Propaganda dilakukan berbagai pihak untuk merebut dukungan opini publik. Kini, propaganda berubah wujud dengan pembangunan narasi sesuai dengan kepentingannya.
Tak mengenal zaman, propaganda terus dilakukan berbagai pihak untuk merebut dukungan opini publik. Di era Orde Baru, propaganda dilakukan dengan mengontrol sumber informasi selain dari pihak rezim. Kini, di era banjir informasi dan pasca-kebenaran, propaganda berubah wujud dengan pembangunan narasi sesuai dengan kepentingannya.
Perang informasi itu terasa sengit salah satunya terkait cuitan dan gambar potongan percakapan grup Whatsapp siswa STM. Dalam obrolan grup itu digambarkan bahwa aksi mereka turun ke jalan karena motif uang. Cuit dan gambar itu diunggah oleh pendengung dari akun Twitter @OneMurtadha pada Senin, 30 September 2019 pukul 15.14 WIB.
Akun itu mencuit berikut,
TWITTER
Please do your magic
Dicari
Bohir yg janjiin duit buat anak2 STM yg ikut demo
Anak2 itu kini terlunta2 dgn kancut basah gak punya ongkos buat pulang
Ia juga mengunggah empat gambar potongan percakapan grup Whatsapp, yang terjadi di grup bernama G30S STM ALLBASE. Di dalam grup itu, mereka bercerita bahwa akan mengikuti demonstrasi. Namun, sebagian mengeluhkan belum menerima uang. Salah satu pengguna dengan nomor +6281314991020 dengan nama rdl mengatakan, ”Oyy mana duitnya.”
Unggahan ini pun mendapat perhatian dan viral di dunia maya. Unggahan dari akun-akun yang disebut netizen pendengung itu menarasikan bahwa anak STM yang berdemonstrasi di depan Gedung MPR/DPR merupakan massa bayaran.
Kompas menelusuri identitas pemilik nomor telepon di grup Whatsapp melalui aplikasi True Caller dan Get Contact. Melalui aplikasi itu, Kompas mengecek semua nomor yang masuk dalam tangkapan layar grup percakapan itu. Dari semua nomor yang dicoba, nomor 087840438210 yang muncul dengan identitas Bripda Eggy Septiadi, sedangkan nomor 081383411237 muncul dengan identitas Briptu Renaldo.
Sementara nomor 087848492555 muncul dengan identitas ”Opis Let Metro Jaya Plokis Mau Sekolah Lagi Di Stm”. Adapun nomor +6281314991020 yang secara gamblang meminta uang dalam percakapan grup itu tidak ditemukan identitasnya walau sudah diperiksa menggunakan aplikasi True Caller atau pun Get Contact.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Asep Adi Saputra mengatakan, tidak ada polisi yang terlibat dalam grup Whatsapp pelajar STM yang viral. Itu dibuktikan dengan penangkapan tujuh orang terkait grup Whatsapp yang viral.
”Tidak ada keterlibatan kepolisian di dalam grup Whatsapp. Berdasarkan pemeriksaan, tidak ada indikasi ke sana (keterlibatan polisi),” kata Asep.
Tujuh orang itu telah berstatus tersangka. Lima di antaranya berusia di bawah umur. Kepada mereka diberlakukan diversi, penyelesaian perkara dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Tujuh tersangka itu adalah RO (17) admin grup STM/K bersatu, MPS (17) admin STM-SMK SENUSANTARA, WR (17) admin SMK STM SEJABODETABEK, DH (17) admin JABODETABEK DEEMOKRASI, MAM (29) anggota grup STM Sejabodetabek, KS (16) dan DI (32) admin SMK STM seJabodetabek. ”Motif dan tujuan tujuh orang itu sama. Mereka ingin meramaikan aksi demonstrasi di Kompleks Parlemen melalui media sosial,” kata Kepala Subdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Komisaris Besar Rickynaldo Chairul.
Selain penangkapan, polisi mendalami percakapan dan dugaan keterlibatan polisi di dalam grup. Adapun percakapan itu terkait bayaran untuk demonstran. Sementara pengecekan nomor melalui True Caller atau Get Contact menunjukkan kepemilikan nomor oleh polisi. ”Tangkapan layar belum tentu asli, begitu juga nomor telepon di dalam grup itu. Diperiksa lagi di laboratorium forensik,” ujarnya.
