Ribuan Penderita Skizofrenia Terpasung
Hampir setengah juta penduduk Indonesia menderita skizofrenia. Penanganan tak tepat membuat potensi usia produktif mereka kurang termanfaatkan.
Hampir setengah juta penduduk Indonesia menderita skizofrenia. Penanganan tak tepat membuat potensi usia produktif mereka kurang termanfaatkan.
CIANJUR, KOMPAS — Kuatnya stigma gila membuat sebagian besar penderita skizofrenia tak mendapat perawatan memadai. Selain hidup menggelandang, ribuan penderita juga dipasung. Akibatnya, potensi mereka tak termanfaatkan dan mereka terancam tertinggal dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebutkan, 7 dari 1.000 rumah tangga Indonesia memiliki penderita skizofrenia. Jika ada 69 juta rumah tangga, berarti ada 480.000 penderita skizofrenia. Tak ada angka pasti penderita skizofrenia yang menggelandang atau dipasung. Kementerian Kesehatan mencatat, 57.000 orang dipasung (2014), tetapi sumber lain menyebut 18.800 orang. Penyandang disabilitas telantar, termasuk penderita skizofrenia, 1,8 juta orang (2014).
Sebagian penderita skizofrenia menggelandang sebagaimana terlihat di jalanan Sindangbarang, Cianjur, Jawa Barat, pekan lalu, pukul 22.30. Toko-toko tutup, hanya sebagian kecil pedagang makanan yang masih buka. Di emperan salah satu toko, seorang berambut gimbal dengan baju lusuh duduk di atas bangku. Sesekali, tangannya memberi kode meminta rokok kepada pengunjung warung makan di kanan kirinya.
Saat Kompas bertanya kepadanya dalam bahasa Sunda, ia bingung. Ketika ditanya menggunakan bahasa Indonesia, ia pun menjawab dengan lancar. ”Namanya, nama. Rumahnya, jalan-jalan aja terus,” jawabnya saat ditanya nama dan rumahnya. Saat ditanya apakah sudah makan, ia menjawab, ”Buat apa menanyakan makan?”
Setelah itu, pria tersebut memilih pergi dan duduk di trotoar. Dia diduga sebagai penderita skizofrenia yang menggelandang di jalanan. Dari jawabannya, diduga ia memiliki waham kejar yang merasa dikejar-kejar dan diikuti orang lain atau waham (keyakinan tak nyata) curiga, yakni keyakinan ada orang lain akan mencederainya.
Menurut Alok (39), pedagang nasi goreng, pria itu sudah ada di tempat tersebut beberapa bulan terakhir. Ia tidak mengganggu pengunjung, tetapi sering kali minta rokok. Saat diberi makan, ia sering kali membuangnya di jalanan. Diduga, ia dibuang oleh pihak tertentu dari daerah lain.
Keberadaan penderita skizofrenia yang menggelandang juga dijumpai di dekat Alun-alun Sukanagara, Cianjur, pada Kamis (3/10/2019) dan Cipayung, Bogor, Jumat (4/10).
Pemasungan
Selain menggelandang, beberapa penderita skizofrenia juga mengalami pemasungan. Salah satunya dialami Elis (38), warga Desa Wargasari, Kadupandak, Cianjur. Sebulan terakhir, ia diletakkan dalam kurungan dari bambu dan kayu berukuran 1,5 m x 1,5 m x 1,5 meter yang diletakkan di samping rumah, di dekat kandang kambing.
”Mungkin itu cara terbaik, yang penting saya selalu membersihkan tempatnya dan memandikannya,” kata ibu Elis, Euis. Elis dipasung karena dikhawatirkan merusak properti dan menyerang warga. Kepala dan kaki Euis pun pernah dipukul Elis. Namun, Euis tetap merawat anaknya sehingga baju yang dipakai Elis terlihat bersih dan tak tercium bau menyengat yang sering dijumpai pada mereka yang lama dipasung.
Mungkin itu cara terbaik, yang penting saya selalu membersihkan tempatnya dan memandikannya.
Selain menggelandang dan dipasung, sebagian penderita skizofrenia kini juga menjalani perawatan dan rehabilitasi di rumah sakit jiwa atau lembaga-lembaga swasta yang dibangun masyarakat. Lembaga rehabilitasi swasta itu memakai pendekatan yang beragam, baik medis maupun nonmedis.
