Arswendo, Hero Komik Indonesia
Di tengah labelisasi terhadap komik yang kian parah, Arswendo Atmowiloto berdiri tegak melakukan pembelaan. Pada 1979-1982, melalui tulisan-tulisannya, dia terus menerus memperkenalkan komik di Indonesia.
“Sebagai kambing hitam, komik nampak paling lezat dan halal. Siapa saja boleh menyela, dan kedengarannya sah” (Arswendo Atmowiloto, Kompas, Selasa, 14 Agustus 1979).
Pada 1960-1970, komik benar-benar dianggap sampah. Berbagai macam penelitian menyimpulkan bahwa komik kurang memberikan kemaslahatan. Di tengah segala hujatan, almarhum jurnalis Arswendo Atmowiloto atau biasa disapa Wendo berdiri tegak melakukan pembelaan. Seperti istilah dalam komik, ia ibarat hero bagi komik Indonesia.
Stigma negatif terhadap komik tak tanggung-tanggung. Dalam tulisan serialnya selama lima episode berturut-turut di harian Kompas pada 10-15Agustus 1979, Arswendo memaparkan fakta sekaligus sikapnya terkait nasib komik Indonesia.
Hasil penelitian Panitia Tahun Buku Internasional 1972 menilai bahwa cerita komik tak terarah jelas. Psikolog anak-anak Universitas Indonesia Ediastri Toto Atmodiwirjo dalam penelitiannya juga menilai komik kurang berhasil menjadi sarana informasi karena tidak mengungkapkan hal-hal baru yang menambah pengenalan anak atas lingkungan sekitarnya (Kompas, 15 Desember 1973). Demikian pula, Pustaka Jaya, pada awal berdirinya menegaskan tidak akan menerbitkan komik karena komik membuat anak malas.
Tak hanya di dalam negeri, tahun 1967 para pengamat sosial di Universitas Oxford juga membuat penyelidikan terhadap 40 buku komik terbitan Inggris. Hasilnya, disimpulkan bahwa dengan membaca komik perang, pembaca muda mempunyai prasangka klise kepada orang asing.
Stigma buruk terhadap komik ternyata sudah berlangsung lama. Tahun 1954 bahkan pernah muncul gelombang protes terhadap komik di Indonesia dan Amerika Serikat karena komik dianggap merusak pikiran anak-anak muda.
Tahun 1954 bahkan pernah muncul gelombang protes terhadap komik di Indonesia dan Amerika Serikat karena komik dianggap merusak pikiran anak-anak muda.
Menariknya, di tengah labelisasi terhadap komik kian parah, muncul Arswendo Atmowiloto yang justru menurunkan lima tulisan serial berjudul “Komik Itu Baik” di harian Kompas pada tanggal 10-15 Agustus 1979.
Arswendo menegaskan bahwa, membakar dan merazia komik bukanlah jalan pintas, tapi lebih merupakan langkah keputusasaan dan cara-cara seperti itu mustahil, tanpa hasil. “Mencela, memaki, menyampahkan memang cara mudah. Tetapi, bukan itu yang menyelesaikan masalah,” kata dia.
Arswendo mencoba membuktikan bahwa komik itu pada dasarnya baik dengan rangkaian tulisan berurutan di harian Kompas. Dia mengutip Jutta Wermke, dosen Universitas Duisburg, Jerman yang mengungkap mengapa anak-anak begitu menyenangi komik. Ternyata, kegemaran itu merupakan dampak dari penderitaan batin mereka karena ada pembatasan dari orangtua, baik aturan, larangan, atau sesuatu yang tidak sesuai. Keinginan anak-anak inilah yang menerobos ke alam khayal dan tersalurkan ke idola-idola mereka di komik yang selalu menang dan tak dikekang.
Pada edisi terakhir, Arswendo mencoba menawarkan solusi agar orangtua turut membantu menyeleksi komik dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan turut memperhatikannya dengan memberikan penghargaan tahunan kepada komikus-komikus yang berjasa membuka cakrawala lebih luas melalui komik.
Tradisi literasi komik bagi Arswendo lebih rasional dibandingkan dengan hadirnya sejenis badan sensor yang pada hakikatnya hanya melanggengkan birokrasi, lengkap dengan kriteria dan definisi yang berada di awang-awang dan tak membumi. Prinsipnya, masyarakat yang ikut menilai, baik secara langsung maupun lewat penulis resensi.
