Lindungi Situ dengan Data yang Akurat
Upaya melindungi situ-situ di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi bisa dimulai dengan pendataan yang akurat. Data dibutuhkan karena lokasi situ kebanyakan berada di wilayah yang berkembang menjadi kota baru.
JAKARTA, KOMPAS - Upaya melindungi situ-situ di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi bisa dimulai dengan pendataan yang akurat. Data kongkret dibutuhkan karena lokasi situ kebanyakan berada di wilayah yang berkembang menjadi kota baru dan membutuhkan lahan untuk permukiman.
Pengelolaan 208 situ di Jabodetabek dilakukan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BWSCC) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Pendataan situ sudah dilakukan sejak 2014, setelah pengelolaannya diserahkan ke BWSCC. Pendataan situ menyajikan informasi titik kordinat lokasi situ, luas area semula dan setelah 2018, serta wilayah administrasinya.
Namun, penelusuran tim investigasi Kompas menemukan, data yang disajikan tak semuanya mencerminkan kondisi riil situ. Situ Asem di Kota Bogor, misalnya, masih dicatat di dalam inventarisasi BBWSCC. Padahal, situ itu telah berubah menjadi perumahan sejak 1996. Situ Ciming di Sukmajaya, Depok, bahkan dicatat masih memiliki luas 1,5 hektare. Kenyataannya, di atas lahan Situ Ciming itu telah berdiri kompleks perumahan sejak belasan tahun lalu, persisnya sejak 1986.
Situ-situ ini juga ditemukan dicatat di beberapa dokumen, baik di BBWSCC maupun di pemerintah provinsi. Namun, ada saja situ yang dicatat dengan nama berbeda di kedua instansi pemerintah tersebut.
Contohnya Situ Salam di Kota Bogor, tercatat di BBWSCC, tetapi tak ditemukan di Perda Tata Ruang Kota Bogor. Namun nama situ itu kembali ditemukan di Kartu Inventaris Barang Dinas Sumber Daya Air Jawa Barat.
Lihat juga : Kala Situ Jabodetabek Disulap Jadi Perumahan
Setelah Kompas menelusuri dokumen survei lapangan tahun 2010 yang dilakukan Unit Pelaksana Teknis Dinas SDA Jawa Barat di Bogor, baru ditemukan Situ Salam dicatat pula dengan Situ Anggalena. Nama Situ Anggalena itu ditemukan tercantum dalam Perda Tata Ruang Kota Bogor.
Penelusuran pada peta bidang tanah di situs Badan Pertanahan Nasional juga menemukan, dari 208 situ, ada 30 situ yang arealnya disertifikatkan oleh perorangan dan korporasi, berupa sertifikat hak milik (SHM) dan hak guna bangunan (HGB).
Selain itu, data nama situ juga ternyata berbeda di dokumen BBWSCC maupun di pemerintah daerah. Contohnya Situ Salam di Kota Bogor, tercatat di BBWSCC, tetapi tak ditemukan di Perda Tata Ruang Kota Bogor. Namun nama Situ Salam kembali ditemukan di Kartu Inventaris Barang Dinas Sumber Daya Air Jawa Barat.
Melalui penelusuran dokumen survei lapangan Unit Pelaksana Teknis Dinas SDA Jawa Barat di Bogor tahun 2010 baru ditemukan Situ Salam dicatat dengan nama Situ Anggalena. Nama Situ Anggalena tercantum dalam Perda Tata Ruang Kota Bogor.
Pengamat perkotaan Nirwono Joga mengatakan, ditemukannya perbedaan nama untuk satu situ di dua instansi pemerintahan berbeda itu menunjukkan pendataan situ tidak akurat. Pencatatan yang demikian dapat menyebabkan kekeliruan luas lahan situ. “Karena (nama) ini terkait dengan luas lahan. Kalau data nama berbeda maka nanti bisa jadi luasannya berbeda karena tidak mempunyai kejelasan nama situ mana yang dipakai,” jelasnya.
Data luas situ yang digunakan BBWSCC, lanjut Nirwono, juga masih menggunakan data lama sekitar tahun 1970-an, dan diperbarui tahun 1990-an dan 2000. Padahal luasnya bisa saja alami penyusutan saat ini, atau ada juga yang sudah alih fungsi menjadi perumahan. “Di lapangan, bisa jadi luasnya sudah menyusut. Ini yang akibatkan, mulai dari nama sampai dengan luasannya tidak sinkron. Ini pekerjaan rumah yang harus ditindaklanjuti,” jelasnya.
