Target Serapan Gagal, Kebijakan Pangan Nasional di Persimpangan Jalan
Perum Bulog mengakui tidak dapat mencapai target penyerapan gabah atau beras dalam negeri untuk pengadaan cadangan pemerintah pada 2019. Hal itu mengindikasikan kebijakan pangan nasional berada di persimpangan jalan.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Perum Bulog mengakui tidak dapat mencapai target penyerapan gabah atau beras dalam negeri untuk pengadaan cadangan pemerintah pada 2019. Hal itu mengindikasikan kebijakan pangan nasional berada di persimpangan jalan.
Hal itu tidak terlepas dari orientasi Bulog yang lebih mengedepankan bisnis ketimbang layanan publik. Bulog mulai berorientasi bisnis ketika kerugian membengkak dan stok menumpuk karena tidak ada wadah penyaluran.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso memgatakan, target penyerapan gabah/beras dalam negeri untuk cadangan beras pemerintah (CBP) sepanjang 2019 sebanyak 1,8 juta ton.
"Kami tidak dapat mencapai target 2019. Hingga akhir tahun, maksimal penyerapan berkisar 200.000 ton-300.000 ton," kata Budi Waseso saat ditemui di Jakarta, Jumat (20/9/2019).
Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian mencatat, realisasi penyerapan dalam negeri untuk CBP dari awal tahun hingga 19 September 2019 mencapai 1,02 juta ton beras. Angka ini setara dengan 58,75 persen dari total target serapan tahun ini.
Ketidakmampuan Bulog mencapai target penyerapan dalam negeri tahun ini bukan pertama kalinya. Pada 2018, pemerintah menargetkan Bulog menyerap 2,7 juta ton setara beras dari dalam negeri. Akan tetapi, realisasinya berkisar 1,5 juta ton.
Menurut Budi, alasan utama tidak tercapainya target itu ialah, Bulog tidak mendapatkan kepastian penyaluran sekitar Maret-Mei 2019. Hal itu disebabkan oleh peralihan penyaluran bantuan sosial (bansos) beras sejahtera (rastra) menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT).
Ketika beras itu tidak bisa disalurkan, dapat menjadi beban Bulog. Beban itu berupa tidak kembalinya dana pembiayaan serapan yang berasal dari pinjaman, karena tidak ada wadah penyaluran beras.
"Saat ini, jumlah pinjaman Bulog yang belum terselesaikan (dibayar) sebesar Rp 28 triliun. Pinjaman ini mayoritas digunakan untuk pengadaan beras," kata dia.
Saat ini, jumlah pinjaman Bulog yang belum terselesaikan (dibayar) sebesar Rp 28 triliun. Pinjaman ini mayoritas digunakan untuk pengadaan beras.
Meskipun demikian, Budi menjamin, Indonesia tak perlu impor beras untuk CBP. Stok beras Bulog saat ini sebanyak 2,5 juta ton beras. Berdasarkan standar, Bulog mesti memiliki stok 1 juta ton-1,5 juta ton beras sebagai penyangga ketahanan pangan.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin menyatakan, tidak tercapainya target pengadaan CBP dalam negeri oleh Bulog dapat berdampak pada harga beras.
"Waspadai lonjakan harga beras pada Desember 2019, serta Januari dan Februari 2020. Pemerintah harus menyiapkan stok beras untuk mengatasinya," katanya.
Tidak jelas
Bustanul juga berpendapat, kegagalan Bulog dalam memenuhi target pengadaan CBP dari domestik menandakan ketidakjelasan kebijakan pangan nasional. Ketidakjelasan itu terlihat dari perubahan orientasi Bulog secara korporasi, yaitu tidak hanya layanan publik, tapi juga bisnis.
"Dalam hal ini, reformasi dibutuhkan. Perlu ada kejelasan, pengelola ketahanan pangan, mekanismenya, penanggung jawabnya, serta kondisi dan syarat ketersediaan pangan di daerah," katanya.
Kegagalan Bulog dalam memenuhi target pengadaan CBP dari domestik menandakan ketidakjelasan kebijakan pangan nasional.
Salah satu dampak ketidakjelasan kebijakan pangan tersebut tampak dari harga beras. Fluktuasi harga di tingkat konsumen maupun produsen, dalam hal ini petani, menjadi tidak terkendali.
Sebagai solusi, Bustanul menyarankan, pemerintah membentuk Badan Pangan Nasional yang bertanggung jawab langsung pada Presiden. Operator badan ini ialah Bulog. Selain itu, wewenang badan ini juga perlu dikaji agar tidak tumpang tindih dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.