”Ightiyalat” dan Legitimasi ala Joker
Penusukan terhadap Menko Polhukam Wiranto merupakan salah satu bentuk serangan teror yang menggunakan taktik ightiyalat. Taktik ini telah 10 tahunan lalu terdiseminasi dan dipelajari di jejaring teror di Indonesia.
Penusukan terhadap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto merupakan salah satu bentuk serangan teror yang menggunakan taktik ightiyalat. Taktik ini sebenarnya telah sepuluh tahunan lalu terdiseminasi dan dipelajari di kalangan jejaring teror di Indonesia.
Dan, soal pejabat negara sebagai target serangan juga sama sekali bukan hal baru dalam sejarah teror di Indonesia. Kini, menjadi kian berbahaya ketika model serangan tersasar/terbatas (targeted) demikian berpretensi merebut legitimasi publik di tengah melemahnya dukungan moral publik terhadap aparat negara.
Seperti biasa, setiap kali ada serangan teror, terutama yang menyasar aparat sebagai simbol negara, berbagai ”teori” konspirasi yang dicelotehkan warganet di media sosial bertaburan. Tak hanya tudingan konspirasi, ungkapan-ungkapan tidak simpatik terhadap korban (dalam hal ini Wiranto) juga bermunculan di linimasa media sosial. Tudingan settingan, konspirasi, dan sejenisnya itu menunjukkan dangkalnya ingatan publik awam terhadap catatan sejarah rentetan serangan teror di Indonesia.
Sejarah mencatat, serangan teror yang menyasar pejabat negara sudah terjadi sejak Peristiwa Cikini pada Sabtu, 30 November 1957, pukul 21.03, yakni menyasar Presiden Soekarno. Serangan berupa pelemparan granat itu terjadi di Sekolah Rakyat Tjikini atau Perguruan Cikini, tempat putra dan putri Soekarno, yaitu Guntur dan Megawati, bersekolah. Soekarno hadir di sana dalam rangka menghadiri perayaan hari jadi ke-15 sekolah tersebut.
Peristiwa Cikini dilatarbelakangi ideologi radikal yang membajak doktrin agama. Latar belakang itu setidaknya tertuang dalam sebuah penelitian tesis berjudul ”Tragedi Nasional: Studi Tentang Peristiwa Cikini Tahun 1957” karya Dahlan dari Program Studi Ilmu Sejarah Bidang Ilmu Budaya Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, tahun 1997.
Di balik peristiwa itu, terlibat Kolonel Zulkifli Lubis, pemimpin Gerakan Anti-Komunis (GAK), melalui Saleh Ibrahim, Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Cabang Gambir, Jakarta Pusat.
Zulkifli Lubis, yang tak pernah berhasil tertangkap, merupakan mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat yang dikenal antikomunis. Sementara pelaku lapangan adalah anggota GPII, Jusuf Ismail Tasrif Hoesain dan Sa’adon Muhammad.
Pelemparan granat tersebut juga diketahui merupakan proyek kerja sama dengan kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) melalui salah seorang tokohnya, yakni Kiai Mukti asal Kebumen, Jawa Tengah. Kiai Mukti merupakan utusan khusus SM Kartosuwiryo, pimpinan DI/TII.
Menurut para pelaku, seperti dikutip dalam tesis yang ditulis Dahlan tersebut, Bung Karno yang memberikan hak hidup dan melibatkan anggota PKI dalam pemerintahan, dianggap sebagai orang kafir. Mereka berkesimpulan, Bung Karno perlu diberi peringatan keras.
Granat tersebut, menurut mereka, tidak dimaksudkan untuk membunuh, tetapi sebagai peringatan keras (dapat dikatakan sebagai teror). Berdasarkan pengakuan para terdakwa, Peristiwa Cikini yang didalangi oleh Kolonel Zulkifli Lubis itu melibatkan anggota GPII-GAK, Masyumi (mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap), dan bekerja sama dengan DI/TII.
Peristiwa Cikini merupakan bagian dari gerakan kelompok radikal ketika itu yang bertujuan hendak mengembalikan kemurnian ajaran Islam pada sumber yang sah, yakni Al Quran dan Al Hadis, menjadikan Islam sebagai dasar ideologis perubahan sosial, serta mengubah ideologi negara Pancasila menjadi hukum Islam atau syariat Islam.
