Era Baru KPK: Tersandera, Teramputasi, dan Birokratis
Dengan disetujui disahkannya revisi UU KPK, lembaga antirasuah itu berpotensi tersandera, kewenangannya tak lagi kuat, dan karakternya berubah birokratis sehingga tak akan ada bedanya dengan lembaga lain.
Persetujuan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau RUU KPK melalui Rapat Paripurna DPR pada Selasa (17/9/2019) menandai era baru pemberantasan korupsi di Indonesia. Era baru yang suram karena KPK berpotensi tersandera, kewenangannya tak lagi kuat, dan karakternya berubah birokratis sehingga tak akan ada bedanya dengan lembaga lain.
Kompas menelusuri satu per satu pasal baru dalam aturan KPK yang baru dan mendapatkan realita tersebut. Ini diperkuat pula pandangan sejumlah akademisi dan penggiat antikorupsi.
Dalam UU KPK yang bakal menggantikan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, misalnya, terdapat setidaknya delapan pasal yang bakal menyandera independensi KPK.
Delapan pasal itu adalah Pasal 1 Ayat (6), Pasal 3, Pasal 12B Ayat (1), Pasal 12B Ayat (4), Pasal 24 Ayat (2), Pasal 37B huruf b, Pasal 37E, dan Pasal 40. Pasal-pasal itu mengatur soal kelahiran Dewan Pengawas (Dewas) dan perubahan status KPK menjadi lembaga eksekutif yang diikuti perubahan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara, serta kewenangan menghentikan penyidikan suatu perkara.
Baca juga: DPR Sahkan Rancangan Undang-Undang KPK
Keberadaan Dewas yang diatur dalam Pasal 37 Bab VA diyakini bakal menyandera independensi KPK. Dalam Pasal 37B huruf b, Dewas mempunyai kewenangan memberi izin atau tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.
Penyadapan yang sebelumnya menjadi instrumen andalan KPK untuk menjerat koruptor, setelah UU KPK baru disahkan, harus didahului izin dari Dewas. Ini tertera jelas di Pasal 12B Ayat (1) .
”Bisa dibayangkan ke depan KPK akan sulit melakukan OTT (operasi tangkap tangan) karena begitu mau melakukan tindakan penegakan hukum, maka akan terkendala lewat izin. Selain menempuh birokrasi yang panjang, tidak ada jaminan Dewas akan memberikan persetujuan. Bisa juga diizinkan, tetapi izin dapat bocor duluan,” kata Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Oce Madril.
Baca juga: Belajar Memberantas Korupsi dari Hong Kong
Persoalan lainnya adalah anggota Dewas yang seluruhnya diangkat dan ditetapkan oleh presiden. Hal itu ditegaskan pada Pasal 37E.
Ahli Hukum Pidana dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, mengatakan, Dewas yang diangkat dan ditetapkan presiden bisa menyandera KPK, bahkan presiden sendiri.
”Presiden nantinya dapat dikatakan memiliki kepentingan saat KPK menyadap terduga koruptor. Bukan tidak mungkin akan muncul tuduhan bahwa yang disadap KPK itu lawan politik presiden,” ujarnya.
Selain itu, perubahan status KPK menjadi lembaga negara pun berpotensi menyandera independensi lembaga antirasuah. Perubahan status itu tertuang dalam Pasal 3 yang berbunyi KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Meski dalam pasal itu tegas disebutkan KPK dalam melaksanakan tugas independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan, status KPK yang menjadi lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif membuatnya berpotensi terkooptasi oleh penguasa, dalam hal ini eksekutif. Apalagi, status pegawai KPK ikut berubah menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Artinya, bisa saja KPK ke depan tak menyentuh korupsi yang terjadi di eksekutif, aktor-aktor yang dekat dengan eksekutif, atau bertindak semata atas perintah penguasa.
Baca juga: Baru Disahkan, Sejumlah Kelompok Bersiap Ajukan Uji Materi UU KPK
Kewenangan SP3
Pasal lain yang juga menyandera KPK terdapat pada Pasal 40 yang mengatur soal surat perintah penghentian penyidik (SP3). Dalam Pasal 40 disebutkan, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak tuntas dalam jangka waktu dua tahun.
Dengan adanya pasal itu, KPK tersandera untuk cenderung tergesa-gesa menyelesaikan kasus. Padahal, agar terang benderang dan semua pelaku korupsi bisa diadili, penanganan kasus tak bisa dibatasi dengan waktu.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, ketentuan SP3 membuat KPK bakal kesulitan mengungkap kasus-kasus besar. Dia mencontohkan, sejumlah kasus korupsi besar, seperti BLBI, Bank Century, Pelindo II, dan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el), membutuhkan waktu penyelesaian bertahun-tahun.