Data situ yang diperoleh dari BBWSCC juga belum menampilkan informasi terkait batas lahan situ, termasuk bidangnya seperti ditemukan pada peta situasi dalam dokumen sertifikat hak milik dan hak guna bangunan (SHM/HGB).
Sementara dari hasil penelusuran pada peta bidang tanah di situs Badan Pertanahan Nasional, ditemukan, dari 208 situ yang dikelola pemerintah ada 30 situ yang terbit SHM dan HGB, seperti Situ Kayu Antep dan Situ Rompang di Tangerang Selatan.
Selama 2017-2018, dari 208 situ di Jabodetabek, BBWSCC menginventarisir 62 situ. Inventarisasi meliputi pengukuran situ, penentuan batas situ, dan pemasangan patok. Inventarisasi berangkat dari data situ di masing-masing pemda.
Hilang
Kepala BBWSCC Bambang Hidayah, mengatakan data yang diperoleh dari pemda tak dilengkapi dengan batas situ. Namun, menurutnya, batas-batas itu dapat diidentifikasi dari lapisan sedimentasi yang ditemukan di area situ.
BBWSCC pun menemukan, ada 16 situ yang hilang meski sebelumnya tercantum dalam dokumen pemda. "Belum ketemu saja, mungkin ada, tapi belum ketemu. Saya tidak berani mengatakan itu sudah jadi rumah. Mungkin ada juga yang sudah jadi rumah," ujarnya. Sejauh ini, ada 78 situ yang telah selesai didata
Baca juga : Situ Hilang, Bencana Datang
Guna melindungi situ dari kepemilikan perseorangan dan pengembang, sejak 2017 pemerintah melakukan sertifikasi situ berupa sertifikat hak pakai (SHP). Namun hingga kini, setelah berjalan hampir 3 tahun, yang dapat disertifikas baru 4 situ, yakni Situ Pagam, Situ Cogreg, Situ Tlajung Udik, dan Situ Rawa Lumbu.
Sementara pendataan untuk melindungi situ, menurut Bambang sudah dilaksanakan sejak 2014, setelah dilimpahkannya kewenangan pengelolaan situ ke BBWSCC. Hal itu diatur dalam UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Permen PU Nomor 4/2015 tentang Kriteria dan Penetapan Wilayah Sungai maka kewenangan pengelolaan situ dialihkan ke BBWSCC.
Pelaksanaan inventarisasi berangkat dari data situ yang diperoleh dari masing-masing pemerintah daerah. Kemudian dilaksanakan pengukuran situ, penentuan batas situ, dan pemasangan patok. Setelah turun ke lapangan, hasil inventarisasi akan disamakan dengan data yang mereka peroleh dari pemerintah daerah, yang sebelumnya bertindak sebagai pengelola situ.
Belum ketemu saja, mungkin ada, tapi belum ketemu. Saya tidak berani mengatakan itu sudah jadi rumah. Mungkin ada juga yang sudah jadi rumah
Diakui Bambang, data yang diperoleh dari pemda tak dilengkapi dengan batas lahan situ. Namun, menurutnya, batas-batas itu dapat diidentifikasi dari lapisan sedimentasi yang ditemukan di area situ. “Pendataan yang kami laksanakan survei fisik. Sedimen yang lama, secara fisik kan kelihatan (dapat diukur oleh tenaga teknis). Bisa dibedakan sedimentasi lama dan baru,” jelasnya.
“Yang lainnya belum kami lakukan (inventarisasi), ini masih berjalan. (Tetapi) tahun ini (tidak inventarisasi) kaitannya masalah dana juga. Dananya terpakai sama yang lain karena tahun politik, kami kejar yang fisik dulu,” katanya.
Setelah proses inventarisasi dilakukan, BBWSCC menindaklanjutinya dengan menata atau revitalisasi situ, yakni dengan mengeruk situ yang sudah dangkal dan menyediakan infrastruktur penunjang.
Meski demikian, tak jarang aktivitas pengerukan menuai protes dari masyarakat yang mengklaim lahan tersebut miliknya. Sebagai contoh kegiatan pengerukan di Situ Gunung Putri, Kabupaten Bogor, berbuntut gugatan ke pengadilan oleh pemilik girik atas lahan itu. Untuk mempertahankan situ itu, BBWSC telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Bambang mengatakan, jika ditemukan sertifikat di lahan situ, BBWSCC akan konfirmasi ke BPN untuk memastikan status lahan itu. “Ada kalanya BPN memberi tahu, ada kalanya tidak di-follow up,” ujar Bambang.