Singkatnya, Peristiwa Cikini merupakan refleksi dari gerakan radikal masa itu yang menginginkan terbentuknya negara federal yang didasarkan atas hukum Islam.
”Ightiyalat” dan konsep musuh
Ightiyalat sendiri sederhananya merupakan suatu operasi pembunuhan terbatas (targeted, bukan massal atau acak) yang senyap atau diam-diam, dan mendadak. Jenis operasi ini sejak sekitar satu dekade lalu sudah digelorakan di kalangan ”jihadis” di Indonesia. Terminologi ”jihad” di sini khusus merujuk pada istilah yang digunakan di kalangan jejaring teror sendiri, yang memaknai konsep jihad secara tertutup, yakni kekerasan atau perang (qital) semata.
Harian Kompas pada 27 Desember 2011 pernah menurunkan artikel ”Munculnya Kelompok Kecil tetapi Berbahaya” yang mengulas tren dan prediksi serangan teror terhadap aparat (simbol) negara, serta mulai diliriknya taktik ightiyalat dan prediksi kemunculan berbagai kelompok kecil setelah lumpuhnya organisasi teror besar, Jemaah Islamiyah (JI).
Taktik ightiyalat menjadi pilihan taktis, efisien, dan rasional di kalangan jihadis. Sebab, taktik ini memang paling memungkinkan dilakukan oleh pelaku jihad individual (ataupun kelompok kecil) yang kapasitasnya masih rendah untuk melakukan serangan teror besar yang, misalnya, membutuhkan keterampilan merakit bom.
Taktik ightiyalat juga diyakini cukup efisien dalam menyasar target domestik atau ”musuh dekat” (near enemy), dalam hal ini simbol negara. Doktrin tagut (setan) terhadap aparat dan pejabat negara menjadikan mereka sasaran yang sah untuk diserang karena dianggap menghambat tujuan utama jejaring untuk mewujudkan khilafah. Motivasi yang juga melatari Peristiwa Cikini.
Perlu diingat, sebelumnya, konsep musuh dalam jejaring teror di Indonesia juga sempat mengenal musuh jauh, yakni Amerika Serikat dan sekutunya. Serentetan serangan teror yang merepresentasikan musuh jauh di antaranya mulai dari Bom Bali 2002 dan 2005, Bom Hotel JW Marriott 2003, Bom Kedubes Australia 2004, juga Bom Mega Kuningan 2009.
Namun, konsep musuh jauh ini bergeser (kembali) secara intens menjadi musuh dekat mulai sejak sekitar 10 tahun lalu, diiringi doktrin tagut (setan) terhadap simbol negara, seperti aparat atau pejabat.
Konsep musuh dekat tecermin dari rencana serangan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (sebagai simbol negara) pada 2009, misalnya, yang gagal setelah terbongkar dalam penggerebekan sel teroris di Jatiasih, Bekasi.
Di balik peristiwa ledakan bom di Plaza Atrium Senen pada 1 Agustus 2001 juga terungkap rencana operasi pembunuhan terhadap Presiden Megawati Soekarnoputri, yang ketika itu tengah memimpin rapat DPP PDI-P di kantor di Jalan Pecenongan, tak jauh dari Plaza Atrium.
Bom sudah keburu meledak di Plaza Atrium. Rencana itu baru terungkap Oktober 2002 ketika tim dari Mabes Polri mewawancarai Omar Al-Faruq yang dipenjara di AS. Faruq adalah pria asal Kuwait yang mengaku pejabat senior Al Qaeda di Asia Tenggara ketika itu. Menurut pengakuan Faruq, rencana pembunuhan Megawati pada 2001 itu adalah yang kedua kalinya. Rencana pertama yakni tahun 1999, tetapi gagal, salah satunya karena logistik senjata yang belum memadai.