Propaganda
Pengajar Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Ignatius Haryanto, belum bisa memverifikasi keterlibatan aparat di kasus ini. Namun, jika benar ada keterlibatan aparat dengan pendengung untuk membuat pesan itu, maka ini membahayakan publik. ”Komunikasi seperti ini, kan, sama saja dengan penipuan. Yang bohong dijadikan seolah-olah benar,” ujar Haryanto.
Hal ini tak ubahnya hidup di era Orde Baru yang penuh propaganda. Kebohongan, lanjut Haryanto, dikemukakan tiap hari sehingga publik akan dapat gambaran yang salah. Publik akan menerima informasi yang tidak jelas, tidak jernih, sehingga bisa ambil keputusan atau sikap yang salah.
Fenomena ini disebut disinformasi yakni menyebarkan informasi yang salah dengan niatan jahat. ”Demokrasi kita akan set back jika di sekitar kita penuh dengan disinformasi seperti ini,” ujar Haryanto yang juga peneliti senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP).
Senada dengan hasil laporan The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Medial Manipulation yang dirilis Oxford Internet Institute, University of Oxford. Hasil penelitian di 70 negara termasuk Indonesia itu adalah penggunaan pasukan siber di media sosial punya tujuan utama untuk menciptakan propaganda.
Adapun propaganda itu dimaksudkan untuk tiga hal, yakni menyebarkan propaganda mendukung pemerintah ataupun partai pemerintah, menyerang serta mendiskreditkan pihak yang berseberangan, dan menyebarkan informasi untuk memecah belah masyarakat.
Mengutip laporan itu, di Indonesia, kegiatan itu diinisiasi partai politik dan organisasi swasta. Mereka bekerja di media sosial menggunakan akun robot dan akun yang dioperasikan langsung manusia. Adapun cara yang dilakukan adalah menyebarkan disinformasi dan menyebarluaskan informasi yang keliru itu.
Sementara peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati, menilai pola komunikasi seperti ini berbahaya bagi publik karena makin memperuncing polarisasi di masyarakat. ”Hal ini akan berpengaruh penerimaan persepsi publik yang terpolarisasi. Apalagi, di era pascakebenaran seperti ini, publik bisa semakin memilih informasi yang disukainya atau diyakininya benar saja. Bukan kebenaran yang ada,” tutur Wasisto.
Namun, pendapat berbeda dikemukakan Direktur Eksekutif Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo. Ia menilai masyarakat Indonesia sudah kritis sehingga sudah pandai mencerna mana informasi yang berdasarkan fakta dan mana yang bohong. ”Publik tidak selugu dan senaif dulu lagi. Publik sudah pintar memilah informasi dan berita. Jadi, saya ragu model komunikasi berbasis pada kebencian dan apriori akan ditelan mentah-mentah oleh masyarakat,” ujar Agus.
Anonimitas yang dimampukan di media sosial membuat pendengung ataupun warganet bisa bertindak di luar etika dalam berinternet atau Netiquet. Direktur Eksekutif SAFENet Damar Juniarto menyebutkan, masyarakat memakai topeng atau anonim ketika bermedia sosial. ”Mereka (anonim) bisa menyerang siapa saja sesuka hatinya. Menyebabkan semakin banyak masalah,” katanya.
Pada era banjir informasi dan pascakebenaran seperti ini, penting bagi publik untuk meningkat literasi media. Ketika memperoleh informasi yang belum jelas asal-usulnya, publik bisa mengecek kebenaran informasi itu di media arus utama.
”Warganet bisa kritis dengan tak hanya menelan mentah-mentah informasi dari buzzer atau media sosial. Warganet harus membandingkan informasi ke media mainstream (arus utama) juga. Sebab, media mainstream punya mekanisme redaksional yang menguji kebenaran,” ujar Wasisto.
Di era ketika informasi berseliweran begitu banyak dan cepat, publik harus mengambil jeda sesaat. Publik harus cerdas mencari informasi yang faktual untuk terhindar dari paparan informasi sesat yang merupakan buah dari propaganda pihak yang tidak bertanggung jawab.