Marc Marquez telah menjelma sebagai raja MotoGP. Dia menggusur pamor Valentino Rossi yang terus meredup. Balapan di Aragon menjadi cerminan betapa kuatnya Marquez sekaligus akhir dari era Rossi.
Oleh
Yulvianus Harjono
·3 menit baca
Pada 1997 silam, seorang bocah empat tahun begitu terkesima melihat motor-motor balap grand prix yang beradu cepat di Catalunya, Spanyol. Di saat yang sama, pebalap muda dan energik bernama Valentino Rossi mendekati gelar juara dunia pertamanya, yaitu di kelas 125 CC, seusai memenangi balapan di seri Catalunya itu.
Bocah yang bernama Marc Marquez itu lantas merengek minta dibelikan motor balap ke orangtuanya. Mereka tidak bisa menolak. Marquez dibelikan motor kecil dengan alat penyeimbang yang mencegah motor jatuh terbalik. Lebih dua dekade berlalu, Marquez kecil menjelma sebagai ”raja” di kelas balap motor grand prix paling bergengsi, yaitu MotoGP.
Status itu diraihnya seusai memenangi seri Aragon, Spanyol, tanpa susah payah pada Minggu (23/9/2019) malam WIB. Bak seorang matador yang menaklukkan benteng liar, Marquez lantas melakukan tarian sambil berdiri ketika motornya menginjak garis finis di sirkuit yang hanya berjarak 200 kilometer dari rumah kelahirannya, yaitu di Cervera, Spanyol. Ia bahkan sampai mencium tanah di sirkuit itu saat merayakan kemenangannya.
Kemenangan itu menegaskan dominasi Marquez di Aragon, wilayah otonomi khusus di timur laut Spanyol. Sejak pertama kali sirkuit itu menggelar balapan grand prix pada 2010, Marquez telah memenanginya enam kali. Empat kemenangan pebalap tim Honda itu bahkan diraih secara beruntun, yaitu pada 2016 hingga 2019, di kelas MotoGP.
Tiada pebalap lain yang dapat mendekati dominasinya itu, bahkan Rossi, juara dunia MotoGP tujuh kali yang kini berusia 40 tahun. Rossi, yang membela Yamaha, belum sekali pun memenangi balapan di Aragon dalam berbagai kelas berbeda. Pebalap asal Italia itu bahkan hanya finis kedelapan pada balapan Minggu.
Berkat kemenangan di ”rumah” pada balapan ke-200 nya di grand prix, Marquez kian mendekati gelar juara dunia MotoGP keenamnya. Ia kini unggul 98 poin dari rival utamanya, Andrea Dovizioso, dari tim Ducati. Mengingat hanya tersisa lima seri balapan pada musim ini, Marquez bisa saja meraih gelar juara dunia itu pada seri berikutnya, yaitu di Thailand, 6 Oktober mendatang.
Gelar itu bisa ia raih jika kembali menang atau setidaknya bisa unggul tiga poin dari Dovizioso pada balapan itu. Marquez kebetulan punya kisah indah, yaitu menjuarai balapan di Thailand pada debut Sirkuit Buriram di MotoGP, 2018. ”Thailand bisa menjadi penentu. Tentu saja, itu (gelar juara dunia) ada di kepala saya. Ia (Dovizioso) bakal menekan di sana. Namun, saya akan mencoba lebih kuat dari balapan hari ini,” kata Marquez dikutip Crash.
Pengamat MotoGP asal Italia, Carlo Pernat, menilai Marquez sebagai seorang yang fenomenal. Ia berkata, gelar juara dunia MotoGP 2019 hanya tinggal menunggu waktu untuk diambil Marquez. Menurut dia, pebalap 26 tahun itu sangat berpeluang untuk melewati rekor dua pebalap legendaris MotoGP, yaitu Rossi dan Giacomo Agustini. Kedua pebalap Italia itu masih memegang rekor juara dunia terbanyak, yaitu masing-masing tujuh dan delapan kali.
”Marquez masih memiliki karier panjang, yaitu hingga delapan tahun yang potensial. Di sisi lain, ia kini tidak punya rival sepadan. Ia akan segera menyamai rekor Valentino dan membidik Agostini. Jika menjadi Agostini, saya akan mulai mengutukinya (Marquez),” ujar Pernat dikutip GP One.
Akhir dari Rossi
Pernat pun memprediksi, 2019 ini bakal menjadi musim terakhir bagi Rossi, pebalap yang telah 23 tahun berkarier di balap grand prix. Peluang Rossi menyalip Marquez dan menjadi juara dunia MotoGP musim ini kini praktis tertutup menyusul kegagalannya meraih podium di Aragon. Rossi kini menempati peringkat keenam di klasemen pebalap dengan terpaut 163 poin dari Marquez di puncak klasemen.
”Hal sama berlaku untuk Dovizioso yang mungkin meninggalkan MotoGP musim depan, kecuali ia bergabung dengan KTM. Begitu pula dengan Jorge Lorenzo (pebalap Honda lainnya). Saya kira ia mengalami ketakutan. Ia tidak bisa lagi membalap seperti itu. Jika masih dilanda ketakutan itu, sangat masuk akal ia meninggalkan MotoGP akhir musim ini,” ungkap Pernat kemudian.