Upaya pembunuhan dengan pendekatan ightiyalat dengan tipologi sasaran musuh dekat tecermin pada peristiwa Desember 2011 ketika seorang penyiar televisi yang kerap meliput terorisme dan dianggap kafir nyaris ditusuk saat sedang siaran live di ruang publik. Serangan itu gagal karena pelaku tiba-tiba jatuh akibat tersandung kabel. Motivasi pelaku juga berlatar belakang doktrin radikal. Latar belakang peristiwa ini sempat diredam dan dianggap sekadar sebagai perbuatan gila seorang penggemar.
Tim Antiteror Mabes Polri (Detasemen Khusus 88) pada Januari 2011 pernah menggerebek Tim Ightiyalat Klaten pimpinan Roki Aprisdianto alias Atok. Tim Ightiyalat ini terlibat dalam perakitan bom yang direncanakan menyasar pos polisi, gereja, dan masjid.
Berdasarkan laporan International Crisis Group ”Small Groups, Big Plans” pada 19 April 2011, Atok merupakan jebolan DI yang bergabung dengan organisasi itu pada 1997, lalu keluar tahun 2008. Ia kemudian mendirikan Tim Ightiyalat Klaten pada Januari 2010 dengan target sasaran serangan musuh dekat yang dianggap kafir.
Sebelum mengenal konsep musuh jauh seperti dalam Bom Bali 2002 yang menyasar turis asing, mendiang Matori Abdul Djalil ketika menjabat Wakil Ketua MPR pernah dibacok tahun 2000 oleh jaringan kelompok radikal. Peristiwa itu delapan bulan sebelum Bom Natal 2000, yang menyasar gereja-gereja sebagai representasi konsep musuh dekat lainnya, yakni kafir.
Dalam sejarah panjang terorisme, konsep near enemy atau musuh dekat pernah digelorakan oleh tokoh Muhammad Abdul Al Salam Faraj (1954-1982), seorang Mesir, aktivis revolusi yang juga memimpin Tanzim al Jihad cabang Kairo, kelompok yang membunuh Presiden Anwar al-Sadat.
Seperti diulas dalam buku Understanding Terror Networks (2004) yang ditulis peneliti terorisme Marc Sageman, Faraj menolak gagasan pendirian negara Islam melalui strategi dakwah dan menyarankan solusi yang lebih radikal atau jalan kekerasan. Faraj pun mengemukakan gagasannya bahwa memerangi musuh yang dekat (near enemy) lebih penting ketimbang musuh yang jauh (far enemy).
Menurut Faraj, memerangi musuh jauh hanya akan menguntungkan kafir lokal. Faraj menegaskan, lahan jihad pertama kaum Muslim adalah penggulingan para pemimpin yang murtad dan mengganti mereka dengan kepemimpinan Islam yang paripurna.
Karena dianggap murtad itulah mereka dinyatakan sah untuk dibunuh. Gagasan Faraj itu juga merujuk pada konsep takfir (pengafiran orang Muslim) yang dibukakan jalannya oleh Ibnu Taymiyah dan Sayyid Qutbh. Faraj terkenal dengan seruannya tersebut yang bertajuk The Neglected Duty, yang berdiri di atas argumen Qutb. Mengenai prioritas menyerang musuh dekat itu, Faraj mengatakan:
The basis of the existence of imperealism in the lands of Islam are (precisely) these rulers. To begin by putting an end to imperealism is not laundratory and not useful act. It is only a waste of time. We must concentrate on our own Islamic situation: we have to establish The Rule of God’s Religion in our own country first, and to make the Word of God supreme…. There is no doubt that the first battlefield for jihad is the extermination of these infidel leaders and to replace them by a complete Islamic Order. From here we should start.
Berdasarkan seruan itu, Faraj secara tegas menyampaikan pentingnya mengenyahkan penguasa lokal yang dianggap sebagai musuh dekat menjadi penghalang utama tegaknya hukum Islam ketimbang berusaha melenyapkan musuh jauh. Sekalipun penguasa lokal tersebut merupakan Muslim, mereka dianggap kafir karena tidak menegakkan hukum Islam.
Menurut Faraj, sejak menghilangnya kekhalifahan pada 1924, pupusnya syariat Islam terganti dengan hukum kafir, maka situasi yang dihadapi kaum Muslim saat ini menjadi serupa dengan situasi yang dihadapi di era invasi bangsa Mongol. Analogi yang digunakan Faraj tersebut dengan menyebut-nyebut era pendudukan bangsa Mongol di Persia (1258) seolah menjadikan fatwa yang pernah dikeluarkan Taymiyah menjadi relevan dengan situasi saat ini.
