Yusuf dan Randi, Duka Abadi dari Kendari
Hanya berselang sekitar 12 jam, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara, meregang nyawa. Randi (22) dan Muhammad Yusuf Kardawi (19), dua peserta demonstrasi, meninggal dunia.
Hanya berselang sekitar 12 jam, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara, meregang nyawa. Randi (22) dan Muhammad Yusuf Kardawi (19), dua peserta demonstrasi, meninggal. Dua bunga bangsa ini menambah deretan pelanggaran hak asasi manusia, sekaligus duka baru yang akan abadi dari Kota Kendari.
Selang dan berbagai peralatan medis terpasang di tubuh Yusuf. Perban coklat menutupi seluruh kepala mahasiswa semester tiga Fakultas Teknik Universitas Halu Oleo ini. Matanya tertutup. Tidak ada gerakan sama sekali dari tubuhnya.
Sulung dari lima bersaudara ini baru saja menjalani operasi di kepala akibat sejumlah luka terbuka, Kamis (26/9/2019) malam, di Rumah Sakit Bahteramas, Kendari. Petugas medis lalu membawanya ke ruang ICU rumah sakit. Ia juga mendapatkan transfusi darah sekitar 16 kantong darah.
Berjalan tergopoh, Siti Ratna (38) mendampingi keponakannya. Raut wajahnya cemas. Terlebih, ia sempat masuk melihat kondisi Yusuf sebelum dioperasi. Sedikitnya terdapat lebih dari lima luka di kepalanya.
”Ada beberapa luka besar di kepalanya. Di bagian kiri itu terbuka, ada yang keluar, tidak tahu apa. Di belakang juga ada. Mulutnya juga luka berdarah-darah. Saya tidak sanggup lihat lama-lama,” ujar Ratna. ”Kami hanya berharap semoga selamat dulu. Itu saja. Persoalan lain kita urus di belakang,” lanjutnya.
Menurut Ratna, keponakannya itu anak dengan pribadi yang baik dan aktif. Meski tidak tinggal dalam satu rumah, Yusuf sering datang berkunjung ke kediamannya.
Namun, malang tidak dapat diduga. Yusuf yang mengikuti demonstrasi menolak sejumlah aturan pemerintah ini tergolek lemah. Berselang enam jam setelah dioperasi, Yusuf tidak lagi tertolong. Ia meninggal pukul 04.05.
Masyita dari Humas Rumah Sakit Bahteramas mengatakan, setelah berusaha ditolong, korban meninggal di ruang ICU. Jenazah korban lalu dibawa pulang ke kampung halaman di Kecamatan Kabawo, Kabupaten Muna, dua jam setelahnya.
Yusuf adalah salah satu korban dari demonstrasi penolakan rancangan undang-undang bermasalah yang berujung ricuh di DPRD Sulawesi Tenggara pada Kamis siang. Demonstrasi ribuan mahasiswa dari sejumlah universitas itu berlangsung sejak siang.
Mereka mengepung gedung yang berada di pusat Kota Kendari ini, menuntut pemerintah membatalkan sejumlah aturan yang dianggap bermasalah dan tidak mendengar aspirasi masyarakat.
Baca juga : DPRD Sultra Dikepung Mahasiswa, Polisi Tembakkan Gas Air Mata
Sebagian perwakilan mahasiswa bertemu dengan perwakilan DPRD Sultra, sementara sebagian besar mahasiswa tetap berada di luar dan berorasi. Menjelang pukul 13.00, mahasiswa berusaha merangsek masuk ke kantor dan menggoyang pagar.
Aparat kemudian menembakkan air dari kendaraan meriam air yang terparkir di dalam area gedung DPRD untuk membubarkan massa. Mahasiswa membalas dengan lemparan batu, lalu kembali dibalas dengan letusan gas air mata oleh aparat yang total berjumlah 830 orang.
Asap membubung tinggi dari gas air mata, juga ban yang terbakar. Letusan senjata terus terdengar dari berbagai sisi. Konsentrasi massa terpecah di beberapa bagian.
Beberapa kendaraan di bagian belakang kantor DPRD pun terbakar. Sebuah gedung yang berada tidak jauh dari lokasi parkir kendaraan itu juga terbakar. Sejumlah mahasiswa yang terluka dilarikan ke rumah sakit. Beberapa peserta aksi juga terlihat diamankan pihak kepolisian. Aksi ricuh ini terjadi hingga jelang maghrib.
Sejumlah mahasiswa yang terluka dilarikan ke rumah sakit. Beberapa peserta aksi juga terlihat diamankan pihak kepolisian.
Dari video yang beredar, Yusuf terlihat di pintu barat Kantor Disnakertrans Sultra, sekitar 150 meter dari pintu belakang Kantor DPRD Sultra. Di situ massa dan aparat terlibat bentrok. Mahasiswa melempar batu yang dibalas dengan gas air mata.
Letusan senjata terdengar berkali-kali sebelum Yusuf terjatuh tepat di tepi Jalan Abdullah Silondae, di depan mulut pintu barat kantor tersebut. Rekan-rekannya kemudian mengangkat dan segera menyelamatkan korban.
Di lokasi kejadian, bekas darah yang mengering terlihat pada Kamis malam. Pecahan batu berceceran di mana-mana. Sejumlah orang juga menemukan selongsong peluru di sekitar tempat tersebut.
Seorang rekan korban menceritakan, Yusuf terjatuh ketika dikejar aparat yang menembak membabi buta. Seorang petugas lalu mendekati dan memukulinya ketika Yusuf terjatuh.
