Dua Jam Makan dalam Gelap
Selama 2 jam, pengunjung berpartisipasi dalam kegiatan sosial ”Dine in the Dark”. Selama itu pula, mereka makan dalam keterbatasan penglihatan untuk mencoba memahami gelapnya kehidupan para penyandang disabilitas.
Mata langsung disambut cahaya temaram saat masuk ke Kilo Kitchen, Jakarta Selatan, Senin (14/10/2019) malam. Pengunjung hanya bisa mengandalkan penerangan dari layar proyektor dan cahaya meja bar.
Selama 2 jam, pengunjung makan dalam gelap. Selama itu pula mereka mencoba memahami gelapnya kehidupan para penyandang disabilitas.
Malam itu, puluhan pengunjung berpartisipasi dalam kegiatan bertajuk ”Dine in the Dark” atau ”Makan dalam Kegelapan”. Kegiatan ini diselenggarakan Komite Mata Nasional, Yayasan Pelayanan Anak dan Keluarga (Layak), organisasi internasional non-pemerintah Christoffel Blindenmission (CBM), dan grup perbankan internasional Standard Chartered.
Kegiatan itu merupakan ajang sosialisasi gerakan EyeStandByU. Selain itu, Dine in the Dark juga merupakan upaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan adanya gangguan penglihatan.
Melihat dalam ruangan temaram belum menjadi masalah pada mulanya. Mata masih awas dan penglihatan masih tajam. Namun, mata para pengunjung benar-benar diuji saat harus mengenakan lima kacamata simulator gangguan penglihatan.
Kacamata itu merupakan representasi dari lima macam gangguan penglihatan. Kelimanya adalah bintik-bintik hitam (multiple black spot vision), hilangnya penglihatan tepi (tunnel vision), pandangan tampak jauh dari pusat pandangan (peripheral vision), buta sebagian(partially blind), dan hilangnya ketajaman penglihatan (blurred vision). Semuanya masuk dalam gangguan penglihatan low vision, yakni turunnya fungsi penglihatan secara permanen.
Saat kacamata dikenakan, penglihatan yang semula normal berubah jadi kabur dan gelap. Rasanya jauh berbeda dengan kondisi mata miopia (rabun jauh). Otot mata lama-lama terasa lelah kala dipaksa beradaptasi dengan kondisi tersebut.
Kompas mencoba kacamata tunnel vision. Lensa kacamata itu diblokir dengan tinta hitam hampir di seluruh bagian. Hanya bagian tengah lensa yang tidak diblokir tinta. Kesempatan melihat hanya bisa didapat dari lingkaran kecil di tengah lensa tersebut. Itu pun lensanya buram.
Para wartawan di meja nomor tujuh sepakat bahwa kacamata tunnel vision adalah yang paling menantang dari semua kacamata. Selain mendekati situasi buta total, pandangan pun kabur bukan main. Fokus pandangan terhadap obyek sangat sulit didapat.
Santap malam
Para pramusaji mulai menyajikan makan malam sekitar pukul 19.00. Ada tujuh hidangan malam itu, mulai dari hidangan pembuka, utama, hingga penutup. Walau perut sudah keroncongan, para pengunjung kesulitan bersantap malam dengan penglihatan baru mereka.
Head of External Communications Corporate Affair Standard Chartered Lucas Suryanata berkali-kali menyendok wasabi tuna tartare sambil mengerutkan dahi. Ia hendak memindahkan makanan itu ke piringnya. Namun, kacamata tunnel vision membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas.
”Ini (makanannya) sudah tersendok belum, sih? Enggak kelihatan,” ucapnya sambil mencondongkan tubuh lebih dekat ke meja makan.
Ini (makanannya) sudah tersendok belum, sih? Enggak kelihatan.
Setelah yakin piringnya terisi, Lucas mulai menyuap makanan tersebut. Namun, suapan sempat meleset ke sudut mulutnya. Kegelapan dan keburaman pandangan membuat Lucas sesaat kehilangan kontrol terhadap tubuhnya.
