Euforia unjuk rasa mahasiswa juga tidak hanya berhenti di dunia nyata. Di dunia maya "unjuk rasa" lebih seru lagi. Cuplikan orasi, rekaman kericuhan, potongan tuntutan, dan aneka komentar berseliweran hampir setiap menit
Oleh
Tatang Mulyana Sinaga dan Ida Setyorini
·4 menit baca
Unjuk rasa di depan Kantor DPRD Jawa Barat, Senin (30/9/2019), menjadi pengalaman perdana bagi Rahmad Kurniawan (20). Bersama ribuan mahasiswa dari belasan perguruan tinggi di Bandung, pemuda asal Surabaya, Jawa Timur, itu mendesak pemerintah dan DPR membatalkan sejumlah RUU yang dianggap kontroversial.
Berdiri di tengah massa aksi, Rahmad tidak bisa menghindar dari paparan gas air mata yang ditembakkan polisi. Matanya perih. Sebelum kerusuhan pecah, dia juga sempat dorong-dorongan dengan barikade polisi yang berjaga di depan kantor wakil rakyat tersebut. Kericuhan tak membuat mahasiswa semester I Jurusan Teknik Telekomunikasi Telkom University, Bandung, itu kapok. Menurut dia, hal itu bagian dari perjuangan agar aspirasi rakyat didengar dan direspons pemerintah dan DPR.
Sebelum ikut berunjuk rasa ia merasa resah dengan sejumlah RUU yang dinilai bermasalah. Dalam revisi UU KPK, ia berpendapat keberadaan dewan pengawas akan menghambat kerja KPK untuk berperang melawan koruptor. Keresahan itu mendorong dia ikut diskusi untuk membahas sejumlah persoalan dalam RUU KPK yang diloloskan DPR dan RUU lain, seperti Rancangan KUHP, RUU Pertanahan, dan RUU Pemasyarakatan.
Di lain hari, ia diajak beberapa senior untuk ikut unjuk rasa. ”Saya memutuskan ikut unjuk rasa karena persoalan yang saya diskusikan penting untuk disampaikan kepada pemerintah dan DPR,” ujarnya.
Sebelum berdemonstrasi, Rahmad menelepon orangtuanya untuk meminta izin turun ke jalan. Ibunya melarang karena takut unjuk rasa berakhir dengan kerusuhan. ”Saya jelaskan demonstrasi ini bukan untuk cari rusuh, melainkan menyuarakan keresahan masyarakat. Saya yakinkan kepada orangtua kalau saya akan baik-baik saja,” ujarnya.
Berbeda dengan Rahmad, Joshua dari Universitas Padjajaran, Bandung, mengaku berangkat demo ke Jakarta tanpa sepengetahuan sang ibu. Dia naik bus bersama mahasiswa lainnya yang disediakan gratis oleh BEM kampus. ”Kami 800 orang naik 14 bus. Kami ingin menyadarkan anggota DPR yang dipilih rakyat,” ujarnya.
Andre Rivardo, mahasiswa FISIP Universitas Diponegoro, Semarang, juga termasuk mahasiswa dari daerah yang berbondong-bondong datang ke DPR untuk unjuk rasa. Ini adalah pengalaman pertamanya ikut unjuk rasa di Jakarta. ”Rasanya deg-degan banget, tapi senang. Rasanya keren karena tidak menyangka kami semua bisa datang ramai-ramai dengan tujuan yang sama,” ujar Andre yang berangkat dari Semarang bersama banyak mahasiswa lain dengan bus.
Christian, mahasiswa Universitas Esa Unggul, Jakarta, juga merasakan euforia ketika ikut unjuk rasa bersama ribuan orang. Ia berangkat ke DPR naik angkot dan bus. Ketika pulang ia kebingungan karena mesti kucing-kucingan dengan aparat. ”Waktu saya dan teman-teman selesai makan, tiba-tiba dikejar (polisi). Ya saya lari dan akhirnya mengungsi di Pejompongan, he-he-he,” ujarnya geli.
Bagi Nadiyah Yahya, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, unjuk rasa bukan hal baru. Saat unjuk rasa besar di Yogyakarta, ia dipilih sebagai perwakilan jurusan di kampusnya. Dia senang berhasil mengajak teman-temannya yang berunjuk rasa sebagai bentuk kepedulian. ”Ini bukan provokasi melawan pemerintah. Kami hanya peduli bangsa ini,” ujar Nadiyah yang menjadi satu-satunya perempuan yang berorasi dan disambut baik oleh pendengarnya.
Ngeri-ngeri segar
Gelombang unjuk rasa mahasiswa di beberapa daerah sepekan terakhir memang terkesan ngeri-ngeri segar. Ngeri kalau sampai terkena gas air mata yang pedih, terkena gebukan, dan ditangkap polisi.
Namun, begitu melihat aneka poster atau spanduk yang isinya lucu-lucu, unjuk rasa jadi terlihat segar. Beberapa isi poster yang mengandung tawa, misalnya, ”Cukup Cintaku yang Kandas, KPK Jangan”, ”Daripada RKUHP Disahkan, Mending Hubungan Kita Saja”, ”Jangan Chaos, Gue Gendut Susah Lari”.
Euforia unjuk rasa mahasiswa juga tidak hanya berhenti di dunia nyata. Di dunia maya ”unjuk rasa” lebih seru lagi. Cuplikan orasi, rekaman kericuhan, potongan tuntutan, dan aneka komentar berseliweran hampir setiap menit.
Tapi di luar itu muncul juga rangkaian pesan di media sosial yang terdengar lucu. Misalnya, ada akun yang mengunggah rangkaian pesan terkait caranya berdandan di tengah unjuk rasa. Pemilik akun bercerita bahwa dia lebih memilih lipstik warna nude yang membuat bibirnya pucat pasi. Tujuannya biar DPR-nya iba. (TAM/*/**/***)