KH Yahya Staquf Sampaikan Salam Presiden Jokowi dan Rakyat Indonesia kepada Paus
Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf bertemu dengan pemimpin Katolik Paus Fransiskus. Yahya meminta kesediaan Paus Fransiskus menjadi bagian dari pertemuan pemimpin agama sedunia.
Oleh
MOHAMMAD BAKIR DARI VATIKAN
·4 menit baca
VATIKAN, KOMPAS — Khatib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf bertemu dengan pemimpin Katolik Paus Fransiskus. Yahya meminta kesediaan Paus Fransiskus menjadi bagian dari pertemuan pemimpin agama sedunia.
”Kepada Paus, saya menyampaikan salam dari Presiden Joko Widodo dan rakyat Indonesia. Saya juga meminta Paus untuk mendoakan bangsa Indonesia,” katanya di Vatikan seusai menghadiri audiensi umum Paus Franciskus, Rabu (25/9/2019).
Selain sebagai Khatib Aam PBNU, pemimpin Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang Rembang ini juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Ia berada di Vatikan bersama Uskup Agung Mgr Agustinus Agus dan pengurus PP GP Ansor.
Staquf bertemu Pemimpin Agama Katolik ini di sela-sela audiensi umum di Basilika Saint Petrus. Ia didampingi Mgr Agus dan Sekjen DPP REI Paulus Totok Lucida.
Pada hari kedua kunjungannya ke Vatikan, Staquf juga bertemu Presiden PISAI (Institut Kepausan untuk Studi Bahasa Arab Klasik dan Islamologi atau Pontifical Institute for Arabic and Islamic Studies) dan Islamic Center di Roma yang tak jauh dari Vatikan.
Dalam pertemuan dengan Paus, Yahya meminta kesediaan Paus Fransiskus menjadi bagian dari pertemuan pemimpin agama sedunia. ”Paus sangat mengapresiasi dan mendoakan bangsa Indonesia. Paus meminta agar kami mengirim surat ke Vatikan untuk kepentingan pertemuan para pemimpin agama sedunia tersebut,” katanya.
Seorang pejabat Vatikan melihat keinginan mengundang Paus ke Indonesia itu sangat relevan. Apalagi, sejak tahun 1990-an, Paus belum pernah datang lagi ke negara yang mayoritas beragama Islam ini.
Pejabat tersebut mengharapkan Presiden Jokowi bisa melakukan kunjungan kenegaraan dalam lawatannya ke Eropa mendatang. ”Paus pasti akan memberikan perhatian khusus jika Presiden Jokowi ke sini,” katanya.
Presiden Jokowi diharapkan melakukan kunjungan kenegaraan ke Vatikan dalam lawatannya ke Eropa mendatang
Kerja sama
Seusai menghadiri audiensi umum, Yahya mengunjungi Pontifical Institute of Arabic and Islamic Studies (Pisai) untuk menjajaki kemungkinan kerja sama. Kerja sama akan kian memperkaya khasanah islam dari perspektif berbeda yang dikembangan Pisai.
”Kami mengkaji Islam dari sumber asli berbahasa arab dan dari perspektif kami sebagai orang Katolik,” ujar Diego Sarrio Cucarella, Direktur Pisai kepada Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf, di Roma, Rabu (25/9/2019) sore.
Menurut Cucarella, Pisai memiliki sekitar 40.000 buku yang sebagian besar dikenal di Indonesia sebagai kitab kuning. Di samping itu, Pisai berlangganan 900 jurnal dan 250 manuskrip tentang Islam. ”Kami membuka diri untuk bekerja sama soal kelimuan Islam. Saya sendiri pernah ke Bali untuk menghadiri undangan diskusi soal agama dan demokrasi,” ujarnya.
Menurut Cucarella, semua anggota staf di Pisai harus menguasai bahasa Arab. ”Kami sengaja mengkaji Islam dari bahasa aslinya untuk mengetahui kesamaan yang mungkin bisa dikembangkan bersama,” katanya.
Menanggapi itu, Yahya mengatakan, NU juga sedang mengkaji ulang pemikiran keagamaan yang sebagian besar hasil pemikiran abad pertengahan. Ini bertujuan agar Islam bisa tetap relevan dengan kehidupan modern. ”Kami sadar, upaya ini tidak mudah. Di dalam tubuh NU sendiri, kami masih terus berdiskusi. Tetapi, kita harus terus melangkah,” katanya.
Di perpustakaan Pisai, terdapat sebagian besar kitab yang biasa dikaji di pesantren Indonesia. ”Kalau orang luar Islam saja sebegini hebat mengkaji, kita mestinya bisa lebih maju,” kata Yahya.
Cucarella menyatakan, terbuka bagi warga NU yang ingin belajar di Pisai. ”Kami senang jika ada warga NU mau belajar di sini. Syaratnya, harus bisa bahasa arab. Untuk jurnal atau menulis karya ilmiah kita menggunakan bahasa Italia dan Inggris. Tetapi, semua mahasiswa di sini harus fasih berbahasa Arab,” katanya.
Romo Marcus Solo yang mendampingi Cacurella menambahkan, NU sudah mengembangkan apa yang dikenal dengan Islam Nusantara. Nusantara adalah sebutan lain untuk Indonesia. ”Itu Islam yang berkembang dan dikembangkan oleh umat Islam yang hidup dan ada di Nusantara. Jika kami melihat Islam dari perspektif Katolik, dan NU dari perspektif Nusantara, mungkin ada sesuatu yang bisa dikembangkan dalam kajian keilmuan ke depan,” katanya.
Yahya menambahkan, kerja sama keilmuan dengan Pisai bisa dilakukan sejauh setiap pihak menghormati hasil kajian masing-masing. ”Menarik, misalnya, adakah hasil kajian Pisai terkait soal hubungan agama dan negara dalam perpektif Islam,” katanya.
Sebagai salah satu pusat persoalan kritis, kata Yahya, hubungan agama dan negara harus terus dikaji dan tidak boleh berhenti karena peran dan fungsi negara terus berkembang begitu juga dengan agama. ”Kami di Indonesia sudah mencoba meski baru tahap awal. Mungkin, dengan Pisai kita bisa melakukannya lebih intensif,” katanya.