Kisah Nyata Legenda Ikan Dewa
Prasasti Jayabupati atau Prasasti Cicatih ditemukan di tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat. Prasasti itu kini tersimpan di Museum Nasional di Jakarta.
”Di bagian sungai ini tidak boleh menangkap ikan…. Siapa saja yang melanggar akan dihukum segenap makhluk halus…. Matinya akan mengerikan”. Demikian kutipan Prasasti Jayabupati yang ditemukan di tepi Sungai Cicatih, Sukabumi, Jawa Barat. Torehan di prasasti terbuki membantu pelestarian ikan, sungai, dan lingkungannya dulu hingga kini.
Prasasti Jayabupati atau Prasasti Cicatih ditemukan di tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat. Prasasti yang kini tersimpan di Museum Nasional di Jakarta itu bertahun Saka 952 (1030 Masehi) dan dibuat Raja Sri Jayabupati Jayamanahen dari Kerajaan Sunda.
Ada dugaan, ikan yang dimaksud dalam Prasasti Jayabupati adalah ikan soro atau tor soro, yang kini populer dengan nama ikan dewa. ”Rasa ikan ini enak. Ikannya sangat langka. Pantaslah kalau menjadi makanan atau perhatian raja-raja dulu. Ikan ini sekarang Rp 1,2 juta per kilogram,” kata Ketua Paguyuban Kancera Pasundan Bogor Endang Sumitra.
Ia bersama Rachmat Iskandar dari Konsil Kota Pusaka mendatangi Instalasi Riset Plasma Nuftah Perikanan Air Tawar, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Pemuliaan Perikanan, Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, akhir Agustus. Pusat penelitian ikan air tawar ini ada di Kampung Cipelang, Cijeruk, Kabupaten Bogor.
Selain keduanya, ada Jiji Suhaiji, guru SMK Patriot Mandiri, warga Kampung Cicatih, Desa Cimanggu, Sukabumi, yang baru menyerahkan enam ikan dewa tangkapannya di Cicatih kepada Otong Zaenul Arifin, kepala instalasi riset tersebut. Otong saat itu bersama Jojo Subagya, kolega sesama peneliti ikan soro, dan Hariyono, peneliti dari Puslit LIPI Jakarta.
Rachmat mengatakan, ikan dewa terkenal sejak dulu. Beberapa daerah di Jawa Barat mengeramatkan atau melarang menangkap ikan ini. Di Bogor dan Sukabumi, ikan ini disebut ikan soro. Di Priangan, disebut ikan kancra.
”Kami belum bisa memastikan asal usul dan makna kata kancra atau soro. Namun, jalan atau gang-gang perkampungan menggunakan nama ikan kancra itu biasa. Kalau pakai nama ikan soro, belum ada. Tetapi, orang Bogor tahu, dulu di Ciliwung banyak ikan soro. Lalu ikan ’menghilang’ seiring perubahan lingkungan di hulu sungai itu. Belakangan, mulai ditemukan lagi, tetapi masih sangat jarang,” tuturnya.
Menurut dia, sebagaimana asal usul nama ikan itu yang masih gelap, begitu juga kaitan larangan menangkap ikan ini di beberapa sungai atau situ di sejumlah wilayah di Jawa Barat. Belum jelas juga apakah larangan itu kelanjutan dari larangan menangkap ikan pada masa lalu sebagaimana tertuang dalam Prasasti Jayabupati. Apalagi, di beberapa daerah di Jawa Barat, termasuk di Bogor, ada wilayah atau kampung memakai nama atau sebutan parakan dan sipatahunan.
Kata parakan ini ada kaitannya dengan pemanfaatan ikan, yakni menangkap ikan bersama-sama di sungai atau situ dengan cara membendung dan mengeringkan bagian tertentu sungai. Memarak ikan dilakukan berkala. Istilah sipatahunan, yang familiar buat orang Sunda, artinya tahunan/setahun sekali.
Jadi, lanjut Rachmat, kalau dengan bukti-bukti tertulis atau peninggalan, tidak ada yang menunjukkan parakan sipatahuan berkaitan dengan larangan menangkap ikan sembarang waktu dan sembarang tempat oleh raja-raja dulu. Namun, jika dikaitkankan secara nalar bahasa, bisa.
