Hasil analisa Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menunjukkan sekitar 206.800 hektar hutan di wilayah Merauke, Papua dikeluarkan dari area perlindungan hutan alam primer dan gambut.
Oleh
Ichwan Susanto
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Hasil analisa Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menunjukkan sekitar 206.800 hektar hutan di wilayah Merauke, Papua dikeluarkan dari area perlindungan hutan alam primer dan gambut. Wilayah itu sebelumnya merupakan konsesi PT Merauke Rayon Jaya atau MRJ yang sejak tahun 2013 telah direkomendasikan pemerintah daerah setempat untuk dicabut izin kehutanannya.
Pemerintah diminta konsisten menjalankan kebijakan penghentian izin di hutan alam primer dan gambut serta tidak memakai celah kelemahan dalam penyusunan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB-permanen) untuk mengeluarkan wilayah dilindungi. Yayasan Pusaka menduga areal itu dikeluarkan dari wilayah dilindungi terkait perluasan atau permohonan izin baru pada konsesi-konsesi sekitarnya.
“Kami mencoba mengecek dan mencari tabel keterangan revisi tapi belum ada. Kami curiga kenapa KLHK memasukkan kembali izin yang sudah sangat lama tidak aktif,” kata Franky YL Samperante, Direktur Pelaksana Yayasan Pusaka, Senin (7/10/2019), di Jakarta.
Kami mencoba mengecek dan mencari tabel keterangan revisi tapi belum ada. Kami curiga kenapa KLHK memasukkan kembali izin yang sudah sangat lama tidak aktif.
Pihaknya telah melayangkan surat protes terkait pengeluaran luasan hutan dan gambut di Merauke Papua itu ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sejauh ini sejumlah pejabat KLHK terkait isu itu belum ada yang dapat memberikan keterangan. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Sigit Hardwinarto menyatakan masih akan mengecek dan menelusuri informasi tersebut.
Temuan Yayasan Pusaka itu didapatkan setelah membandingkan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB Tunda) revisi XIV dan XV dengan PIPPIB-permanen yang diterbitkan melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. PIPPIB disusun tiap enam bulan sejak Instruksi Presiden tentang Moratorium mulai diberlakukan 2011 dan diperpanjang setiap dua tahun. PIPPIB-permanen juga disusun tiap enam bulan sekali sejak Inpres Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Dari perbandingan itu, Yayasan Pusaka yang bekerjasama dengan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAME), menemukan perbedaan dan perubahan pengurangan dan atau pengeluaran kawasan hutan yang menjadi objek penundaan pemberian izin baru pemanfaatan hutan alam primer dan lahan gambut, pada daerah Muting di Kabupaten Merauke dan daerah Subur di Kabupaten Boven Digoel.
Izin baru
Penelusuran lebih lanjut menunjukkan, kawasan hutan yang telah dikeluarkan dari PIPPIB-tunda Revisi XV (2018) dan PIPPIB-permanen (2019) itu diberikan izin baru atau perpanjangan izin kepada perusahaan PT MRJ untuk kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK - HTI) berdasarkan SK.238/MENLHK/SETJEN/KUM.1/52018, seluas 206.800 hektar. Di areal konsesi HTI PT MRJ, ada lahan gambut seluas 2.020 hektar dan hutan alam primer yang jadi obyek PIPPIB-tunda seluas 131.314 hektar.
Direktur SKP-KAME Anselmus Amo menambahkan PT MRJ sudah ditolak pemerintah daerah setempat. Ia menunjukkan Surat Gubernur Papua Nomor 522.1/4124/SET, tanggal 12 Agustus 2013, perihal usulan pencabutan IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT di Provinsi Papua dan Surat Bupati Merauke Nomor 590/2943, tanggal 19 September 2007, perihal pencabutan izin HPH/HTI PT Maharani Rayon Jaya (sudah diganti jadi PT Merauke Rayon Jaya, MRJ), karena perusahaan tidak aktif sebagaimana mestinya dan menolak tegas kembalinya PT MRJ.
Lebih lanjut, mengacu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, Pasal 43 (4) dan penjelasannya, lanjut dia, setiap penyediaan tanah adat untuk keperluan apapun harus melalui musyawarah dengan masyarakat adat setempat. Berdasarkan hasil musyawarah tersebut kebijakan dan perizinan apapun diterbitkan.
“Kami mendapatkan konfirmasi dari lapangan, bahwa pemimpin masyarakat adat dan warga di Kampung Selil, Distrik Ulilin, Kabupaten Merauke; Kampung Kaisah dan Kampung Subur, Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel, menyatakan tidak mengetahui keberadaan dan aktivitas perusahaan PT MRJ tersebut,” katanya.
Untuk itu, pemda dan kementerian terkait diminta sungguh-sungguh menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat, dengan melibatkan warga dalam menentukan kebijakan dan perizinan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam di wilayah adat mereka, pada berbagai tahapan sejak kebijakan hingga pelaksanaannya. Adapun KLHK diminta tak melanjutkan dan memperbarui pemberian izin PT MRJ, sebagaimana suara masyarakat dan keputusan pemerintah Provinsi Papua maupun Kabupaten Merauke.