Penangkapan Dandhy dan Ananda Bukti Kemunduran Demokrasi
Penangkapan jurnalis Dandhy Dwi Laksono dan musisi Ananda Badudu menjadi sorotan publik. Penangkapan mereka dinilai berlebihan dan preseden buruk bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Tokoh dan sejumlah elemen masyarakat menilai penangkapan Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu membuktikan adanya kemunduran berdemokrasi di Indonesia. Gagasan kritis warga negara kepada pemerintah serta berserikat dan berkumpul tidak seharusnya ditanggapi represif dengan membawa mereka ke kantor polisi.
Aktivis yang juga wartawan, Dandhy Dwi Laksono, dibawa ke kantor Polda Metro Jaya dari rumahnya di Bekasi, Jawa Barat, Kamis jelang tengah malam. Pendiri rumah produksi Watchdoc itu disangkakan melanggar Pasal 28 Ayat (2) dan Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau Pasal 14 dan Pasal 15 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Polisi mengenakan pasal itu karena dua buah cuitannya di akun Twitter Dandhy yang bernama @Dandhy_Laksono berisi dua foto dan artikel berita daring yang menggambarkan situasi Jayapura dan Wamena, yang diunggah pada Senin, 23 September.
Foto pertama menggambarkan situasi Jayapura disertai tulisan ”Mahasiswa Papua yang eksodus dari kampus-kampus di Indonesia buka posko di Uncen. Aparat angkut mereka dari kampus ke Expo Wamena. Rusuh. Ada yang tewas.” Foto kedua menggambarkan situasi di Wamena disertai tulisan, ”Siswa SMA protes sikap rasis guru. Dihadap aparat. Kota rusuh. Banyak yang luka tembak.”
Dandhy tidak ditahan dan diperbolehkan pulang, tetapi tetap menjadi tersangka. ”Hari ini beliau dipulangkan, tidak ditahan. Kami menunggu proses selanjutnya dari kepolisian,” ujar kuasa hukum Dandhy Dwi Laksono, Alghifari Aqsa, ditemui seusai mendampingi pemeriksaan Dandhy di Kepolisian Polda Metro Jaya, Jumat (28/9/2019).
Selama pemeriksaan, Dandhy didampingi perwakilan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Kontras, Imparsial, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup, Partai Hijau Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Amnesty Internasional Indonesia, dan AMAR Lawfirm.
”Penyidik menanyakan beberapa hal terkait cuitan Twitter, motivasi, maksud, siapa yang menyuruh. Ya, standar proses verbal saya pikir. Saya penasaran, ingin tahu sebenarnya apa yang disangkakan. Substansi masalahnya, saya ingin tahu,” kata Dandhy.
Polisi juga menangkap aktivis, musisi, dan mantan wartawan, Ananda Badudu, pada Jumat dini hari. Polisi menjemput Ananda di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, pukul 04.35 WIB. Setelah diperiksa selama 5 jam, Jumat siang, Ananda dilepaskan dengan status saksi terkait penggalangan dana untuk mendukung aksi mahasiswa menolak undang-undang kontroversi.
Dihubungi Jumat (27/9/2019), rohaniwan dan Pengajar Filsafat, Franz Magnis-Suseno, mengatakan, sempat ditangkapnya Dandhy dan Ananda merupakan bentuk kemunduran demokrasi di Indonesia. ”Kebebasan berpendapat dan berserikat itu seharusnya dilindungi oleh undang-undang. Ini jelas ada kemunduran di negara demokrasi,” ujar Franz.
Ia mengatakan, penangkapan ke sejumlah pihak yang kritis tak ubahnya pemerintah Orde Baru. Negara tidak seharusnya tampil represif dengan menggunakan polisi untuk menangkap para pengkritik.
Hal senada juga diungkapkan Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Revolusi Riza. Ia menilai pasal UU ITE yang disangkakan kepada Dandhy kontraproduktif dengan konstitusi yang menjamin warga negaranya untuk mengemukakan pendapat dan berekspresi. ”Kami sangat khawatir demokrasi di Indonesia ini mundur menjadi otoriter seperti zaman orde baru,” ujar Riza.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Hapsara menilai penangkapan terhadap Dandhy dan Ananda bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan hak asasi manusia. Untuk itu, Komnas HAM berupaya mengawal proses hukum yang berlangsung bagi mahasiswa serta pihak-pihak yang berkaitan dengan aksi unjuk rasa kemarin.
”Ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan hak asasi apabila setiap orang yang menyuarakan pendapat berbeda kemudian ditangkap. Padahal, demokrasi semestinya memberi ruang yang cukup bagi perbedaan pendapat. Komnas HAM memastikan kawan-kawan kami ini mendapat layanan yang manusiawi serta akses untuk bantuan hukum,” tuturnya.
Tidak melanggar hukum
Beka menilai, baik hal yang dilakukan Dandhy Laksono maupun Ananda Badudu tidak melanggar hukum apa pun. Sebab, aksi yang mereka lakukan tidak berkaitan dengan pasal terkait provokasi ataupun ujaran kebencian.
Beka mengatakan, apa yang dilakukan Dandhy saat menyuarakan opini di media sosial Twitter terkait kondisi di Wamena, Papua, adalah bentuk penyampaian fakta yang diketahui oleh Dandhy sendiri. ”Dari publikasi di media sosial milik Dandhy, tidak ditemukan nada provokasi ataupun kata-kata yang mengajak orang untuk bermusuhan. Kami lalu mempertanyakan untuk apa sebenarnya Dandhy ditangkap?” kata Beka.
Begitupun dengan aksi Ananda, Beka menilai penggalangan dana untuk mahasiswa yang dilakukan tersebut sebagai bentuk solidaritas sesama manusia. Dana yang mengalir pun berasal dari publik yang menandakan aksi ini murni diinisiasi oleh publik.
Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan, Ananda diperiksa sebagai saksi. Namun, apabila Ananda ditetapkan sebagai tersangka, upaya hukum akan ditempuh jika itu terjadi. Pihaknya meminta polisi tidak melanjutkan proses hukum. ”Ananda memberikan klarifikasi bahwa penggalangan dana ini bagian dari partisipasi masyarakat,” ujar Usman.