Pemerintah Menyusun Peta Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan
Identifikasi wilayah yang rawan karhutla dilakukan dengan cara memetakan kondisi eksisting terkait potensi-potensi fisik maupun nonfisik yang dapat menyebabkan kebakaran pada suatu wilayah.
Oleh
Deonisia Arlinta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Badan Informasi Geospasial bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerja sama menyusun peta rawan kebakaran hutan dan lahan. Pemetaan ini merupakan salah satu upaya penguatan dalam pencegahan kebakaran di masa mendatang.
Kepala Bidang Pemetaan Kebencanaan dan Perubahan Iklim Badan Informasi Geospasial (BIG) Ferrari Pinem saat dihubungi di Jakarta, Minggu (22/9/2019), menyebutkan, pemetaan rawan kebakaran hutan dan lahan atau karhutla dilakukan untuk mengidentifikasi faktor penyebab kerawanan karhutla. Identifikasi wilayah yang rawan karhutla dilakukan dengan cara memetakan kondisi eksisting terkait potensi-potensi fisik maupun nonfisik yang dapat menyebabkan kebakaran pada suatu wilayah.
“Pemetaan daerah rawan karhutla menjadi salah satu cara pencegahan yang bisa dilakukan. Dengan data wilayah rawan karhutla, penguatan kesiapsiagaan dalam mengantisipasi pencegahan karhutla di wilayah tersebut bisa lebih mudah dilakukan,” katanya.
Dia mengatakan, selain disebabkan oleh faktor iklim, karhutla dapat disebabkan oleh faktor manusia. Lebih dari 90 persen penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia karena faktor campur tangan manusia (antropogenik), baik disengaja maupun tidak disengaja. Motif ekonomi untuk memperoleh keuntungan merupakan penyebab utama kebakaran hutan dan lahan.
Dalam identifikasi daerah rawan karhutla, Ferrari mengatakan, pemetaan akan dilakukan dengan melihat beberapa faktor, yakni potensi fisik kebakaran seperti tutupan lahan, hotspot, ketinggian wilayah, dan cuaca. Sementara, identifikasi pada faktor nonfisik seperti perilaku masyarakat, lokasi perizinan peruntukan lahan, dan kondisi sosial budaya daerah. Faktor tersebut menjadi indikator yang penting dalam pemetaan untuk mengetahui kondisi eksisting dan pengaruhnya terhadap kerawanan karhutla.
“Saat ini BIG dan KLHK telah menyiapkan standar pemetaan dalam mengidentifikasi potensi suatu wilayah yang rawan akan karhutla. Meskipun dokumen pedoman pemetaan rawan karhutla sudah banyak dilakukan oleh pemangku kepentingan maupun instansi terkait penanggulangan karhutla, hingga saat ini belum ada pedoman standar secara nasional yang disepakati oleh semua pihak,” katanya.
Akurasi peta rawan karhutla sangat dibutuhkan untuk memudahkan operasionalisasi peta tersebut di lapangan, baik pada tahap pencegahan maupun penanggulangan karhutla. Kegiatan pencegahan yang dilakukan oleh berbagai instansi dan kelompok masyarakat harus didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, salah satunya dengan pengadaan peta rawan karhutla.
Ferrari menuturkan, implementasi standar pemetaan rawan karhutla akan dituangkan dalam bentuk program penyediaan peta-peta tematik dalam mendukung penanggulangan karhutla, penyusunan peta rawan karhutla, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM). Penyediaan peta dapat diprioritaskan untuk daerah-daerah yang sering mengalami kebakaran hutan dan lahan yang luas seperti Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Kesepakatan perjanjian kerjasama antara BIG dan KLHK terkait penyediaan standar peta rawan karhutla akan dilakukan pada akhir September 2019.
“Semakin koordinatifnya kerjasama antarkementerian ataupun lembaga terkait dalam penguatan program penanggulangan bencana karhutla berarti akan semakin efektif juga upaya pencegahan karhutla. Bencana karhutla tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja karena salah satu kunci keberhasilan dalam penanggulangannya adalah kerja sama yang masif dan koordinasi yang intensif antarsektor kepentingan,” ucapnya.
Teknologi modifikasi cuaca
Penanganan kebakaran hutan dan lahan juga masih terus dilakukan di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan operasi teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk menyemai awan dengan garam agar terjadi hujan. Operasi dilakukan setelah Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengirimkan informasi potensi awan hujan sebagai target penyemaian.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo mengatakan, operasi TMC pada Jumat (20/9/2019) berhasil menyebar 800 kilogram garam di Kalimantan Barat, 1.500 kilogram di Kalimantan Tengah, dan 2.400 kilogram di Riau sehingga bisa menurunkan hujan di beberapa wilayah di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Riau.
Dari penyemaian garam sekitar 800 kilogram di sekitar Kabupaten Landak dan Kabupaten Bengkayang, telah menghasilkan hujan di Kecamatan Sungai Betung Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Selain itu, Kota Pontianak, Kalimantan Barat pun juga diguyur hujan dengan intensitas sedang.
Sementara itu, penyemaian awan dengan 2.400 kilogram garam di wilayah Kalimatan Tengah, yakni Kabupaten Kapuas, Kabupaten Pulang Pisau, Kota Sampit, Kabupaten Gunungmas, Kabupten Barito, Kabupaten Katingan, dan Kota Palangkaraya telah menghasilkan hujan deras di Kabupaten Pulang Pisau, Bandara Tjilik Riwut, Kota Palangkaraya, serta Kota Martapura, Provinsi Kalimantan Selatan.
“Untuk wilayah Riau, penyemaian awan dengan 4.000 kilogram garam wilayah Siak, Bengkalis, Dumai, Kepulauan Meranti, Kampar, Rokan Hulu, dan Rokan Hilir telah menghasilkan turunnya hujan deras di wilayah Kelurahan Bukit Kapur, Kota Dumai dekat perbatasan Kabupaten Bengkalis,” kata Agus.