”Karena ada larangan, penguasa yang bijak tentunya mencari alternatif agar keputusannya dipatuhi, apalagi ini menyangkut pangan. Ini juga suatu kearifan atau peninggalan masa lalu yang baik kita renungkan,” kata Rachmat.
Panduan konservasi
Endang Sumitra, yang juga pemerhati sejarah Bogor, menambahkan, dirinya tertarik dan memelihara ikan dewa karena ada nilai historis terkait Prasasti Jayabupati. Raja Sri Jayabupati membuat maklumat larangan menangkapnya bisa jadi karena ikan ini memang lauk istimewa yang dikonsumsi kalangan atas atau ikan sangat langka.
”Lalu ada metode konservasinya dengan menjaga habitatnya. Luar biasa perlakuan terhadap ikan ini,” tuturnya.
”Lalu ada metode konservasinya dengan menjaga habitatnya. Luar biasa perlakuan terhadap ikan ini,” tuturnya.
Otong Zaenal Arifin mengatakan, di beberapa daerah, jenis ikan ini dikeramatkan, tidak boleh ditangkap. Alhasil, adanya kearifan lokal tersebut menyelamatkan ikan asli Indonesia ini dari kepunahan.
”Tor soro atau soro atau ikan dewa termasuk ikan langka. Lihat saja, ikan sebesar ini telurnya paling banyak 1.000 butir, dengan kemungkinan menetas paling banyak 80 persen. Bandingkan dengan ikan mas, misalnya, yang sekali bertelur 10.000 sampai 15.000 butir. Ikan soro perlu tiga sampai empat tahun untuk seberat satu kilogram, sedangkan ikan mas hanya perlu waktu lima sampai tujuh bulan,” kata Otong.
Panjang ikan soro betina itu sekitar 30 cm, yang oleh Jojo Subagja, peneliti tor soro kolega Otong, baru saja diurut perutnya untuk mengeluarkan telur-telur itu dan ditampung dalam mangkuk plastik. Jojo melakukan hal yang sama pada ikan jantan untuk mengeluarkan sperma dan menampung dalam mangkuk yang sama. Ini adalah proses pemijahan buatan untuk menyelamatkan telur-telur soro dan memastikan benih ikannya hidup untuk meningkatkan populasi ikan ini.
Otong dan Jojo melakukan penelitian ikan soro sejak 1998. Ada empat jenis ikan soro dan salah satunya, tor soro, sudah bisa dibudidayakan sejak 2012. Benih ikan soro dari instalasi riset ini sudah disebarkan kepada masyarakat yang berminat untuk budidaya ikan ini. Tiga jenis lagi masih dalam penelitian dan membutuhkan banyak contoh ikan dari habitat aslinya. Ini tidak mudah karena membutuhkan dorongan penuh mengingat ikan ini sangat sulit ditemukan di sungai-sungai habitat aslinya.
Di kompleks instalasi risetnya ada banyak sekali kolam, tong besar, akuarium kaca, dan berbagai sarana penunjang penelitian ikan air tawar. Salah satu kolamnya adalah rekayasa kondisi habitat ikan soro sebagaimana di alam. Kolam itu diisi air jernih langsung dari mata air yang mengalir setiap saat.
Kedalaman kolam itu tidak sama. Dari yang dangkal sehingga bebatuan dan pasir kerikil terlihat sampai yang agak dalam menghilangkan penampakan ikan dari pandangan mata. Ada ratusan ikan lumayan besar di kolam tersebut.
”Informasi dari alam, ikan ini mijahnya (bertelur) ke hulu dan airnya harus jernih. Kami modifikasi kolamnya di sini. Ada kolam yang sebagian dalam, ada yang tidak rata, dasarnya juga harus ada kerikil-kerikil. Airnya juga air baru, air seger-seger. Ini jadi mirip dengan kondisi di alam,” kata Jojo.
Menurut Jojo, ikan ini menjadi ikan keramat di beberapa daerah. Bahkan, di Batak menjadi ikan pelengkap upacara adat karena juga hidup di lokasi terkesan seram dan keramat.
Ikan ini tinggal di palung-palung atau goa-goa sungai yang dalam, di mana di tepi sungainya tumbuh pohon-pohon besar. Salah satunya pohon beringin atau pohon ara yang buah matangnya jika jatuh ke sungai menjadi makanan ikan ini juga.