Suapan selanjutnya ia mulai dengan membawa sendok berisi makanan lebih dekat ke kacamatanya. Ia berusaha meneliti elemen dan bentuk makanan yang ada di sendoknya. Usahanya agak gagal karena ia tidak bisa melihat secara jelas. Saat berusaha melihat, sendok dan kacamatanya seperti hampir bersentuhan.
Setiap suapan dan cecapan adalah pengalaman baru bagi Lucas. Dengan penglihatan yang terbatas, ia jadi lebih sadar akan setiap rasa yang meledak di mulutnya. ”Itu terjadi karena saya tidak punya ekspektasi apa pun saat memasukkan makanan ke mulut,” katanya.
Ia pun tidak berhenti terkaget-kaget dengan cita rasa dari semua makanan. Setiap makanan baru disajikan, ia harus menebak-nebak rasa dan elemen makanan yang sedang ia rasakan. Menurut dia, itu pengalaman yang sangat baru.
”Saat makan wasabi tuna tartare tadi, saya sempat mengira itu adalah risotto. Saya sudah membayangkan rasa yang creamy, eh, ternyata rasanya beda sama sekali. Saya harus menebak-nebak sampai akhirnya sadar bahwa yang saya makan adalah tuna,” tutur Lucas.
Bukan hanya Lucas yang sempat kesulitan makan dengan kacamata simulator. Keluhan orang lain tentang sulitnya makan dengan penglihatan yang terbatas beberapa kali terdengar. Sejumlah orang pun akhirnya menyerah dan memilih melepaskan kacamata itu.
Ada lagi beberapa orang yang menantang dirinya ke toilet dengan kacamata tersebut. Toilet ada di lantai bawah dan kondisinya temaram. Beberapa undakan harus diwaspadai agar tidak tersandung. Mau tak mau, pengunjung harus berpegangan erat pada susuran tangga dan tembok terdekat. Perjalanan ke toilet tidak pernah terasa sesulit ini.
Penderita gangguan penglihatan
Berdasarkan Global Data o Visual Impairment 2010 oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada 285,4 juta orang di dunia yang mengalami gangguan penglihatan. Dari jumlah itu, 14 persen mengalami kebutaan dan 86 persen mengalami low vision.
Survei cepat untuk kebutaan atau Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) menunjukkan, prevalensi kebutaan di Indonesia mencapai 3 persen. Penyebab utama gangguan penglihatan dan kebutaan adalah katarak. Ini dikutip dari Peta Jalan Penanggulangan Gangguan Penglihatan di Indonesia. Survei dilakukan di 15 provinsi Indonesia pada 2014-2016.
”Ada dua dari 1.000 anak yang mengalami low vision. Sementara itu, ada dua dari 100 orang dewasa yang mengalami hal serupa. Dari 800 orang yang pernah kami screening (saring), ada sekitar 25 persen yang mengalami gangguan penglihatan ringan hingga berat,” kata Ketua Umum Yayasan Layak Evie Tarigan.
Survei cepat untuk kebutaan atau Rapid Assessment of Avoidable Blindness menunjukkan, prevalensi kebutaan di Indonesia mencapai 3 persen.
Menurut dia, kesadaran masyarakat akan gangguan penglihatan masih rendah. Hal ini menghambat pencegahan dan rehabilitasi masyarakat yang mengalami gangguan penglihatan. Sosialisasi serta pelatihan untuk mengenali dan menangani tanda-tanda gangguan ia nilai masih perlu digenjot.
Baca juga: Menyiasati Minimnya Donor Kornea
Dokter mata Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Astrianda Suryono, mengatakan, pencegahan gangguan penglihatan tergantung dari berat-ringannya penyakit yang diderita seseorang. Kondisi yang bisa menyebabkan gangguan penglihatan antara lain adalah glaukoma, down syndrome, dan celebral palsy.
”Kesempatan sembuh tiap orang berbeda. Itu tergantung pada penyakit yang diderita. Jangan menyepelekan penyakit atau gejala gangguan pada mata. Periksalah mata secara rutin. Bisa 1-2 tahun sekali,” kata Astrianda.