Dokumen pedoman ”ightiyalat”
Taktik ightiyalat dipopulerkan oleh para ulama berhaluan keras asal Timur Tengah yang tulisan-tulisannya dikonsumsi dan diterjemahkan kalangan jihadis di Indonesia. Sebuah dokumen pedoman yang memuat secara detail cara-cara melakukan ightiyalat sempat beredar di kalangan jejaring teror sejak 2009. Dokumen itu berjudul ”Firoqul Maut wal Ightiyalat” yang kira-kira artinya adalah kelompok-kelompok pembawa maut dan pembunuh senyap.
Dokumen 95 lembar dan tanpa penomoran halaman itu, misalnya, memaparkan 12 cara melakukan ightiyalat, misalnya penusukan, pencekikan, peracunan, bom surat, dan ranjau mobil. Dokumen bahkan menjabarkan jenis-jenis momentum yang tepat untuk menyerang. Misalnya, saat target sendirian, sedang berjalan kaki di jalan, target sedang keluar atau memasuki bangunan atau mobil, yang dianggap salah satu titik momen terlemah untuk diserang. Pada lembar ke-10 dokumen pedoman tersebut tertulis mengenai target aksi ightiyalat, seperti dikutip di bawah ini:
Tugas Tim Ightiyalat adalah meng-ightiyal orang-orang yang memiliki pengaruh dan dianggap mengganggu di negara-negara murtad, baik dari Aimmatu ‘I-kufr (para penguasa murtad), atau dari orang-orang kafir asli.
Secara teknis kemudian tulisan tersebut mengulas bahwa ightiyalat jika dilakukan dengan sebuah kelompok, anggotanya sebaiknya tidak melebihi tujuh orang. Pelaku ightiyalat juga perlu mengenali target sebaik mungkin, mulai dari tempat tinggal, jadwal, pengambilan foto untuk mengenali wajah, hingga waktu yang tepat untuk melaksanakan misi.
Pedoman tersebut juga menyarankan bahwa aksi ightiyalat sebaiknya tidak diumumkan, seperti di mimbar ceramah, sehingga terjaga kerahasiaannya. Dalam pedoman itu dicontohkan soal amaliah jihad pembunuhan ightiyalat terhadap seorang wartawan Yahudi di Pakistan yang dinilai sangat sempurna.
Selain dokumen pedoman tersebut, sejak 2009 juga beredar di kalangan jihadis buku mengenai ightiyalat yang berjudul ”Mengobarkan Semangat Para Mujahidin Perwira untuk Menghidupkan Sunnah Ightiyalat”. Buku itu merupakan terjemahan dari tulisan Faris Zahroni alias Abu Jandal al-Azdi, pengganti Yusuf al-Ayiri sebagai pemimpin kelompok teror AQAP (Al Qaeda in Arabian Peninsula).
Taktik ightiyalat ini terlihat menjadi taktik yang bersifat oportunistik karena dapat meretas kesulitan operasional para jihadis pelaku teror dalam menjalankan aksi teror secara organisatoris. Sementara saat ini, sarana organisasi teror yang besar, seperti Jemaah Islamiyah, pun sementara ini belum terbangun lagi. Tambahan lagi, di era Negara Islam di Irak dan Suriah atau ISIS, seruan DIY terrorism (Do It Yourself terrorism) juga dikobarkan sehingga serangan teror memunculkan apa yang diprediksi peneliti terorisme Marc Sageman sebagai leaderless jihad dan fenomena bunch of guys (BOGs).
Dalam dunia kajian terorisme, konsep leaderless jihad dari Sageman ini sempat didebat keras oleh peneliti terorisme lain, yakni Bruce Hoffman. Mereka berdua berbeda pendapat dalam hal bagaimana radikalisasi yang memunculkan jihadis-jihadis terjadi atau berproses.