Tradisi literasi komik bagi Arswendo lebih rasional dibandingkan dengan hadirnya sejenis badan sensor yang pada hakikatnya hanya melanggengkan birokrasi.
“Sampai dengan tahun 1982, Arswendo memperkenalkan komik di Indonesia. Betapa komik-komik itu dapat dibaca dengan canggih olehnya kemudian membuka kajian-kajian selanjutnya tentang komik,” kata Rektor Institut Kesenian Jakarta Seno Gumira Ajidarma, Sabtu (28/9/2019) dalam Diskusi “Komik Itu Baik” yang merupakan rangkaian dari Festival Cergam “Komik Itu Baik” Tribute untuk Arswendo Atmowiloto di Galeri Dia.lo.gue, Jakarta yang digelar 28 September hingga 20 Oktober 2019.
Selama menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Hai, Arswendo mengundang para komikus maestro dan biasa untuk membuat komik-komik pendek di majalahnya. Karena itulah, muncul komik-komik Ganes TH, Jan MIntaraga, Wid NS, hingga Hasmi yang konon beberapa ceritanya digubah sendiri oleh Arswendo dan kemudian baru digambar oleh para komikus tersebut.
“Arswendo terus-menerus menulis. Dia mencatat hampir semua gejala komik. Arswendo menjalankan tugas dengan sangat baik sebagai intelektual publik. Saya bersyukur karena dari dialah saya terkena ‘racun’. Saya kemudian menulis komik dan membuat disertasi komik. Seluruh tulisan Arswendolah yang selama ini menjadi buku wasiat saya saat menulis,” ungkap doktor pertama di bidang komik di Indonesia ini. Pada 2005, Seno berhasil mempertahankan disertasinya tentang komik Panji Tengkorak karya Hans Djaladara.
Arswendo terus-menerus menulis. Dia mencatat hampir semua gejala komik. Arswendo menjalankan tugas dengan sangat baik sebagai intelektual publik.
Tulisan-tulisan Arswendo menginspirasi digelarnya seminar dan pameran komik yang menurut Seno baru terjadi pertama kali di Indonesia pada 1981 di Gedung Seni Sono, Yogyakarta. Penggagas acara itu tak lain adalah Seno sendiri.
Dalam seminar itu, Arswendo tampil sebagai pembicara utama didampingi beberapa pembicara pembanding, antara lain Permadi dan Ashadi Siregar. Perumus seminar ini tidak sembarangan yaitu Kuntowijoyo yang saat itu baru saja lulus (phD) dari Universitas Kolumbia. Seminar pertama komik di Indonesia tersebut menjadi sarana para komikus untuk memperjuangkan nasib, karena komik Indonesia saat itu benar-benar terpuruk.
Memberi inspirasi
Penulis skenario Salman Aristo mengungkapkan, stigma buruk terhadap komik dulu sempat membuat dirinya takut membawa dan membaca komik ke rumah. Hal yang mengejutkan, justru begitu dirinya masuk ke industri film, kisah-kisah dan pengaruh komik itu yang memperkaya wacana di benaknya.
Pengamat komik Hikmat Darmawan menambahkan, dengan segala kekayaannya selama ini, Indonesia belum masuk dalam peta komik ensikelopedia dunia. “Sampai sekarang kita mencoba memanfaatkan teknologi untuk mendapat informasi-informasi sejarah komik Indonesia yang bisa menjadi data bersama. Tahun lalu, kita sempat berpameran dalam ajang Europalia di Belgia. Itulah pertama kalinya ada komik Indonesia di Eropa,” kata dia
Cara Arswendo menyikapi kemunculan karya-karya “pencilan” seperti komik bisa jadi menjadi pembelajaran di masa kini. Di era digitalisasi, anak-anak generasi Z atau generasi berikutnya, Alfa (A) sangat menggemari gadjet dengan segala aplikasinya, dan melarang main game atau menonton youtube bukanlah solusi. Sebaliknya, memberikan mereka pemahaman literasi digital lebih memberikan kemaslahatan seperti yang dulu dilakukan Arswendo terhadap karya-karya komik.