”Ukuran Sepatu Saya Lebih Besar dari Nilai Tes...”
Tindakan Wayan dan anak buahnya adalah tindakan yang menunjukkan sisi humanis polisi. Tindakan humanis itu berawal dari insting polisi melihat sepeda motor tanpa pelat nomor. Bisa jadi sepeda motor itu hasil curian.
Oleh
WISNU AJI DEWABRATA
·3 menit baca
Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Gatot Eddy Pramono (kanan) menemui anak buahnya yang viral di media sosial, Kamis (19/9/2019).Video viral seorang nenek di Cilincing, Jakarta Utara, yang menggendong jasad cucunya kemudian ditolong polisi, menjadi perhatian Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Gatot Eddy Pramono.
Kapolda memanggil para polisi dalam video itu ke ruang kerjanya di markas Polda Metro Jaya, Kamis (19/9/2019). Maka, datanglah Kepala Polsubsektor KBN Marunda Aiptu Wayan Putu dan anak buahnya, Bripka Julianus, menghadap Kapolda, didampingi Kapolsek Cilincing Komisaris Imam Tulus Budiono dan Kapolres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto.
”Ayo silakan dimakan. Coba ceritakan bagaimana kejadiannya,” kata Gatot Eddy sambil mempersilakan Wayan, Julianus, dan Imam mencicipi suguhan di atas meja besar. Ketiga anggota polisi itu tampak kikuk saat duduk semeja dengan Kapolda.
Aiptu Wayan dengan suara besar dan berat mulai menceritakan awal kejadian yang menjadi viral itu.
”Kami melihat ada orang mendorong sepeda motor tanpa pelat nomor. Kami curiga, kemudian kami tanya. Dia mengaku sedang menjemput saudaranya yang meninggal. Saya kira yang meninggal orang dewasa, ternyata bayi yang meninggal digendong neneknya,” kata Wayan.
Nenek bernama Dian Islamiati (36) itu terpaksa berjalan kaki sambil menggendong jasad cucunya karena sepeda motor yang ditumpanginya kehabisan bensin. Merasa iba, Wayan dan anak buahnya mengantar Dian ke rumahnya dengan mobil. Rumah Dian berjarak 2 kilometer dari pos polisi tempat Wayan dan anak buahnya bertugas.
Mendengar penjelasan Wayan, Kapolda tampak puas. Menurut Kapolda, tindakan Wayan dan anak buahnya adalah tindakan yang menunjukkan sisi humanis polisi. Tindakan humanis itu berawal dari insting polisi melihat sepeda motor tanpa pelat nomor. Bisa jadi sepeda motor itu hasil curian.
”Bagus ini. Ini termasuk anggota yang sensitif. Sisi humanis seperti ini yang kita perlukan. Sudah sekolah lagi? (sekolah untuk naik golongan dari bintara jadi perwira),” tanya Kapolda.
”Saya tidak lulus, Pak. Nilainya kurang. Ukuran sepatu saya lebih besar dibandingkan nilai saya,” kata Wayan, yang sudah tiga tahun bertugas di Polsubsektor KBN Marunda.
Mendengar jawaban spontan Wayan, Kapolda tersenyum. Kapolda mengatakan akan mengusulkan ke Kepala Biro SDM Polda Metro Jaya dan membuat rekomendasi ke Mabes Polri agar Wayan mendapat kesempatan lagi untuk mengikuti Sekolah Alih Golongan.
”Bekerja dengan ikhlas, jangan mengharap dapat apa. Tapi dengan bekerja ikhlas akan dapat balasan dari Tuhan. Memang tugas polisi membantu masyarakat menjadi pelayan, pelindung, pengayom. Walaupun kecil, maknanya besar,” pesan Kapolda.
Menurut Wayan, dia senang sekali dapat bertemu langsung dengan orang nomor satu di Polda Metro Jaya. Wayan sudah pernah mencoba mengikuti tes untuk Sekolah Alih Golongan pada 2017, tetapi gagal.
Bekerja dengan ikhlas, jangan mengharap dapat apa. Tapi dengan bekerja ikhlas akan dapat balasan dari Tuhan. Memang tugas polisi membantu masyarakat menjadi pelayan, pelindung, pengayom. Walaupun kecil, maknanya besar.
”Ya mungkin karena bodoh, ha-ha-ha,” ujarnya sambil tertawa saat ditanya apa yang menyebabkan dia tidak lolos.
Pengamat kepolisian Bambang Rukminto dari Institute for Security and Strategic Studies mengatakan, polisi melayani masyarakat merupakan hal yang biasa sesuai jargon polisi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.
”Dari sisi kemanusiaan hal itu sudah selayaknya dilakukan siapa saja. Apalagi, ini dilakukan oleh aparatur negara, seperti anggota polisi menyeberangkan anak sekolah di jalan, atau menyeberangkan anak sekolah di sungai karena jembatan terputus,” ungkapnya.