Ajaklah bangsa Indonesia terbang. Kalau belum bisa, ajaklah dulu berlayar. Kalau itu pun belum bisa, suruhlah menulis surat atau suruhlah bicara dari kejauhan.
Oleh
NASRU ALAM AZIZ
·3 menit baca
Ajaklah bangsa Indonesia terbang. Kalau belum bisa, ajaklah dulu berlayar. Kalau itu pun belum bisa, suruhlah menulis surat atau suruhlah bicara dari kejauhan. Pesan Menteri Perhubungan (1968-1973) Frans Seda itu menyiratkan pentingnya berkomunikasi melalui surat dan saluran jarak jauh. Dengan pijakan awal itu, bangsa ini akan berlayar jauh dan terbang tinggi.
Pesan Frans Seda sekaligus mengacu pada layanan vital perusahaan pos dan telekomunikasi (postel). Perusahaan jasa pengiriman surat dan jasa kurir milik Pemerintah Indonesia, kini dikenal sebagai Pos Indonesia, telah melampaui perjalanan panjang.
Masa-masa awal terbitnya harian ini, Pos Indonesia bernama PN Pos dan Telekomunikasi (1961-1965), Perusahaan Negara (PN) Pos dan Giro (1965-1978), kemudian Perusahaan Umum Pos dan Giro (1978-1995). Pada era sebelum kemerdekaan, Pos Indonesia dikenal sebagai Dinas PTT (Posts Telegraaf end Telefoon Diensts) pada 1906, lalu menjadi Djawatan PTT (Pos Telegraph and Telephone) pada 1945.
Berita tentang pos yang jadi perbincangan di media massa pada tahun 1960-an, antara lain, larangan bagi bus malam menerima kiriman-kiriman pos kilat, berlaku mulai 15 Juli 1968. Kompas edisi 16 Juli 1968 memberitakan kebijakan baru tersebut, dan setelahnya, surat pembaca berisi pro dan kontra mengalir ke redaksi. Mulai Agustus 1968, pengiriman pos kilat dilayani dengan kereta api, yang untuk sementara meliputi jurusan Jakarta-Surabaya lewat Semarang.
PN Pos dan Giro memiliki gerbong pos sendiri dilengkapi dengan fasilitas pengiriman pos, seperti yang ada di kantor-kantor pos, sehingga surat-surat yang masuk dapat segera disortir dan dibubuhi cap pos.
Akibat banyaknya kritik dari masyarakat terkait pelayanan pos, PN Pos dan Giro memperlonggar larangan bagi bus malam mengangkut pos kilat. Beberapa perusahaan bus diizinkan menerima titipan surat umum dengan biaya yang besarnya dihitung berdasarkan jumlah surat yang dikirim oleh perusahaan bus per bulan.
Persoalan lain yang dihadapi PN Pos dan Giro adalah banyaknya surat buntu, sebutan untuk surat yang tidak sampai ke alamat tujuan, karena pengirimnya tidak mencantumkan alamat lengkap. Di wilayah Jakarta saja, dalam sehari jumlah surat buntu bisa mencapai ratusan surat. Surat buntu mulai dapat diatasi dengan diperkenalkannya kode wilayah atau kode pos pada tahun 1983. Penggunaan kode wilayah pada surat memudahkan proses penyortiran. Harian Kompas turut menyosialisasikan kebijakan tersebut dengan memuat kode pos berdasarkan wilayah, mulai dari Jakarta Pusat.
Menghadapi terpaan badai era digital dan persaingan bisnis, Pos Indonesia tetap bertahan. Tidak lagi hanya melayani jasa pos dan kurir, Pos Indonesia dengan lebih dari 4.000 kantor pos serta sekitar 28.000 agen pos di seluruh wilayah Indonesia juga bergerak dalam bidang jasa transaksi keuangan, ritel, dan properti. Merpati pos melebarkan sayap dan terbang tinggi.
Selamat Hari Bhakti Postel Ke-74.
Sumber: Kompas, Selasa, 16 Juli 1968, halaman 1;Kompas, Selasa, 16 Juli 1968, halaman 2;Kompas, Selasa, 23 Juli 1968, halaman 3; Kompas, Jumat, 6 September 1968, halaman 1; Kompas, Sabtu, 29 Agustus 1970, halaman 6; Kompas, Minggu, 25 September 1983, halaman 1; Kompas, Selasa, 24 Januari 1984, halaman 3.