Konsep PKN mirip dengan Pekan Olahraga Nasional yang dimulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat. Bedanya, PKN tak dikemas sebagai adu prestasi, tetapi lebih pada representasi daerah.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Setahun lalu, 5 Agustus 2018, sebanyak 65.000 orang berjajar memadati Monumen Nasional, Jalan Jenderal Sudirman, MH Thamrin, Dukuh Atas, hingga kawasan Semanggi, Jakarta. Mereka bersama-sama menari poco-poco dan memecahkan rekor The Largest Poco-poco Dance Guinness World Records.
Untuk mewujudkan tarian kolosal bersama tersebut, ribuan orang berlatih selama berbulan-bulan. Betapa dahsyatnya lagu ciptaan musisi kelahiran Ternate, Arie Sapulette, tersebut mampu menyatukan puluhan ribu orang dari berbagai latar belakang etnis dan suku.
Dalam pertunjukan massal tersebut tak ada perdebatan politik, tak ada fanatisme golongan atau kelompok, semua berbaur menjadi satu. Mereka menari bersama dan berbahagia. Inilah salah satu keunggulan kebudayaan, menyatukan dan merangkul perbedaan.
Dalam pertunjukan massal tersebut tak ada perdebatan politik, tak ada fanatisme golongan atau kelompok, semua berbaur menjadi satu.
Peristiwa di atas hanyalah salah satu contoh bagaimana kreasi-kreasi kebudayaan menjadi sarana yang sangat efektif untuk merawat kebinekaan dan kebahagiaan bersama. Di tengah masalah ekonomi, sosial, dan politik yang melanda bangsa ini, kebudayaan diharapkan bisa merajut kembali kebersamaan.
Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2019 yang mulai digelar di Istora Senayan, Jakarta, Senin, 7 Oktober, hingga 13 Oktober 2019 juga mengusung tema ”Ruang Bersama Indonesia Bahagia” yang mengacu pada stanza kedua lagu ”Indonesia Raya”, ”Marilah Kita Mendoa Indonesia Bahagia”. Kegiatan ini merupakan platform aksi bersama yang memastikan terjadinya peningkatan interaksi kreatif antarbudaya dari seluruh penjuru Indonesia.
Konsep PKN mirip dengan Pekan Olahraga Nasional yang dimulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga ke pusat. Bedanya, PKN tak dikemas sebagai adu prestasi, tetapi lebih pada representasi daerah atas kekayaan kebudayaan mereka, yang kemudian berinteraksi dalam satu kesatuan Indonesia.
”Sejauh ini, rasa kebersamaan di antara kelompok-kelompok PKN tinggi. Semua ingin sama-sama sukses dan mereka menyadari betul bahwa mereka satu per satu adalah bagian dari yang lebih besar. Kesadaran ini sulit ditemukan di dunia politik yang individualis, berpusat pada setiap individu dan pihak, serta keras pada pendirian dan pendapat. Begitu masuk di kebudayaan, mereka cair dan ada semangat kebersamaan luar biasa,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, pertengahan bulan lalu, di Jakarta.
Dalam kebudayaan, siapa pun cair. Di situ muncul semangat kebersamaan yang luar biasa dan kebahagiaan bersama. Poin penting inilah yang hendak diraih bersama-sama dalam PKN 2019. Karena itulah, promosi PKN di media sosial mengusung tagar #IndonesiaBahagia.
Dalam kebudayaan, siapa pun cair. Di situ muncul semangat kebersamaan yang luar biasa serta kebahagiaan bersama.
Pekan lalu, tercatat sudah 80.000-an pendaftar yang ingin berkunjung ke PKN 2019. Ditjen Kebudayaan Kemdikbud menargetkan lebih dari 105.000 pengunjung akan datang menyaksikan perhelatan akbar ini.