Ikan ini juga unik karena berenang menuju hulu untuk memijah, mirip ikan salem. ”Karena itu, tidak mengherankan kalau ada yang mengatakan ikan soro atau ikan dewa ini java salmon. Selain rasanya enak, tekstur daging soro ini padat kenyal,” kata Hariyono.
Ikan ini juga unik karena berenang menuju hulu untuk memijah, mirip ikan salem. ”Karena itu tidak mengherankan kalau ada yang mengatakan ikan soro atau ikan dewa ini java salmon. Selain rasanya enak, tekstur daging soro ini padat kenyal,” kata Hariyono.
Selain melakukan pemijahan buatan atas ikan soro hasil pemeliharaan di kolam tersebut, Otong, Jojo, dan Hariyanto juga melakukan penelitian dan mengidentifikasi enam ikan soro berukuran 10-15 cm, hasil tangkapan Jiji Suhaiji di Sungai Cicatih. Cip mikro, yang besarnya lebih kecil daripada sebutir kacang hijau, disuntikkan Jojo ke punggung ikan. Dengan menggunakan alat pendeteksi digital, Otong memastikan data nomor ikan pada alat itu terdeteksi dengan baik. Pemasangan alat serupa juga dilakukan pada ikan soro yang lebih besar.
Hariyono kemudian memotret ikan-ikan itu dan mencabut satu keping sisik dari setiap ikan sebelum ikan dilepaskan ke kolam khusus. Sisik diambil untuk keperluan penelitian. ”Ikan soro punya sisik bagus, juga enak dimakan. Jadi, ikan ini berpotensi menjadi ikan hias ketika masih kecil dan dikonsumsi ketika besar,” katanya.
Misi bersama
Jiji, yang memelihara soro sebagai pengganti gurame di belasan kolam miliknya, memutuskan tetap mencari ikan itu di Sungai Cicatih dan membeli ikan hasil tangkapan tetangganya untuk kemudian diserahkan ke Otong dan Jojo.
”Masih ada satu jenis soro lagi yang dibutuhkan untuk penelitian, yang di kampung kami menyebutnya soro dadap. Bentuk kumisnya lebih pendek, siripnya agak bulat. Apa itu yang dimaksud Pak Otong dan Pak Jojo? Saya penasaran. Karena itu, ikan yang bisa kami tangkap dari Sungai Cicatih akan kami serahkan kepada Pak Otong,” tuturnya.
Jiji menunjukkan salah satu titik di mana ia pernah mendapat ikan soro di Sungai Cicatih yang melintas kampungnya. Di situ air sungai terlihat penuh menutup permukaan sungai. Di bawah permukaan air itu ada palung-palung sungai, yang warga setempat menyebutnya leuwi. ”Dalam leuwi ini empat meter lebih,” kata Dudin (32), warga kampung tersebut.
Lebar sungai itu sekitar 30 meter. Ada beberapa anak sungai kecil bermuara ke leuwi. Sebuah lingkungan yang asri dan lestari.
Dudin tahu soro sejak lama. Namun, seperti Jiji, Dudin baru belakangan tahu soal Prasasti Jayabupati yang ditemukan di tepi Cicatih. Ia pun berharap semoga kelestarian alam dan kebersihan sungai menjadi perhatian semua pihak, sehingga ikan-ikan asli Indonesia seperti ikan dewa ini makin banyak berbiak. Rantai ekonomi dari desa hingga kota bisa tergerak tanpa harus membiarkan sungai terus merana. Bencana pun bisa dihalau.
Dudin tahu soro sejak lama. Namun, seperti Jiji, Dudin baru belakangan tahu soal Prasasti Jayabupati yang ditemukan di tepi Cicatih. Ia pun berharap semoga kelestarian alam dan kebersihan sungai menjadi perhatian semua pihak sehingga ikan-ikan asli Indonesia seperti ikan dewa ini makin banyak berbiak. Rantai ekonomi dari desa hingga kota bisa tergerak tanpa harus membiarkan sungai terus merana. Bencana pun bisa dihalau.
Baca juga: Perintis Ular Besi di Batavia