Presiden Kembali Didesak Segera Terbitkan Perppu KPK
Para aktivis antikorupsi di Yogyakarta kembali mendesak Presiden Joko Widodo segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk membatalkan Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Para aktivis antikorupsi di Yogyakarta kembali mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk membatalkan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi. Perppu itu harus segera diterbitkan karena Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi akan mulai berlaku pada 17 Oktober mendatang.
Desakan itu disampaikan oleh aktivis antikorupsi yang tergabung dalam Jaringan Antikorupsi (JAK) Yogyakarta, Senin (14/10/2019), di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Acara itu dihadiri perwakilan sejumlah lembaga, misalnya Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Indonesia Court Monitoring (ICM) Yogyakarta, Institute for Development and Economic Analysis (IDEA), Perempuan Indonesia Antikorupsi Yogyakarta, serta Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Yogyakarta.
”Kami dari Jaringan Antikorupsi Yogyakarta yang terdiri atas berbagai elemen ingin menagih janji Presiden yang katanya akan menerbitkan perppu untuk memperbaiki cacat formil dan cacat materiil yang ada dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) hasil perubahan,” kata Ketua Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM Oce Madril.
Seperti diketahui, pemerintah dan DPR menyetujui revisi UU KPK meski ditolak berbagai elemen masyarakat. Dalam Rapat Paripurna DPR pada 17 September lalu, DPR dan pemerintah sepakat menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Persetujuan revisi UU KPK itu lantas direspons unjuk rasa di sejumlah kota di Indonesia. Peserta aksi menyuarakan sejumlah tuntutan, antara lain, menuntut Presiden Joko Widodo menerbitkan perppu guna membatalkan UU KPK hasil revisi. Tuntutan itu muncul karena UU KPK hasil revisi dinilai akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, sampai sekarang, Presiden belum menerbitkan perppu untuk membatalkan UU KPK hasil revisi.
Oce menyatakan, UU KPK hasil revisi akan mulai berlaku secara efektif pada 17 Oktober. Sebab, sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, presiden harus mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) yang sudah disetujui DPR dan presiden paling lambat 30 hari sejak RUU itu disetujui. Bentuk pengesahan oleh presiden itu dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan pada RUU tersebut.
Apabila RUU tersebut tidak ditandatangani oleh presiden dalam jangka waktu maksimal 30 hari setelah disetujui, RUU itu dinyatakan sah sebagai UU dan mulai berlaku secara efektif. Oleh karena itu, UU KPK hasil revisi yang telah disetujui pemerintah dan DPR pada 17 September lalu akan sah menjadi UU pada 17 Oktober mendatang.
Dampak negatif
Oce memaparkan, jika UU KPK hasil revisi itu sudah berlaku efektif, akan muncul dampak negatif yang sangat serius terhadap proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Dampak pertama adalah KPK tidak lagi independen dan mandiri dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sebab, UU KPK hasil revisi menyatakan, KPK adalah lembaga negara yang masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif.
Selain itu, berdasarkan UU KPK hasil revisi, pegawai KPK juga berstatus sebagai aparatur sipil negara. ”KPK tidak lagi independen. KPK akan berada di bawah kontrol penuh pemerintah,” ujar Oce.
Dia menambahkan, dampak negatif lainnya adalah penegakan hukum yang dijalankan KPK juga tidak bisa dilakukan secara mandiri. Hal ini karena UU KPK hasil revisi menyatakan, KPK harus melakukan koordinasi dengan instansi lain yang berwenang melaksanakan pemberantasan korupsi, seperti kepolisian dan kejaksaan.
”Apakah ke depan, dalam melakukan penegakan hukum dan penanganan perkara, KPK harus berkoordinasi dengan polisi dan kejaksaan?” kata Oce. Apalagi, sesuai dengan UU KPK hasil revisi, KPK harus mendapat izin dari dewan pengawas agar bisa melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
KPK berpotensi mendapat tekanan dari berbagai pihak untuk menghentikan perkara yang mereka tangani. (Oce Madril)
Oce menyatakan, dampak negatif lain adalah KPK berpotensi mendapat tekanan dari berbagai pihak untuk menghentikan perkara yang mereka tangani. Hal ini karena UU KPK hasil revisi menyatakan, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan kasus korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu dua tahun.
”Dibukanya kemungkinan penghentian penyidikan kasus korupsi ini akan membuat KPK berada di bawah tekanan. Bisa jadi akan banyak yang menekan KPK untuk menghentikan penyidikan perkara-perkara besar,” ungkap Oce.
Oce mengingatkan, jika UU KPK hasil revisi benar-benar berlaku efektif mulai 17 Oktober mendatang, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia akan lumpuh. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo didesak untuk segera mengeluarkan perppu untuk membatalkan UU KPK hasil revisi.
Oce juga menyatakan, Presiden Joko Widodo tidak perlu khawatir dengan isu pemakzulan yang sempat berembus beberapa waktu belakangan. Sebab, penerbitan perppu merupakan kewenangan presiden yang dijamin secara konstitusional.
”Presiden memiliki kesempatan dan kewenangan untuk mengoreksi kesalahan formil dan kesalahan materiil yang telah nampak secara jelas dalam UU KPK hasil revisi. Tidak akan ada pemakzulan hanya karena presiden menggunakan kewenangan konstitusionalnya untuk menerbitkan perppu,” papar Oce.
Demonstrasi
Sementara itu, Menteri Koordinator Pengetahuan dan Pergerakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Mahasiswa (KM) UGM Dianrafi Alphatio mengatakan, pihaknya berencana kembali menggelar demonstrasi untuk menuntut Presiden Jokowi segera menerbitkan perppu KPK.
”Hasil dari konsolidasi gerakan mahasiswa, kami tetap menuntut Presiden Jokowi untuk mengeluarkan perppu yang berisi dua poin. Pertama, membatalkan UU KPK hasil revisi. Kedua, kembali pada UU KPK yang lama,” ujar Alphatio.
Alphatio menambahkan, BEM KM UGM bersama sejumlah elemen mahasiswa lain akan melakukan konsolidasi untuk menyiapkan aksi demonstrasi lanjutan guna menuntut Presiden Jokowi segera menerbitkan perppu KPK. Menurut rencana, aksi itu akan digelar pada Rabu (16/10/2019) atau sehari sebelum UU KPK hasil revisi mulai berlaku.
”Kami mencoba menggalang dan membuat kekuatan lebih besar lagi untuk melakukan aksi. Jika tidak ada halangan, aksi itu akan kami lakukan pada 16 Oktober besok,” ungkap Alphatio.