Peluru tajam
Tidak jauh dari tempat Yusuf terjatuh, seorang peserta aksi lain juga diangkut beberapa rekannya. Randi memegang dada kanannya dan mulai terlihat tidak sadarkan diri. Ia segera dibawa ke Rumah Sakit Dr R Ismoyo yang berada beberapa puluh meter dari tempat ia terluka sekitar pukul 15.30.
Di rumah sakit tersebut, Randi diketahui mengalami luka di dada kanan dan bawah ketiak kiri. Lima belas menit kemudian, Randi dinyatakan meninggal akibat pendarahan hebat dan tekanan udara ke dalam organ pernapasan.
Jenazah Randi lalu dibawa ke RSUD Kota Kendari untuk diotopsi. Pada Jumat dini hari, jenazah Randi dibawa ke kampung halamannya di Lakarinta, Kabupaten Muna. Sebuah video memperlihatkan ayah Randi yang heran ketika pulang melaut menemukan di rumahnya berkumpul banyak orang. Ia histeris ketika diberi tahu bahwa anaknya meninggal.
Berdasarkan hasil otopsi, dokter ahli forensik Rumah Sakit Abunawas Kendari, Raja Al Fatih Widya Iswara, yang menangani otopsi korban, menyebutkan, Randi meninggal akibat pendarahan hebat setelah terkena tembakan. Peluru mengenai bawah ketiak sebelah kiri, lalu tembus di bagian dada kanan depan.
Diameter luka di bawah ketiak kiri, ucap Raja, berukuran 0,9 sentimeter, sementara di dada kanan berdiameter 2,1 sentimeter. Luka dari peluru ini mengenai paru-paru, juga selaput jantung korban.
”Korban diotopsi sekitar pukul 11.00 hingga pukul 01.20. Tidak ada luka lain yang parah di tubuh korban, hanya luka lecet di wajah. Luka itu akibat peluru dari senjata api,” kata Raja, Jumat siang.
Peluru yang menembus tubuh Randi berasal dari peluru tajam. Hal itu dibenarkan oleh Kepala Polda Sultra Brigjen (Pol) Iriyanto di Polda Sultra.
Baca juga : Tiga Selongsong Peluru Ditemukan
Meski demikian, asal peluru tajam dan senjata api yang menembakkannya masih dalam penyelidikan. Pengumpulan bukti-bukti terus dilakukan, termasuk memeriksa sejumlah saksi dan olah tempat kejadian.
Berdasarkan aturan, lanjutnya, pihak kepolisian tidak membekali petugas dengan peluru karet, terlebih peluru tajam. Akan tetapi, pihaknya tetap akan melakukan tindakan sesuai hukum jika terbukti pelaku adalah petugas kepolisian. Hal itu juga sama pada kejadian tewasnya Yusuf Kardawi yang mengalami sejumlah luka hebat di kepala akibat dugaan benda tumpul.
”Kalau memang pelakunya anggota kami, silakan tuntaskan, silakan kawal. Saya akan menyidik dan memproses sebagaimana proses penyidikan sipil. Siapa pun pelakunya akan diproses,” ucap Iriyanto.
Anselmus AR Masiku, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Kendari, menuturkan, tindakan aparat dalam menangani aksi demonstrasi sudah jauh dari prosedur. Jatuhnya korban jiwa dengan luka tembak dan luka benda tumpul di kepala menunjukkan kekerasan adalah bagian dalam penanganan aksi yang dilakukan kepolisian.
”Kami dari Aliansi Rakyat Tolak RUU mengecam keras terjadinya kekerasan terhadap peserta aksi. Polisi membubarkan massa tidak sesuai prosedur sehingga terjadi korban jiwa. Ini sudah termasuk pelanggaran HAM,” ujar Anselmus.
Polisi membubarkan massa tidak sesuai prosedur sehingga terjadi korban jiwa. Ini sudah termasuk pelanggaran HAM.
Oleh karena itu, lanjutnya, pihaknya meminta agar ada tim pencari fakta independen untuk membuka terang semua hal terjadinya kejadian ini. Pihak kepolisian harus bertanggung jawab atas dampak penanganan massa yang menelan korban jiwa dan korban luka.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani mengungkapkan, meninggalnya Yusuf dan Randi adalah bukti terjadinya pelanggaran HAM berat dalam bentrokan demonstrasi yang dikawal polisi. Oleh karena itu, hal tersebut harus diselidiki Komnas HAM, apakah korban meninggal karena perintah sistematis atau ada pembiaran dari institusi kepolisian dengan penembakan senjata tajam, juga aksi kekerasan.
Baca juga : Tindakan Represif Aparat Keamanan Dikecam
Yusuf dan Randi yang meninggal, ujar Yani, juga menambah daftar korban kekerasan dari kultur aparat yang belum berubah di lapangan. ”Mereka bagian dari puncak gunung es, di mana kultur kekerasan aparat belum berubah. Ada praktik impunitas dan sikap permisif Polri dan institusi penegak hukum atas kultur dan praktik kekerasan yang dilakukan aparat,” lanjutnya.
Berdasarkan catatan Kontras, ratusan orang mengalami luka dalam demonstrasi pada 23-25 September. Angka itu akan bertambah panjang jika merunut hingga 20 tahun ke belakang saat reformasi dimulai.
Yusuf dan Randi adalah dua orang pertama yang meninggal akibat bentrokan dengan kepolisian di Kota Kendari. Mereka menambah panjang catatan hitam kepolisian dalam penanganan aksi. Di Kendari, nama mereka akan abadi, melekat dalam sanubari keluarga, rekan, dan orang yang mendukung perjuangan mereka.