”Selain itu, pengalaman di lembaga-lembaga penegak hukum lain, SP3 ini kerap diperjualbelikan. Oleh sebab itu, KPK diberikan kewenangan khusus, yaitu tidak bisa mengeluarkan SP3,” katanya.
Baca juga: Ujung Jalan Penindakan KPK?
Amputasi
Tidak hanya menyandera independensi KPK, UU KPK yang baru juga mengamputasi kewenangan KPK. UU KPK ini menghapus Pasal 14 di UU sebelumnya yang mengatur kewenangan KPK mengkaji sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah.
Selain itu, KPK memiliki kewenangan untuk memberi saran perubahan kepada lembaga yang dikaji tersebut, serta KPK berkewenangan untuk melaporkan ke presiden, DPR, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) apabila usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.
Maka, dengan hilangnya pasal itu, KPK kehilangan kewenangan memonitor, memberi supervisi, dan memberikan usulan perbaikan ke lembaga negara lainnya.
Baca juga: Siapa yang Meretas Ponsel Aktivis Antikorupsi?
Padahal, sebelumnya, KPK banyak memberikan saran perbaikan ke banyak instansi pemerintah. Di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, misalnya, KPK menjalankan program koordinasi dan supervisi dengan memberikan usulan dan saran perubahan untuk tata kelola energi yang lebih baik.
Menurut Bivitri, penghilangan supervisi akan memengaruhi pendampingan ke berbagai lembaga negara. Selama ini, pegawai deputi pencegahan KPK disibukkan membuat kajian soal pencegahan dan mendorong tata kelola pemerintahan yang baik.
”Kalau tidak ada supervisi dari KPK, pelayanan publik dan lembaga negara, ya, business as usual saja. Tidak ada itikad untuk pembenahan tata kelola menjadi lebih baik,” ujar Bivitri.
Pelemahan KPK juga terlihat dari dihapusnya Pasal 19 Ayat (2) yang sebelumnya memberi payung hukum KPK untuk membentuk perwakilan di daerah provinsi. Artinya, kini KPK tidak punya kewenangan lagi untuk itu.
Padahal, korupsi juga banyak melibatkan pimpinan dan pejabat di daerah. Sepanjang 2018, misalnya, berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi terbanyak kedua. Dari total 121 tersangka, sebanyak 21 orang atau lebih dari seperlima total tersangka adalah kepala daerah. Berkaca pada realita ini, KPK seharusnya tetap diberi ruang untuk membentuk kantor perwakilan di daerah.
Birokratis
Pola kerja KPK yang selama ini luwes pun terkesan hendak ditransformasikan menjadi kaku. Ada kultur birokratis yang hendak diinternalisasikan melalui regulasi.
Selain terlihat dari ketentuan yang mengharuskan penyadapan, penggeledahan, penyitaan didahului izin dari Dewas, hal tersebut terlihat pula pada Pasal 43A Ayat (2), yaitu perekrutan atau penilaian kelayakan penyelidik diselenggarakan oleh KPK bekerja sama dengan kepolisian dan/atau kejaksaan. Prosedur serupa berlaku saat merekrut penyidik.
Padahal, sebelumnya perekrutan penyidik dan penyelidik murni dilakukan oleh KPK. Hal itu dapat mengefektifkan kerja karena tak harus berkoordinasi dengan sejumlah lembaga penegak hukum lainnya.
Unsur birokrasi paling kentara ada pada pengubahan status pegawai KPK menjadi ASN. Pasal 24 Ayat (2) menyebutkan, pegawai KPK merupakan anggota korps Profesi Pegawai ASN RI. Oleh karena itu, perekrutannya juga disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Padahal, sudah bukan rahasia, kultur kerja ASN masih sangat birokratis. Tidak luwes. Sementara dalam memberantas korupsi, dibutuhkan kecepatan, keluwesan, dan tentunya ketepatan. Jika tidak, koruptor tentu dengan mudah lari dari genggaman KPK.
Baca juga: KPK, Korupsi, dan ”Frida Kahlo”
Dengan banyaknya kelemahan dalam aturan KPK yang baru, kini para koruptor mungkin tengah berpesta pora menyaksikan lembaga antirasuah yang kian melemah.