Sejak menjalani rehabilitasi di Istana Komunitas Sehat Jiwa (KSJ), Cipanas, Cianjur, awal 2019, hingga kini Mahendra rutin minum obat. Kondisinya membaik dengan cepat meski ia datang ke tempat itu dalam kondisi tubuh telanjang, dililit tali tambang, dan diantar polisi karena menyerang warga. Mahendra memiliki delusi diintai militer dan diancam akan dibunuh. Dengan obat, delusinya bisa dikendalikan.
Namun, lembaga rehabilitasi berbasis pendekatan nonmedis lebih mudah dijumpai, seperti Yayasan Bina Lestari Mandiri (BLM), Brebes, Jawa Tengah, dan Yayasan Penuh Warna ”Griya Cinta Kasih” (PW-GCK), Jombang, Jawa Timur.
”Kami menyembuhkan pasien dengan didoakan dan diberi air yang didoakan. Obat-obatan medis tidak diberikan karena kami tidak memilikinya dan tidak punya pengetahuan medis,” kata pengurus Yayasan BLM, Soleh Musyadad.
Sementara itu, Ketua Yayasan PW-GCK Jami’in menilai bagian yang sakit dari penderita skizofrenia adalah jiwanya, bukan fisiknya. Karena itu, pendekatan yang mereka gunakan adalah pendekatan psikologis. ”Kami tidak menganggap mereka sakit sehingga tak harus dikucilkan atau terus minum obat,” katanya.
Persoalan medis
Skizofrenia adalah penyakit medis, sama seperti penyakit fisik lain. Namun, bukan hanya faktor biologi yang memicu penyakit ini, melainkan juga persoalan psikologis dan sosial.
Secara biologi, psikiater di Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi Bogor, Jabar, yang juga pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Lahargo Kembaren, menyatakan, kadar senyawa kimia dopamin pada penderita skizofrenia berlebihan. Sebaliknya, jika kadar dopamin otak rendah, berisiko menderita parkinson. ”Kelebihan dopamin memicu gangguan pikiran, perasaan, dan perilaku,” katanya.
Dengan minum obat teratur selama beberapa waktu, kondisi penderita skizofrenia bisa pulih. Kondisi itu ditandai dengan tidak munculnya sejumlah gejala skizofrenia, seperti delusi, waham, dan gangguan perilaku serta penderita bisa produktif. Setelah pulih, penderita harus minum obat seumur hidup.
Namun, karena skizofrenia merupakan masalah biopsikososial, pengobatan medis saja tak cukup. Persoalan psikologi dan sosial yang bisa memengaruhi kondisi kejiwaan penderita juga harus diperhatikan dan diwaspadai.
Kurangnya pemahaman medis itu, tambah pendiri Yayasan Istana KSJ, Nurhamid Karnaatmaja, membuat anggapan skizofrenia sebagai penyakit kutukan, guna-guna, atau hal magis lain masih kuat. Akibatnya, penanganan nonmedis masih banyak jadi pilihan masyarakat.
Stigma penderita skizofrenia sebagai ”orang gila” pun masih kuat. Stigma itu tak hanya berlaku di masyarakat awam, tetapi juga pengambil kebijakan dan sebagian tenaga kesehatan.
Persoalan lain dalam penanganan skizofrenia di Indonesia, termasuk pemasungan, menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan Fidiansyah adalah terbatasnya akses layanan kesehatan jiwa dan tenaga ahli yang terbatas.
Hingga kini, belum semua provinsi memiliki rumah sakit jiwa. Keberadaan psikiater dan psikolog klinis juga masih terkonsentrasi di kota-kota besar. Layanan kesehatan jiwa di puskesmas sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan masyarakat pun belum merata.
Di sisi lain, belum semua pemerintah daerah peduli dengan penderita skizofrenia. ”Pemerintah daerah hingga kini belum didukung sumber daya dan dana yang memadai,” kata Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial, Kementerian Soial, Edi Suharto.
Karena itu, menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2019, penderita skizofrenia perlu mendapat perhatian lebih. Potensi mereka bermakna penting dalam mencapai bonus demografi dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. (FAJAR RAMADHAN/KRISTI UTAMI/IQBAL BASYARI/ANGGER PUTRANTO/DEONISIA ARLINTA/SONYA HELLEN SINOMBOR)