PKN 2019 menampilkan lima aktivitas utama. Empat di antaranya akan digelar di Istora Senayan, yaitu pertunjukan seni daerah, kompetisi permainan rakyat, konferensi, dan pameran kebudayaan. Satu aktivitas lagi, yaitu pawai bertajuk ”Parade Digdaya Nusantara”, akan digelar dari Gedung MPR/DPR/DPD menuju Jalan Asia Afrika, Senayan, dan Kemdikbud dengan peserta 10.000 orang, 200 penari Indonesia Permai, serta pertunjukan Suara Anak Bangsa dan Rampak Nusantara dari 640 peserta Gerakan Seniman Masuk Sekolah.
Menurut Denny Malik, Direktur Artistik Pawai PKN 2019, dalam Parade Digdaya Nusantara, setiap kelompok dengan jumlah 50-100 penampil akan tampil dengan keunikan daerah masing-masing diiringi musik-musik tradisi yang dimainkan secara langsung.
Selain Parade Digdaya Nusantara, masyarakat juga bisa menyaksikan aneka macam pameran di Istora Senayan, mulai dari kiprah kementerian/lembaga dalam hal pemajuan kebudayaan, wastra Nusantara, warisan budaya tak benda, warisan dunia, kultur perkayuan, capaian pemajuan kebudayaan, seni rupa, desain percontohan pemajuan kebudayaan, hingga wayang daun.
Tersedia pula aneka macam konferensi yang membedah berbagai macam isu, mulai dari pengetahuan tradisional, florikultura, ekonomi budaya, asal-usul DNA, ekologi, etnoastronomi, etnobotani, hingga ketahanan pangan.
Gerakan dari bawah
Keinginan merawat kebinekaan melalui kegiatan-kegiatan kebudayaan banyak bermunculan juga di daerah. Di Ngawi, Jawa Timur, misalnya, lembaga swadaya masyarakat Kraton Ngiyom yang dibimbing seniman Bramantyo Prijosusilo sejak 2014 konsisten menggelar seni kejadian berdampak Upacara Kebo Ketan untuk menggugah kesadaran publik melestarikan hutan, membangkitkan kesenian rakyat, sekaligus merawat kebinekaan.
Keinginan merawat kebinekaan melalui kegiatan-kegiatan kebudayaan banyak bermunculan juga di daerah.
Awalnya, upacara ini digelar menyikapi kerusakan parah kawasan Resor Pemangkuan Hutan Begal, Kabupaten Ngawi. Begitu reformasi meletus pada 1998-1999, ratusan hektar Hutan Begal dijarah massa sehingga sekarang sebagian hutan tersebut gundul.
Dengan menghidupkan kembali mitos-mitos di sekitar masyarakat Desa Sekar Putih, Bramantyo mengajak publik kembali peduli terhadap gerakan pelestarian hutan. Selain itu, upacara ini juga menjadi wahana serbuk silang yang menyatukan kreativitas seni rakyat dari sejumlah daerah. Ratusan seniman dan ribuan warga dari sejumlah daerah terlibat memeriahkan kegiatan seni tahunan ini.
Saat seni kejadian berdampak pertama digelar pada 2014, Sendang Marga dan Sendang Ngiyom langsung ditetapkan sebagai hutan konservasi. Setelah dibersihkan dan hutannya dijaga, debit air Sendang Marga mencapai 20 liter per detik. Sementara Sendang Ngiyom debitnya sekitar 10 liter per detik.
”Sekarang, kawasan Sendang Margo sudah bertambah asri dengan pohon-pohon buah yang mulai produktif, yang selama kemarau disirami dan pada musim hujan disiangi sukarelawan Keraton Ngiyom,” kata Emban Keraton Ngiyom, Godeliva D Sari.
Masih banyak kegiatan kebudayaan lain yang terbukti efektif mampu menggalang kebersamaan dan merawat kebinekaan. Semoga, PKN 2019 menjadi awal tumbuhnya semangat-semangat positif dari daerah untuk kembali berbudaya, berbineka, dan berbahagia bersama.