Baca juga : Situ Hilang Ancam Lingkungan Jabodetabek
Jika sebagian area sudah dimiliki perorangan atau pengembang dengan bukti sertifikat, maka BBWSCC akan fokus merevitalisasi bagian yang belum diklaim. “Kami menata lahan yang aman saja dulu. Misalnya luas 30 hektar, ternyata yang amannya ada 15 hektar, ya yang 15 hektar saja yang kami tata,” katanya.
Direktur Barang Milik Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), Kementerian Keuangan, Encep Sudarwan mengatakan, sebagai kekayaan negara, jika ditemukan dari 208 situ di Jabodetabek itu ada yang hilang, maka harus dilaporkan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan. Institusi yang memiliki kewajiban melaporkannya adalah Kementerian PUPR sebagai institusi yang ditugaskan memelihara dan mengamankan situ.
Namun sebelum dilaporkan hilang karena dimiliki pengembang atau perorangan, lanjut Encep, Kementerian PUPR harus mempertahankannya terlebih dahulu melalui upaya hukum.
“Jika kalah dalam putusan pengadilan dan upayanya sudah maksimal (sampai Mahkamah Agung), maka dia (Kementerian PUPR) melapor ke DJKN. Selanjutnya DJKN masuk dalam perkara itu selaku pengelola barang untuk melakukan perlawanan. Jadi untuk menghapus tanah BMN (barang milik negara) adalah Sesuatu yang sangat sulit,” jelasnya.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang pengelolaan barang milik negara atau daerah, memang diatur tata cara pelepasan aset. Namun pada praktiknya, terutama untuk tanah, proses itu harus melalui DPR. “Pada prinsipnya, kalau tanah BMN sejengkal pun pemindahtanganan harus izin DPR, dan ini lama (prosesnya),” jelasnya.
Direktur Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah Kementerian ATR/BPN Budi Situmorang mengakui bahwa penerbitan SHM maupun HGB di lahan situ yang umumnya terjadi pada masa lalu merupakan akibat dari birokrasi yang berantakan.
Namun, Budi mengatakan, negara tetap harus menghargai keberadaan sejumlah hak atas tanah tersebut. Untuk itu, kata dia, kalau benar negara mempriortaskan agenda penyelamatan situ, negara harus membeli kembali tanah yang sudah terlanjur dikuasai tersebut.
“Negara musti memberi uang ganti rugi kepada warga. Bahkan, dibeli kembali haknya,” kata Budi.
Kemudian, untuk mencegah penyusutan lebih parah terjadi, situ-situ yang lain juga akan segera diterbitkan dokumen tanahnya berupa sertifikat hak pakai (SHP). Budi menyampaikan, pihaknya juga tengah menyiapkan rancangan peraturan menteri yang khusus mengatur pendaftaran bidang tanah situ untuk mempercepat penerbitan SHP untuk situ di Jabodetabek, termasuk danau, waduk dan embung di wilayah lainnya.
Selama ini, menurut Budi, Kepala BBWSC yang harus mengajukan permohonan penerbitan sertifikat untuk situ, sehingga dia pula yang harus memastikan bahwa lahan yang diajukan bebas dari sengketa. Adanya beban persyaratan ini, lanjut Budi, menghambat proses sertifikasi situ.
Rancangan Permen ATR/BPN tentang pendaftaran tanah situ, danau, embung, dan waduk, tersebut diharapkan dapat memperlancar proses pendaftaran lahan situ. Permen itu akan mengharuskan kepala Kantor Pertanahan BPN di wilayah membantu Kepala BBWSCC dalam memastikan setiap lahan situ yang diajukan itu bebas dari sengketa.
Baik Jakarta maupun daerah penyangga, keberadaan situ sangat berguna untuk konservasi air dan pengendali banjir. Situ-situ di Depok, contohnya, sangat diandalkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengendalikan banjir di Ibu Kota. Kepala Seksi Operasi dan Pemeliharaan, Bidang Sumber Daya Air, Dinas PUPR Depok, Bakhtiar Ardiansyah mengungkapkan, ada dua situ yang kini dikeruk untuk meningkatkan kapasitasnya dengan menggunakan dana bantuan dari DKI.
“Kepentingan DKI (untuk konservasi situ di Depok) adalah untuk pengendali banjir. Semakin banyak air yang ditampung di Depok, Jakarta menjadi semakin lebih aman dari banjir. Manfaat lainnya, situ-situ ini berguna untuk konservasi air bagi Depok dan juga Jakarta,” jelasnya.