Singkatnya, Hoffman meyakini proses radikalisasi dan perekrutan jihadis-jihadis baru masih harus tersentral pada entitas elite jejaring teror. Sementara Sageman meyakini, tren radikalisasi akan kian terserak meluas dan leaderless (tak perlu sosok pemimpin khusus) serta bisa cukup terakomodasi dalam grup-grup kecil jihadis (bunch of guys).
Sementara Sageman meyakini, tren radikalisasi akan kian terserak meluas dan leaderless.
Fenomena di Indonesia sendiri tampaknya lebih mendekati analisis dan prediksi Sageman yang gagasannya tertuang dalam bukunya, Leaderless Jihad: Terror Networks in the Twenty-First Century (2008).
Ightiyalat sendiri sebenarnya bukanlah taktik baru di dunia terorisme. Dalam sejarah teror, taktik ini merupakan taktik teror tradisional sejak ketika teknologi persenjataan masih sederhana. Di masa lampau, pada abad ke-11 hingga ke-12, kelompok legendaris The Assasins di Persia melancarkan operasi ightiyalat untuk membunuhi pemimpin politik dan militer yang berkuasa. Fenomena itu memunculkan istilah assasination, bentuk pembunuhan berlatar belakang politik.
Legitimasi ala Joker
Serangan teror senantiasa berupaya mencari pembenaran atau legitimasi. Sebelumnya, serangan pengeboman yang memakan korban masyarakat biasa langsung menuai kecaman luas kepada teroris. Serangan teror semacam itu gagal mendapat legitimasi publik. Jejaring teror pun belajar dari fenomena kecaman tersebut. Serangan teror yang lebih terbatas lantas terlihat menjadi pilihan yang lebih strategis.
Aparat seperti polisi yang dianggap kerap melukai rakyat pun dinilai menjadi sasaran yang lebih legitimate untuk diserang. Terlebih lagi, jika dicermati, kecaman publik atas serangan teror terhadap aparatus negara pun tidak segencar ketika serangan teror memakan korban masyarakat biasa.
Di era media sosial seperti sekarang, mencermati respons publik terhadap suatu serangan teror menjadi lebih mudah. Ketika terjadi berbagai aksi teror yang memakan korban polisi, misalnya, mudah pula menjumpai komentar-komentar tak simpatik yang dilontarkan warganet terhadap kepolisian di media sosial. Begitu pula dalam peristiwa penusukan terhadap Wiranto.
Di sinilah pentingnya bagi aparat negara, seperti polisi, untuk merawat legitimasi publik, merawat dukungan moral dari publik.
Di sinilah pentingnya bagi aparat negara, seperti polisi, untuk merawat legitimasi publik, merawat dukungan moral dari publik. Salah satu cara yang krusial setidaknya dengan tak mudah terpancing bertindak dengan cara-cara kekerasan, apalagi brutal, dalam menghadapi rakyat di berbagai situasi.
Kita tahu belakangan aksi kekerasan aparat kepolisian mendapatkan banyak kecaman dalam berbagai peristiwa, seperti demonstrasi atau peristiwa ancaman keamanan lainnya. Tindakan kekerasan itu amat berpotensi menggerus public support atau dukungan moral publik terhadap aparat.
Sementara itu, dalam berbagai studi terorisme menggarisbawahi, memenangi hati dan pikiran publik luas menjadi elemen kunci dari keberhasilan upaya counterterrorism, termasuk penegakan hukum. Aparat harus selalu ingat bahwa pelaku atau kelompok teror juga berupaya merebut dukungan publik dalam rangka mengelola eksistensi serta berbagai aktivitas dan operasinya.
Lemahnya legitimasi publik atau dukungan moral terhadap aparat negara, baik polisi maupun pejabat, seperti membuka ruang bagi kemunculan Joker yang ”termaafkan” untuk berbuat keji. Kita ingat, Joker terlahir di Gotham, gambaran sebuah kota atau negeri fiktif dengan pejabat dan aparat yang tidak amanah dan korup, yang lama-kelamaan membuat rakyatnya muak. Di tengah kemuakan itu, sosok Joker yang keji malah merebut legitimasi warga Gotham. Kompas moral publik menjadi kacau. Jika sudah begini, chaos pun tak terhindarkan.