Liput Tindakan Kekerasan Aparat, Sejumlah Jurnalis Dianiaya
Berdasarkan pemantauan Komite Keselamatan Jurnalis, aksi kekerasan terhadap jurnalis dilakukan oleh aparat kepolisian maupun massa aksi saat terjadi unjuk rasa di sekitar Gedung DPR/MPR, Rabu (25/9/2019).
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan / Nina Susilo
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komite Keselamatan jurnalis mendesak Polri mengusut tuntas sejumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tengah meliput aksi unjuk rasa di sekitar Gedung DPR/MPR, Rabu (25/9/2019). Berdasarkan pemantauan Komite Keselamatan Jurnalis, aksi kekerasan terhadap jurnalis dilakukan oleh aparat kepolisian maupun massa aksi.
Kekerasan terhadap jurnalis terjadi di Makassar dan Jakarta. Di Makassar, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar mencatat setidaknya ada tiga jurnalis yang menjadi korban kekerasan polisi saat meliput aksi penolakan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di depan Gedung DPRD Sulawesi Selatan, Selasa (24/9/2019) petang.
Tiga jurnalis yang mengalami kekerasan tersebut adalah Muhammad Darwi Fathir jurnalis (Kantor Berita ANTARA), Saiful (inikata.com) dan Ishak Pasabuan (Makassar Today).
“Darwin mengalami kekerasan fisik dikeroyok polisi, ditarik, ditendang dan dipukul menggunakan pentungan. Kekerasan juga dialami Saiful yang dipukul dan dipentung di bagian wajah oleh polisi yang marah saat melihat Saiful mengambil gambar mereka memukul mundur para demonstran dengan gas air mata dan meriam air. Sementara itu, Ishak dihantam benda tumpul di bagian kepalanya oleh Polisi dan dilarang mengambil gambar saat Polisi bentrok dengan demonstran,” ujar Juru Bicara Komite Keselamatan Jurnalis, Sasmito Madrim, Rabu (25/9), di Jakarta.
Kekerasan juga dialami sejumlah jurnalis di Jakarta ketika meliput aksi unjuk rasa di sekitaran Senayan, Jakarta. AJI Jakarta mencatat, jurnalis Kompas.com Nibras Nada Nailufar, diintimidasi saat merekam polisi melakukan kekerasan terhadap seseorang di Jakarta Convention Center, Selasa (24/9/2019) malam. Polisi juga meminta Nibras menghapus rekaman video kekerasan itu.
Di jembatan layang Slipi, polisi juga melakukan kekerasan terhadap jurnalis IDN Times Vanny El Rahman. Ia dipukul dan diminta menghapus video rekamannya yang tengah menyorot tindakan kekerasan polisi terhadap pengunjuk rasa.
Penjelasan tak dihiraukan
Penganiayaan juga dialami jurnalis Katadata, Tri Kurnia Yunianto. Ia dikeroyok, dipukul dan ditendang oleh aparat Brimob Polri meski telah menunjukkan kartu indentitas pers dan menjelaskan bahwa ia sedang melakukan liputan. Aparat rupanya tak menghiraukan penjelasan Kurnia dan justru melakukan penganiayaan.
Tak hanya itu, polisi juga merampas telepon seluler Kurnia dan menghapus video yang terakhir kali direkamnya. Video tersebut berisi rekaman polisi saat membubarkan massa dengan menembakkan gas air mata.
Selain dari pihak aparat keamanan, kekerasan juga dilakukan massa aksi terhadap jurnalis Metro TV Febrian Ahmad. Massa memukuli kaca mobil Metro TV menggunakan bambu dan melempari mobil dengan batu. Akibat kekerasan ini, seluruh kaca mobil pecah.
Menurut Sasmito, kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian maupun massa merupakan tindakan pidana sebagaimana diatur Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 40 tentang Pers. Pasal tersebut menyebutkan, setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda sebanyak Rp 500 juta.
Setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda sebanyak Rp 500 juta.