Baca juga : Waktu Ada Situ, Sumur Enggak Pernah Kering
Untuk 2019 ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan dana sebesar Rp 65 miliar untuk membangun waduk, situ, dan saluran air di Tangerang dan Depok (Kompas, 31 Oktober 2018).
Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI Jakarta Heru Hermawanto mengatakan, situ-situ di kawasan penyangga sangat dibutuhkan untuk mengendalikan volume air yang mengalir dari kawasan hulu ke Jakarta.
Selain memang sejumlah situ di Jakarta juga telah hilang. Salah satunya Situ Ulujami di Jakarta Selatan yang kini sebagian lahannya sudah menjadi daratan, sementara area air yang tersisa menjadi kolam pemancingan ikan. Sebagian arealnya pun dipasang papan pengumuman telah dimiliki perseorang dalam bentuk SHM.
Untuk mencegah penyusutan lebih parah, situ-situ yang lain akan segera diterbitkan dokumen tanahnya berupa sertifikat hak pakai (SHP). Pemerintah juga tengah menyiapkan rancangan peraturan menteri yang khusus mengatur pendaftaran bidang tanah situ untuk mempercepat penerbitan SHP.
Tahun 2019 ini contohnya, Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta telah mengalokasikan Rp 744,26 miliar untuk konservasi situ, waduk, dan embung. Lebih dari 78 persen anggaran itu digunakan untuk pengadaan lahan waduk, situ, dan embung, seluas 14,58 hektar.
Baca juga : Situ Jadi Perumahan, Banjir Pun Melanda
Heru mengatakan, konservasi situ di Jakarta tergolong mendesak karena Jakarta sebagai ibukota berada di hilir sehingga membutuhkan kantong-kantong penampungan air.
“Namun kalau hanya memperbaiki di wilayah kita saja, bagaimana pun Jakarta tetap akan mendapat (banjir) ‘kiriman’ dari wilayah hulu. Itu lah mengapa kita memberikan dana hibah untuk memperbaiki sistem air di tempat-tempat yang berpotensi mengalirkan air ke DKI,” kata Heru.
Untuk mengatasi permasalah agraria pada situ-situ yang sudah terlanjur terbit SHM dan HGB, ahli agraria Universitas Indonesia Suparjo Sujadi mengingatkan, bahwa adanya keragaman kepentingan menjadi penyebab terjadinya benturan kepentingan, yakni antara pemilik dokumen tanah, dengan aturan rencana tata ruang wilayah (RTRW) menurut kaedah hukum dan teknis penataan ruang yang berlaku. Untuk mengatasinya pemerintah perlu kembali bersandar pada nilai-nilai Pancasila yang menjadi sumber pembentukkan perundang-undangan.
"Pancasila sebagai kepribadian bangsa, maka pelaksana kebijakan dan penegak hukum harus menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman etika dalam melaksanakan dan penegakkan hukum," jelasnya.
Dalam hal ini Undang-Undang Pokok Agraria dan UU Nomor 26 Tahun 2007 dibangun berlandaskan falsafah negara Pancasila. Terutama UUPA dibentuk atas dasar pandangan hukum adat bahwa ruang dan tanah adalah sebagai bagian hidup manusia yang tidak terpisahkan.
Baca juga : Merugi Setelah Situ Jadi Perumahan
Dalam perspektif hukum Pancasila, persoalan kesenjangan aspek kepemilikan dan penggunaan tanah secara privat dengan aspek RTRW dapat terjadi antinomi nilai yang saling berhadapan, antara kepentingan pribadi dengan kepentingan publik. Namun dibalik pertentangan itu sesungguhnya ada satu titik yang sama, yakni keadilan sosial.
Atas dasar itu, menurut Suparjo, keadilan sosial sebagai tujuan akhir dapat dicapai jika ada tatanan hukum, demokrasi, dan musyawarah mufakat, yang dibangun dari semangat persatuan. Hal ini perlu diperhatikan dalam melindungi situ-situ yang terlanjur dimiliki perseorangan dan pengembang.
Dalam praktiknya, kata Suparjo, pemerintah dapat saja melakukan relokasi sebagai kompensasi terhadap pemilikan tanah yang melanggar hukum. "Relokasi ke area yang tepat sesuai tata ruang. Jangan meneruskan kesalahan yang sudah ada," jelasnya.