Pemerintah menyiapkan langkah perampasan keuntungan baik bagi korporasi maupun perseorangan yang lahannya mengalami kebakaran.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
MUARO JAMBI, KOMPAS — Pemerintah menyiapkan langkah perampasan keuntungan baik bagi korporasi maupun perseorangan yang lahannya mengalami kebakaran. Pidana tambahan itu diterapkan jika ditemukan praktik mencari keuntungan di balik kebakaran.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani mengatakan, langkah merampas keuntungan akan memperkuat efek jera, selain hukuman pidana dan perdata serta sanksi administrasi.
”Ada indikasi korporasi dan masyarakat tertentu mencari keuntungan dari membuka lahan dengan cara bakar. Ini sedang kami dalami,” katanya, Minggu (29/9/2019).
Sepanjang Sabtu dan Minggu, timnya memasang garis penyidik lingkungan hidup pada sejumlah lokasi kebakaran PT Ricky Kurniawan Kertapersada (RKK) dan PT Bara Eka Prima (BEP) di Kabupaten Muaro Jambi, serta PT Kaswari Unggul (KU) di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Pada ketiga lokasi ini, kebakaran terjadi berulang dari tahun 2015.
Rasio menjelaskan, proses penegakan hukum tengah berjalan pada 62 konsesi di Sumatera dan Kalimantan. Sudah ditetapkan delapan tersangka korporasi dan satu tersangka perorangan terkait kebakaran pada Juli lalu di Kalimantan Barat.
Untuk di Jambi, pihaknya menyegel lokasi kebakaran hutan dan lahan berkonsesi PT korporasi Mega Anugerah Sawit, Alam Bukit Tigapuluh, Putra Duta Intipersada, Pesona Belantara Persada, Kaswari Unggul, Bara Eka Prima, dan Ricky Kurniawan Kertapersada.
Pada konsesi yang areal kerjanya mengalami kebakaran berulang, gugatannya tak hanya pidana, tetapi berlapis, termasuk pencabutan izin dan gugatan perdata.
Terkait kebakaran yang menghanguskan hampir 600 hektar lahan PT RKK, pihaknya pernah menggugat secara perdata dan menang di persidangan. Pada 21 Desember 2017, Mahkamah Agung menyatakan perusahaan bersalah dan harus membayar ganti rugi materiil dan biaya pemulihan ekologis sebesar Rp 191,8 miliar.
Sementara gugatan perdata pada PT Kaswari Unggul, yang luas kebakaran lahannya 129 hektar, bernilai Rp 25 miliar.
Kali ini, kebakarannya berulang dengan luas 1.200 hektar.
Estate Manager PT RKK Parmin beralasan, kebakaran yang terjadi di wilayahnya merupakan rambatan api dari wilayah timur, yakni dari konsesi PT PBP. Areal yang terbakar juga terjadi sebelumnya tahun 2015 lalu. Setelah terbakar, areal direncanakan dipulihkan lewat pembasahan gambut.
Namun, anehnya, menurut Rasio, kebakaran lahan PT RKK tahun ini malah lebih luas, yakni dua kali lipat dibandingkan 2015 lalu. ”Kali ini, kebakarannya berulang dengan luas 1.200 hektar,” ujarnya.
Terkait kebakaran hutan, Kepolisian Resor Batanghari dan Polda Jambi sebelumnya juga menangkap 18 warga terkait kebakaran hutan restorasi ekosistem Hutan Harapan. Mereka diindikasikan membakar hutan itu untuk dibuka kebun sawit.
Aparat mendapati ribuan bibit sawit siap tanam di dekat lokasi kebakaran. Menurut pengelola hutan itu, Adam Aziz, kedatangan masyarakat pendatang berlangsung terorganisasi hampir setahun terakhir.
Setelah lahan diduduki, warga menebangi pohon dan mengambil kayunya untuk membangun rumah. Setelah kemarau, lahan dibakar. ”Kami padamkan di sini, tapi besoknya muncul api di sebelahnya. Indikasi dibakar sangat kuat,” katanya.
Tahun 2015 lalu, kebakaran melanda 2,61 juta hektar hutan dan lahan, hampir setara dengan cakupan 4,5 kali Pulau Bali. Dalam dokumen yang berjudul ”The Cost of Fire: An Economic Analysis of Indonesia’s 2015 Fire Crises”, Bank Dunia menyatakan ada keuntungan di balik kerugian karhutla. Bank Dunia menemukan 85 persen arus kas yang dihasilkan dari keuntungan ekonomi ternyata dikantongi para elite lokal dan korporasi.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor Bambang Hero Sahardjo juga menemukan sejumlah motif pembakaran. Selain untuk menekan biaya pembersihan lahan, motif lain membakar lahan adalah untuk mendapatkan abu hasil bakaran yang kaya mineral. Lewat membakar lahan, dana yang bisa dihemat lebih dari 10 kali lipat.