“Setiap jurnalis memiliki hak untuk mencari, menerima, mengelola, dan menyampaikan informasi sebagaimana dijamin secara tegas dalam Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya terkait peliputan yang menyangkut kepentingan umum sebagai bentuk kontrol publik. Jika aparat keamanan justru menghambat dan menghalang-halangi proses peliputan, maka kontrol publik akan sulit dilakukan,” kata Sasmito.
Menyikapi hal ini, Komite Keselamatan Jurnalis mendesak Polri untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan anggotanya dan massa aksi. Selain itu, demi terjaganya proses pengawasan terhadap hak-hak publik dan kepentingan umum, Komite juga mengimbau masyarakat agar tidak melakukan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang meliput.
“Agar keselamatan para jurnalis terjamin, perusahaan-perusahaan media wajib memberikan alat pelindung diri kepada jurnalis-jurnalis mereka sebelum melakukan peliputan yang berpotensi terjadi kericuhan. Untuk menuntaskan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis di seluruh Indonesia sepanjang aksi unjuk rasa, Dewan Pers mesti segera membentuk Satuan Petugas (Satgas) Anti Kekerasan,” tambah Ade Wahyudin, Direktur LBH Pers.
Selama aksi unjuk rasa penolakan UU KPK dan RKUHP masih berlangsung, Komite Keselamatan Jurnalis membuka Hotline Antikekerasan Jurnalis untuk jurnalis yang mengalami kekerasan di nomor 08124882231.
Tak terkendali
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Rabu (25/9), di Kompleks Istana Kepresidenan, mengatakan, anarkis dan tindakan represif dalam penanganan unjuk rasa sama sekali tidak diinginkan. Dia mengatakan, ada ambang batas kesabaran, ambang batas emosi, dan ambang batas kelelahan yang menimbulkan situasi tak terkendali.
"Meski aparat penegak hukum sudah dilatih, mentalnya sudah disiapkan, tapi ambang batas ini bisa muncul apalagi ini ada prajurit-prajurit baru dari kepolisian," tuturnya kepada wartawan.
Dia mengatakan, tak ada satu pihak pun yang menghendaki jatuhnya korban. Namun, ketika kedua pihak tidak terkontrol, represi dan jatuh korban bisa terjadi.
"Untuk itu saya juga mengimbau kepada teman-teman yang demo, ‘kan demo ini dipaksakan sampai malam, itu batas kelelahan itu muncul, jengkel muncul, marah muncul, akhirnya uncontrol. Begitu uncontrol, aparatnya juga kadang-kadang uncontrol, sama-sama lelah," tuturnya.
Moeldoko mengatakan bahwa Presiden sudah memberi instruksi bahwa penanganan untuk rasa harus proporsional dan profesional. Apalagi, pengunjuk rasa adalah mahasiswa dan warga Indonesia yang menyampaikan aspirasi.
Presiden sudah memberi instruksi bahwa penanganan untuk rasa harus proporsional dan profesional.
Dia meyakinkan evaluasi atas penanganan unjuk rasa di lapangan akan dilakukan. Adapun Kepala Polri adalah penanggung jawab penanganan unjuk rasa. "Semua punya rantai komando," ujar Moeldoko.
Dibentuk jelang pilpres
Menjelang Pemilu Presiden 2019, kasus- kasus kekerasan terhadap jurnalis mulai bermunculan di sejumlah daerah. Menghadapi tantangan ini, beberapa lembaga berkolaborasi membentuk Komite Keselamatan Jurnalis pada 5 April lalu, di Gedung Dewan Pers, Jakarta. Bidang Advokasi AJI Indonesia mencatat ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi sepanjang 2018. Peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan itu meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik.
Ketua Umum AJI Abdul Manan mengatakan, pembentukan Komite Keselamatan Jurnalis menjadi salah satu bagian tren kolaborasi kerja-kerja jurnalistik yang berkembang akhir-akhir ini. AJI dan sejumlah lembaga serta didukung International Media Support menginisiasi kolaborasi dalam penanganan kasus kekerasan pers dan Jurnalis.
Komite Keselamatan Jurnalis beranggotakan AJI, LBH Pers, Safenet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asosiasi Media Siber Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Media Independen, Amnesty International Indonesia, serta Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi.