RANGKUTI
·3 menit baca
Asitah (60), pemulung di Kota Pekanbaru, Riau, Rabu (18/9/2019), menggendong karung berisi botol bekas minuman. Ia tidak ingin menjadi pengemis, meskipun penghasilannya sangat minim. Ia tetap beraktivitas di tengah kabut asap yang berbahaya bagi kesehatan.
Perawakan perempuan tua itu kecil dan kurus. Ia berjalan terbungkuk-bungkuk menggendong beban karung goni plastik besar berisi botol plastik bekas yang dikumpulkannya satu demi satu di pinggir jalan atau di tempat sampah. Raut wajahnya masih terlihat segar, meskipun ia telah berjalan lebih dari delapan kilometer di tengah kabut asap berbahaya di Kota Pekanbaru, Rabu (18/9/2019).
Setelah beberapa saat, ibu itu berhenti di sebuah trotoar di Jalan Pattimura, Pekanbaru. Ia duduk beristirahat. Kompas yang sedang mengambil foto kondisi pencemaran udara kota karena kabut asap, berpaling ke sosok perempuan itu.
Namanya Asitah, perempuan kelahiran Pariaman, Sumatera Barat, 60 tahun lalu. Pekerjaannya sebagai kara-kara yang berarti pemulung khusus plastik bekas minuman kemasan. Ia tidak ragu untuk membongkar tempat sampah orang atau kantor dinas jawatan di Pekanbaru.
Setiap pagi ia berjalan dari rumahnya di Kawasan Kelurahan Bambu Kuning, Kecamatan Tenayan Raya, berjarak sekitar 4,5 kilometer dari pusat kota Pekanbaru. Ia mengelilingi beberapa sudut kota. Bla ditelusuri, ia berjalan sekitar 15 kilometer per hari.
Asitah memiliki empat anak laki-laki yang semuanya sudah berumah tangga. Namun, kondisi ekonomi anaknya pas-pasan. Dua anaknya berjualan sate keliling di Kota Bagan Siapi-api (Rokan Hilir) dan Duri (Bengkalis). Seorang lagi berjualan di Teratak Buluh, Kampar, dan satu lainnya bekerja sebagai buruh bangunan di Pekanbaru.
Ia tidak tinggal bersama suaminya. Beberapa tahun lalu suaminya, yang merupakan tetangga di kampung, meninggalkannya kawin dengan perempuan lain. Namun, ia tidak memikirkannya lagi.
Setelah suaminya pergi, Asitah tinggal di sebuah rumah kontrakan dengan ongkos sewa Rp 350 ribu per bulan. Untuk membiayai hidupnya, agar tidak membebani anaknya, Asitah tidak tinggal diam. Ia memilih jadi pemulung.
“Hasil kara-kara tidak banyak. Satu kilogram (plastik botol bekas) hanya Rp 2.000. Satu bulan paling bisa dikumpulkan uang Rp 600 ribu. Kalau banyak plastik dikumpulkan, bisa dapat lebih. Lumayan bisa buat membayar rumah kontrakan dan biaya listrik Rp 100 ribu sebulan. Anak saya kadang membantu mengirimkan uang, namun tidak banyak. Hanya cukup buat makan. Kadang kalau lagi sepi, kami hanya makan nasi saja,” kata Asitah sembari tersenyum.
Meski hidupnya susah, Asitah yang lebih sering dipanggil tetangganya dengan sebutan Ibu Kara (diambil dari nama profesinya sebagai kara-kara), tak mau mengemis. Ia lebih suka bekerja mengumpulkan sisa barang yang dibuang orang, daripada menengadahkan tangan di persimpangan jalan.
“Pekerjaan ini halal dan saya lebih sehat karena berjalan terus setiap hari. Seringkali ada orang yang berhenti dari mobil atau sepeda motor dan memberi saya sejumlah uang. Mungkin mereka kasihan melihat saya. Uang pemberian itu saya kumpul dan akan dikeluarkan kalau ada kebutuhan mendesak,” katanya.
Ia yakin, rejeki sudah ditentukan Yang Kuasa. Ia pun senantiasa mendoakan agar orang yang berbaik hati kepadanya, dihadiahkan rejeki yang lebih besar.
Di balik kondisi fisiknya yang tampaknya ringkih, Asitah sebenarnya perkasa. Ia memilih berjalan belasan meter dengan peluh keringat demi botol plastik kemasan yang bisa ia jual, daripada duduk diam meminta-minta. Kabut asap karhutla tak menghentikan langkahnya.